Pada Dunia Modern Yang Rusak, Aku Memilih Terasingkan

Sumber Foto: Screenshot YouTube

Oleh: Asa dan Fatah

Identitas Film:

 Judul: Terpejam untuk Melihat

Sutradara: Mahatma Putra

Ruang Produksi: Anatman Picture

Produser: Muttaqiena Imaamaa

Durasi: 1 jam 17 menit 28 detik

Setiap manusia pasti memiliki pandangannya masing-masing dalam berbagai hal yang ada dalam kehidupan. Seperti pandangan terhadap alam semesta, manusia lain, hingga kehidupan sehari-hari. Namun, kebanyakan di antaranya, jarang melihat dari persektif selain dirinya dan menutup mata terhadap sekitar.

Dalam tulisan panjang kolaborasi ini kita mampu melihat perspektif menyeluruh dalam terpejam untuk melihat, kita dituntut untuk memandang banyak hal sederhana dari berbagai prespektif banyak orang. Membuat kita berfikir dan ikut memahami situasi yang selama ini mereka rasakan.

Kembali dan Bekerja Sama dengan Alam

 “Kita adalah miniatur alam semesta. Semakin saya memikirkannya, lalu mengamati semua pola yang ada di alam, melihat pola dalam diri saya, banyak sekali persamaannya.” –Dwi Pertiwi

Pada bagian pertama kita disuguhi beberapa hal yang keluar dari pakem umumnya masyarakat, kita benar-benar melambatkan hidup di tengah progresifitas laju manusia yang “ugal-ugalan”. Kita berkenalan dengan pendidikan alternatif yang keluar pakem pendidikan negara.  

Pesantren Ekologi Ath-Thaariq adalah pesantren yang mempunyai visi yang sangat kuat terhadap Islam rahmatan lil alamin bukan hanya hablum minalloh, hablum minanas tetapi juga hablum minalalam

Nissa Wargadipura sebagai Pengasuh Pondok Ekologis Ath-Thoriq, memaparkan bahwa wujud pondok pesantren ini adalah sebagai kritik terhadap kurikulum pendidikan saat ini. Baginya, sekolah hari ini hanya berorentasi mencetak uang sebanyak-banyaknya, mencari pekerjaan sebagus-bagusnya. Bagi Nissa, perlu untuk membandingkan budaya agraris dengan budaya industri, berbeda dengan pondok pesantren pada umumnya, para santri diajarkan memetik sayur yang mereka tanam, merawat ayam dan memanem telur serta mengupayakan bercocok tanam dengan cara polikultur.

Menurutnya, pendidikan budaya agraris sudah ada sejak dulu dan jadi praktik warisan yang tergerus indutrialisasi kehidupan. Ath Thaariq, semuanya tumbuh subur. mulai dari tanaman sampai penanaman akidah dan kesadaran ekologis. Nissa berharap santrinya setelah selesai dar pesantren, mampu membangun komunitas-komunitas kecil yang berbicara tentang perubahan iklim. 

Mokhsa Imanahatu, santri Ath-Thoriq, menyampaikan sebelum ia menjadi santri ia menyadari bahwa pikiran kapitalisme dan logika industri yang mengajarkan manusia serba cepat dan produktif menghilangkan esensi manusia itu sendiri. Di Ath-Thoriq-lah mengajarkan berpikir ulang, untuk memberikan waktu beribadah, melihat semua makhluk, hewan, tanaman untuk sholat bersamannya.

Apa yang dilakukan Ath-Thoriq sama halnya dengan Omah Lor, sebuah rumah persemaian bibit tanaman organik. Mungkin juga sebuah tempat keterasingan dari hiruk pikuk Kota Yogyakarta, yang ramainya hampir menyamai ibukota.

Dwi Pertiwi, pemilik Omah Lor, menganggap bahwa alam ada pada tubuhnya. Jika tanaman kekurangan kalium dan fosfor pada tahap awal pertumbuhannya, ia akan mengalami stunting, manusia juga bisa mengalaminya. Mikroba yang ada di dalam tanah sama dengan mikroba yang ada di perut kita. Pembuluh darah kita mirip dengan akar pohon. Kalau kita merusak alam, sama saja merugikan diri kita sendiri pada akhirnya. 

Pada mulanya, manusia bertani. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kelebihannya kemudian dijual. Baginya, pergi ke pasar adalah hiburan. Sisa barang digunakan untuk barter, begitulah proses cara orang Jawa dulu. Ini yang kemudian hilang karena semuanya terindustrialisasi, semuanya dimonetisasi. Semuanya bermuara pada uang!

Ada pepatah di Minang, ‘guru terbaik adalah alam semesta’ dan akhir-akhir ini kita mungkin akrab dengan istilah slow living. Jika kita mampu memahami alam, ia sebenarnya sudah mengajak kita untuk memperlambat. Kita dituntut untuk selalu mengamati, selalu melihat sekeliling, selalu waspada terhadap setiap keputusan, setiap langkah, setiap pemikiran. Karena apa yang kita lakukan dapat mempengaruhi segala sesuatu di sekitar kita.

Dengan bertani, kita kembali ke cara bertahan hidup yang lama, mengembalikan kemampuan kita yang hilang. Kemampuan kita hilang karena kenyamanan, dengan situasi dunia modern yang mengejar kenyamanan. Dalam permasalahan global yang lebih kompleks, kita kadang merasa pusing dengan apa yang memang perlu dilakukan dengan kemampuan yang terbatas. Bagi Omah Lor, jika setiap orang melakukan apa yang mereka mampu, dengan porsinya masing-masing, dalam jumlah kecil di setiap tempat, hal itu juga akan menjadi solusi global.

Masa Apolitis dan Distrupsi Akses Informasi

  Joan Aurelia berkeluh kesah tentang bayangan akses informasi yang tidak merata, sebagai seorang jurnalis di Tirto.id. hidup di Jakarta harusnya lebih wawas dan mawas, suatu hak istimewa untuk mengakses informasi apa pun yang kita inginkan. Bagaimana dengan teman-teman yang tinggal di tempat yang akses internetnya sulit didapat?

Akses terhadap informasi adalah suatu keistimewaan untuk menentukan pilihan-pilihan kita. Selain itu, akses terhadap informasi juga dapat terdistorsi dari satu orang ke orang lain. Bagaimana kita membayangkan Jakarta dengan carut marut pemasalahannya tidak pernah dikabarkan. Fakta jika Jakarta akan tenggalam dan sesak polusi tiap harinya saja sudah menakutkan, apalagi jika tidak pernah diketahuinya? Lebih menakutkan!

Namun, pada permasalahan media itu sendiri, menurut Evi Mariani, selaku Executive Director Project Multatuli, media Indonesia terjebak dalam pusaran kapitalistik, antara dikendalikan Oligarki dengan kepentingannya atau didorong mengkuti pasar tren.

Project Multatuli sebagai corong media alternatif berkomitmen dalam membangun sejarah media alternatif. Hal tersebut dilakukan dalam pengabaran permasalahan perempuan-perempuan di pelosok negeri, serta konflik-konflik akar rumput dan praktik neo kolonialisme pada masa modern.

Baginya, Orde Baru mensanitasi, membersihkan pikiran kita dari pikiran-pikiran politik. Masyarakat dirancang untuk tidak lagi membicarakan politik. Kita dididik oleh Orde Baru untuk tidak lagi membicarakannya. Inilah era apolitis, warisan Orde Baru yang disebut masa mengambang. Masyarakat Indonesia sudah tidak ingat lagi bagaimana menjadi warga negara yang benar, yang seharusnya mengawasi kekuasaan. Kita Cuma jadi penggemar! Orang mudah terpesona oleh hal-hal yang hanya terlihat di permukaan saja.

“Oh, orang ini baik hati!”

            Pada masa social media strategist, adaMesin bernama buzzer, polical influencer, social media strategist. Jadi, mau golput, atau memilih satu dari tiga, apa pun pilihan Anda di tahun 2024 setelah itu anda akan kembali menjadi rakyat biasa lagi.

Idealnya, pada tataran masyarakat demokrasi, kita kembali mengemban tugas-tugas masyarakat sipil terhadap kekuasaan termasuk orang yang kita pilih. Bukan menjadikannya berhala yang terus-menerus dibela apapun yang mereka lakukan.

“Hal pertama yang harus kita lakukan karena cinta adalah marah. Kemana perginya semua amarah itu?” –Evi Mariani

Jalan Sempit dan Gelap

Kampung Duri memang terkenal sebagai kawasan terkumuh se-Asia. Sejak tahun 70-an, sudah banyak transpuan atau “waria” yang bermukim di Kampung Duri. Jadi, ini daerah yang ramah terhadap transpuan atau “waria”. Di sini jadi  tempat transit transpuan yang datang dari berbagai daerah.

Mama Atha, orang sekitar memanggilnya. Ia adalah pengerak transpuan di Kampung Duri, Jakarta dan mendirikan Sanggar Seroja. Mama Atha, Chika, Rika dan teman-teman transpuan lainnya sehari-hari mengumpulkan barang-barang bekas. Mereka memanfaatkan barang-barang yang sudah menumpuk dan tidak terpakai untuk didaur ulang seperti botol plastik, sedotan, dan bekas kerang restoran seafood.

Mama Atha juga menyampaikan keresahannya soal politik dan stigma transpuan, dalam jalan sempit dan gelap bagi hak-hak transpuan yang masih terpinggirkan dan tertindas. Terutama mendapatkan pekerjaan layak di sektor-sektor formal, mama Atha yakin transpuan juga memiliki kecerdasannya sendiri.

“Berikan kami hak yang sama sebagai warga negara karena kami juga menunaikan kewajiban. Apalagi menjelang pemilu seperti ini, LGBT, khususnya transpuan, akan diangkat dan digoreng-goreng sampai gosong,” ungkapnya.

Baginya, mereka terlalu skeptis apakah orang-orang terpilih itu peduli terhadap lingkungan di Kampung Duri. Karena masalah ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu satu atau lima tahun. Mereka memilih menyelsaikan permasalahan komunitasnya sendiri.

Para transpuan di Sanggar Seroja akhirnya berjuang melawan ketidakadilan sosial dan lingkungan lewat ekspresi kasih sayang mereka sendiri. Inilah contoh pilihan sehari-hari dari sekelompok orang terpinggirkan. Pilihan yang sangat politis, pilihan nyata. Lewat kerajinan dan kesenian dalam lingkungan yang tidak mendapat bantuan dan dukungan dari sistem negara.

Sama halnya dengan Mama Atha dan transpuan lainnya, pemenuhan hak bernegara dan mendapatkan fasilitas yang setara oleh negara selalu menuai masalah. Anggitasari seorang penyandang disalibilitas dwarfisme yang pernah terjebak lift karena lupa cek, yang tombolnya tinggi, lalu menunggu sampai seseorang datang. 

Pemenuhan aksesibilitas atau akomodasi yang layak bagi teman-teman penyandang disabilitas masih dipersepsi sebuah keistimewaan bagi Anggitasari. Baginya, yang juga bekerja menjadi  Staf Ahli Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR Ri), itu merupakan hak yang harus dipenuhi. Anggitasari mencoba masuk ke dalam sistem untuk berubah dan terus memantau kebijakan teman-teman difabel. Pada tahun 2019, Anggitasari menjadi calon legislatif dari salah satu partai politik mapan. Meski pada akhirnya tidak terpilih menjadi wakil rakyat.

Politik bagi Anggitasari masih memiliki harapan meski seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Politik selama ini bagi sebagian orang hanya dipahami dalam politik praktis, bukan segala aspek kehidupan sehari-hari. Begitu juga Mahalikha, yang memilih hidup tanpa uang, ya, Anda tak salah dengar!

Mahalikha adalah seorang pekerja kantoran asal ibu kota yang akhirnya memutuskan untuk kembali ke desa, demi memenuhi panggilan hati untuk merawat bapak ibunya. Ia pulang tepat beberapa saat sebelum ibunya meninggal. Setelah itu,  ia benar-benar mengantungkan hidupnya pada alam.

Kemiskinan bagi sebagian orang adalah sesuatu yang tidak diharapkan. Namun, baginya, memutuskan menjadi miskin dan tidak bergantung pada uang adalah pilihan. Hidup tanpa uang, baginya, dapat membebaskan dari segala aturan dan standarisasi manusia itu sendiri.

Maharlikha mengubah jalan hidupnya menjadi “mundur”. Jika keterbelakangan  dalam pengukuran standarisasi kualitas manusia adalah menurukan nilai, ia malah meningkat dalam kondisi tersebut. Ketika ia pindah ke desa, hal pertama yang dilakukan adalah memikirkan ketersediaan pangan melaui alam sekitar dan musim.

Misalnya saat musim nangka, ia bisa makan nangka selama satu atau dua bulan berturut-turut, hanya saja cara memasaknya berbeda. Saat musim melinjo juga seperti itu, begitu juga dengan musim lainnya seperti musim laron, jamur dan lain sebagainya. Dari sekian musim, baginya musim hujan sudah seperti bagian dari nyawanya. Hujan memberkahi alam, makanan, dan ekosistemnya. Tanpa bantuan manusia, alam dapat bertahan. Tanpa alam, Maharlikha tidak dapat bertahan hidup.

Kehidupan Mahalikha membuat kita harus berpikir dua kali bahwa kehidupan bukan sekedar hanya pekerjaan, tapi alam juga memberikan kehidupan. Maharlikha jelas memilih mengasingkan diri dari kehidupan modern lalu hidup di luar sistem, membelot dari sistem ekonomi, dan negara.

Arah hidup Mahalikha juga bagian dari pengambilan politiknya. Bukannya ia apatis dan tidak peduli, justru berarti punya komitmen untuk mengawal dan mengkritik semua calon yang ada. Seperti Maharlika yang mengkritik keras segala sistem yang mapan dengan hidup melawan arus, karena kemerdekaan baginya adalah melawan arus atas kehidupan normal pada umumnya.

 Harapan dalam Kumbangan Lumpur

Sudah tidak lagi menjadi rahasia umum bahwa biaya politik Indonesia mahal, data penelitian dari Prajna Research Indonesia menyebutkan, rata-rata Calon Legislatif (Caleg) mengeluarkan dana untuk kampanye dan lain sebagainnya berada dalam kisaran 1-2 miliar untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, 500 jt-1 miliar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan 250 jt-500jt DPRD Kabupaten/Kota.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkarya, mencoba membandingkan dengan apa yang ia alami. Sebagai seorang guru besar, gaji terakhir saya sepuluh tahun lalu adalah lima setengah juta rupiah per bulan. Jika ia ingin menjadi wakil rakyat, berapa bulan dan tahun yang harus dijalani tanpa makan sampai saya dapat mengumpulkan sebanyak itu?

Tantangan politik hari ini bukan hanya sekedar pada perwakilan rakyat, namun ada hal yang lebih berbahaya yaitu oligarki. Oligarki bukan lagi menjadi instrumen perwakilan rakyat, namun menjadi perwakilan orang-orang kaya, orang-orang bisnis, orang berduit. Keadilan sosial adalah tantangan yang paling penting. Lima puluh persen masyarakat Indonesia masih belum sejahtera. Kalau mereka mendapat kesan Indonesia itu milik mereka yang di atas, gawat! Mereka akan berkata,

“Apa gunanya Pancasila? Lebih baik kita cari ideologi lain!, Pancasila hanya berlaku bagi mereka yang di atas, yang sudah kaya, terus bertambah kaya.”

Pasca Rezim Soeharto tumbang, pada setelah rezim-rezim berikutnya amanat reformasi semakin menyempit. Rakyat tidak benar-benar bisa menyalurkan aspirasi secara terang-terangan kepada partai politik yang ada, partai politik hanya terkesan sarat akan dengan kepentingan segelintir orang. Dalam kondisi seperti ini, rakyat mengalami delusi akan adanya gagasan partai politik baru yang dimulai dari rakyat biasa.

John Muhammad adalah salah satu dari lima Presidium Nasional Partai Hijau Indonesia. Partai Hijau adalah sebuah partai politik pertama dan satu-satunya yang menyoal masalah-masalah lingkungan hidup. Jangan harap bahwa para pemimpin partainya adalah elit politik, pemilik modal atau cukong. Pada tahun 2021, Partai Hijau mengalami peningkatan anggota, terutama di kalangan generasi muda hingga pelajar SMA.

Mereka mengusulkan sistem yang disebut holakrasi. Bukan lagi demokrasi, tapi holakrasi, kemudian menginginkan adanya heterarki yang berarti hierarki yang setara. Artinya, bukan tidak ada hierarki, melainkan heterarki yang berarti setara atau egaliter. Partai Hijau berharap, setelah tahun 2024 Partai Hijau sudah bisa eksis, tahun 2029 kita bisa menjadi peserta Pemilihan Umum (Pemilu). Bagi John, mereka yang memilih dan mendukung saya, merekalah yang berhak mengendalikan saya karena saya bekerja untuk mereka. Saya terpilih karena mereka. Mencoblos berarti punya tanggung jawab, untuk mengawal janji dan kebijakan si wakil, kita tagih janjinya, kita kritik kalau mereka ingkar, bukannya malah kita bela mati-matian.

Membangun Kesadaran Kolektif

“Kalau saya yakin sebenarnya kesadaran inisudah melekat dalam jiwa kita sebagai manusia.Nilai-nilai seperti keberanian, ada nilai-nilai sepertibekerja sama dengan orang lain.Tidak hanya dengan sesama manusia,namun juga bersinergi dengan alam.”Gede Robi, Personil Band Navicula

Gerakan kolektif kecil dalam benak pikiran Gede Robi, jika dilakukan secara bersama-sama mempunyai dampak yang besar juga. Kita dijelaskan bahwa kita tak boleh meremehkan keputusan sederhana, begitu pula dengan masalah sampah.  Sekecil sedotan plastik saja, Indonesia mengkonsumsi sampah hariannya mencapai 500 juta penggunaan.

Permasalahan krisis iklim dan sampah yang sudah melampaui titik didih ini, tak selamanya harus kita bayangkan dengan upaya-upaya besar saja. Membayangkan itu dekat dan kita mulai ubah dengan apa yang kita bisa di sekeliling kita. 

Seperti yang diupayakan oleh Andre Dananjaya dan teman-teman Kopernik, mereka berupaya menghubungkan teknologi tepat guna sederhana, seperti lampu tenaga surya, kompor ramah lingkungan, dan saringan air tanpa listrik dengan masyarakat di daerah terpencil. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kemiskinan. Sejak tahun 2010, Kopernik telah mendistribusikan lebih dari 70,000 unit teknologi energi bersih dan menjangkau lebih dari 330,000 orang.

Begitu juga yang dilakukan oleh Mahawira Dillon, yang membuat papan permainan yang dinamakan ‘emisi’ Ogah Games. Permainan ini mengasumsikan bahwa jejak karbon mempunyai harga,bahwa dunia akan berakhir secara fisik ketika tingkat emisi tinggi.Mereka akan paham, perubahan iklim adalah sebuah masalah, tapikenapa tidak semua negara mau bekerja sama?Karena masing-masing negara punya kepentingannya masing-masing untuk terlibat dengan semua konsep sulit ini.

Laut Tentram, sebuah perusahan rumahan yang memproduksi sabun ramah lingkungan juga mengambil peran dalam permasalahan ini. Mahatma Putri, selaku pengagas, mengupayakan untuk mengurangi polusi di laut, terutama busa deterjen dan sampah kemasan plastik sekali pakai. Per 2020, bobot sampah di laut Indonesia mencapai 5,75 ton, dengan mayoritas sampah plastik yang tidak bisa terurai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *