Diskriminasi yang Tergambar dalam Film Miracle in Cell No.7

Sumber Foto: tamanbahasaindonesia.blogspot.com

Oleh: Siti Zulaikah

Film keluarga asal Korea yang rilis tahun 2013, Miracle in Cell No.7, disutradarai oleh Lee Hwan-kyung berhasil memanen sejumlah penghargaan. Mulai dari penghargaan skenario film hingga penghargaan untuk aktor. Saking terkenalnya, film ini diadaptasi di berbagai negara seperti Turki, Filipina, India, dan Indonesia.

Tokoh Lee Yong-Gu yang diperankan oleh aktor ternama Korea, Ryu Seung-ryong berhasil membawa penonton terjun dalam alur cerita sampai menguras air mata. Film bergenre roman ini menceritakan kedekatan seorang anak dan ayah yang memiliki keterbatasan mental, hingga berakhir tragis. Tak hanya menguras emosi saja, film ini juga memberikan unsur komedi pada beberapa scene.

Dari awal film, penonton akan dibawa pada alur mundur berlatar tahun 1997 yang mengisahkan Ye-Sung, anak dari Yong-Gu yang sedang asyik bernyanyi kemudian, anak tersebut tertarik dengan tas sailor moon yang terpajang di sebuah toko, lalu ayahnya berjanji akan membelikannya setelah gajian. Namun ternyata, tas itu akan dibeli oleh anak perempuan seorang Komisaris Jendral Polisi. Yong-Gu yang saat itu memohon agar tas tersebut tidak jadi dibeli malah dianggap mengganggu anak dari Komisaris Jendral Polisi tersebut hingga mengakibatkan Yong-Gu dipukuli dan berhasil dilerai oleh pegawai toko dan Ye-Sung.

Kisah tragis bermula ketika keesokan harinya, Yong-Gu sedang bekerja sebagai tukang parkir didatangi oleh anak Komisaris Jendral Polisi dan mengajaknya ke sebuah toko yang juga menjual tas sailor moon. Hal yang tak terduga terjadi, ketika diperjalanan anak itu terpeleset, jatuh hingga meninggal dunia akibat salju es. Yong-Gu yang bermaksud untuk menyelamatkan anak tersebut malah dituduh memperkosa dan membunuh anak tersebut, sehingga ia ditangkap.

Kasus kematian ini dibuat sedrama mungkin agar Yong-Gu bersalah dan terancam hukuman mati. Saat pelaksanaan reka adegan ulang di TKP, Ye-Sung melihat ayahnya kemudian berteriak memanggil. Yong-Gu berjanji akan pulang segera menemui Ye-Sung. Pada scene ini penonton benar-benar sedih melihat anak yang masih kecil dipisahkan dengan ayahnya yang merupakan satu-satunya keluarganya harus disalahkan atas tuduhan kejahatan yang tidak dilakukan.
Ketika dipenjara, Yong-Gu ditempatkan pada sel no.7 bersama narapidana lain. Di sinilah keajaiban itu ada, awalnya narapidana tidak menyukai Yong-Gu karena diduga memperkosa anak Komisaris Jendral Polisi pada akhirnya yakin bahwa Yong-Gu tidak bersalah. Bahkan, narapidana tersebut mau membantu Yong-Gu untuk menyelinapkan Ye-Sung supaya bisa masuk dalam sel no.7.

Keajaiban juga terjadi, saat kebakaran di penjara yang hampir menewaskan kepala penjara, namun Yong-Gu berhasil menyelamatkan nyawanya. Kejadian ini membuka pikiran kepala penjara untuk menyelidiki kebenaran kasus yang menimpa Yong-Gu dan memperbolehkan Ye-Sung masuk dan menemui Yong-Gu.

Setelah kejadian itu, Yong-Gu berlatih membuat argumen untuk membuktikan kebenarannya pada sidang mendatang. Tidak lama Yong-Gu diperintahkan untuk bertemu pengacaranya, namun pengacara tersebut justru meminta Yong-Gu untuk mengakui kejahatan yang tidak dia lakukan dengan mengancam keselamatan putrinya jika tidak menuruti perintah.

Yong-Gu menerima perintah dari pengacara itu karena dia tidak ingin putrinya terluka karenanya. Sidang tersebut berakhir dengan keputusan Yong-Gu divonis hukuman mati yang akan dilaksanakan pada tanggal 23 Desember. Segala upaya dilakukan untuk membela Yong-Gu, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil.

Tibalah saatnya Yong-Gu dieksekusi mati, dihari itu Ye-Sung mendapatkan hadiah ulang tahun dari ayahnya yaitu tas sailor moon yang diinginkan. Yong-Gu mengatakan pada putrinya bahwa dia akan ditempatkan dipenjara lain.

Tujuh belas tahun berlalu, Ye-Sung (diperankan oleh Park Shin-Hye) telah dewasa. Dia berniat mengajukan banding kasus yang telah menimpa ayahnya pada pengadilan demi membersihkan nama ayahnya. Walaupun Yong-Gu telah tiada namun Namanya berhasil dipulihkan putrinya.

Kritik Diskriminasi bagi Korea Selatan

Dari film tersebut, menunjukkan adanya diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh seorang penyandang disabilitas. Film ini juga menjadi kritik diskriminasi di Korea Selatan. Negara ini merupakan negara modern yang terus berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan makanan, fashion, dan film. Bahkan perkembangan ini dapat mendunia dan diikuti oleh berbagai negara, salah satunya Indonesia. Meski sebagai negara besar dan mendapat perhatian dunia yang luar biasa, kasus diskriminasi terhadap beberapa ras tidak bisa dihindari. Jika kondisi ini terus berlanjut dan tidak didukung dengan undang-undang anti diskriminasi di Korea Selatan, maka rasisme dan tindakan diskriminasi akan terus berlanjut.

Rasisme di Korea Selatan terjadi karena dipeliharanya hal yang menyudut kepada perlakuan diskriminatif. Ideologi masyarakat Korea Selatan yang menunjukkan masyarakatnya kurang menerima orang luar karena cenderung patriotik. Salah satu kasus yang cukup menunjukkan rasisme yang terjadi di Korea Selatan adalah atlet Iran yang disebut teroris oleh atlet Korea Selatan, hingga muncul tagar #SouthKoreaRacist yang trending d Twitter.

Di Indonesia juga banyak kasus deskriminasi. Salah satunya adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah lainnya pada 13-15 Mei 1998. Kerusuhan ini diawali dengan krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Banyak bangunan yang hancur oleh massa, terutama milik warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Ratusan wanita keturunan Tionghoa mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Sebagian dianiaya dengan sadis kemudian dibunuh.

Apa itu ableisme?

Dalam salah satu scene terlihat ketika Yong-Gu berusaha mencegah anak Komisaris Jendral Polisi untuk membeli tas sailor moon, justru Yong-Gu malah dianggap mengganggu, sampai dipukuli. Diskriminasi juga terlihat ketika pengacara Yong-Gu memanfaatkan kecacatan mental yang dialaminya dengan mengancam akan mencelakakan putrinya. Perbuatan tersebut menunjukkan sikap ableisme.

Ableisme adalah sistem yang menempatkan nilai pada tubuh dan pikiran seseorang berdasarkan ide-ide yang dibangun secara sosial tentang kenormalan, kecerdasan, dan keunggulan. Ableisme berasal dari kata “able” yang berarti mampu sebagai bentuk pembeda dari“disable” atau tidak mampu. Dengan kata lain, ableisme merupakan perbuatan yang merendahkan atau membedakan kelompok disabilitas melalui kemampuan tubuh yang disamakan dengan orang “normal”.

Sikap ini memiliki keyakinan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan (ability) lebih unggul daripada orang dengan keterbatasan atau disabilitas. Hal ini dapat memunculkan diskriminasi dan prasangka yang ditunjukkan dalam perkataan atau tindakan. Diskriminasi yang dialami kelompok disabilitas hadir dalam berbagai bentuk mulai dari diskriminasi dalam hal ekonomi, sosial, hukum, agama, hingga budaya, termasuk pemenuhan hak dasar seperti penyediaan fasilitas umum untuk kelompok disabilitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *