Sumber Foto: Ig @sukatani.punk
Oleh: S.A.T.
Musik juga bisa menjadi bentuk perlawanan, dengan lirik-lirik yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. Tidak banyak band musik yang menyuarakan terkait isu sosial melalui musiknya. Dewasa ini, musik punk adalah genre yang bangkit paling cepat di industri musik Indonesia setelah pandemi Covid-19. Nama baru seperti The Jansen dan Dongker terus diperbincangkan para pendengar musik. Lantaran irisan akarnya yang kuat dengan politik, ideologi, dan prinsip.
Salah-satunya ‘Sukatani’ duo punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang aktif dalam gerakan sosial dan lingkungan hidup, namun juga menjalani hidup sebagai petani. AL atau Alectroguy sebagai gitaris/produser, serta Ovi alias Twister Angel sebagai vokalis. Album “Gelap Gempita” dengan nuansa post-punk dengan sensibilitas new wave tahun 1980-an memberikan nilai politik yang sangat kuat. Lagu-lagu merka cukup unik dengan menggunakan bahasa Banyumasan yang menjadikan ciri khas Sukatani.
Naiknya kasus konflik agraria pada tahun 2023, ditambah masih lemahnya regenerasi petani di Indnoesia, dan semangat agraria anti-kapital yang bercampur dengan pengaruh street punk. Judul lagu Sukatani menjadi pembuka di album Gelap Gempita.
Maturnuwun wong tani
Dewek dadi teyeng mangan
Maturnuwun wong tani
Sing wis ngejaga lingkungan
Sukatani menggunakan tempo cepat di akhir lagu, sehingga berhasil membuat pendengar menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Disusul dengan lagu kedua dari album Gelap Gempita yang berjudul Bayar Bayar Bayar, mesarkas loop korupsi yang sering dilakukan oleh pihak aparat kepolisian.
Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi.
Melihat ‘perilaku aparat kepolisian’ yang seperti itu, tidak asing lagi bagi masyarakat. Sehingga Sukatani menjadi wakil untuk menyampaikan keresahan tersebut.
Berikutnya, lagu Alas Wirasaba adalah hasil dari renungan Ovi (vokalis) atas lahan bermain masa kecilnya yang kini telah habis diratakan untuk dijadikan bandara.
Pas esih cilik inyong, pada mlaku-mlaku
Karo batir-batir maring, alas Wirasaba
Pada ngarahi tebu, meneki wit jambu
Dolanan sundamanda, karo brancakan
Lah siki alase wes ra ana
Wis didadikna bandara
Terus inyong arep dolanan nang ngendi ya?
Alas Wirasaba adalah sebuah refleksi dan otokritik. Mungkin, hutan hanyalah satu-satunya tempat dia dan teman-temannya bisa menjadi produktif, atau mungkin para orang tua mereka, dan warga di desa mereka. Mereka semua, pada mulanya adalah produsen independen (Petani, pengerajin, dll) yang sangat menggantungkan hidup pada segala sumber daya alam yang digunakan bersama-sama. Namun, mereka kini kehilangan banyak sumber daya alam dan mata pencaharian.
Lalu lagu Realitas Konsumerisme jadi satire terhadap budaya komsumerisme yang pada akhirnya mengikat rakyat kecil tak berkecukupan.
Kredit cicilan dan utang tanpa ada urgensi
Kaji ulan dan dipikir lagi
Sesungguhnya kemampuan
Belum mencukupi
Realitas konsumerisme
Produktivitas nol
Perilaku ini biasanya ada di kalangan tengah – kebawah, perilaku konsumtif yang berlebihan tidak memandang kepentingan dari pada barang atau jasa yang dibeli. Tidak heran jika konsumerisme identik dengan boros, hedon, serta glamor. Seseorang menjadi konsumerisme hanya ingin menunjukkan status sosialnya, mereka melakukan kegiatan konsumsi itu bukan karena orientasi kebutuhan.
Kemudioan, album ini ditutup dengan lagu Gelap Gempita yang mengkritik kepada penguasa,
Di dalam otak mereka hanyalah kekuasaan
Di dalam hati mereka taka da kepuasan
Di dalam cara mereka terpampang kedzaliman
Di dalam harap mereka Cahaya kemenangan
Cahaya yang menyinari mereka
Akan terhalang oleh bendera ini
Lagu ini merupakan bentuk amarah dan gugatan kepada penguasa yang tidak ada kepuasan di dalam diri mereka. Mereka akan merampas hak siapapun dan menindas mereka yang lemah.
Mengutip dari akun resmi media sosial Instagram milik Dugtrax Records yang baru-baru ini dibagikan kepada publik.
“Hal ini tak lepas dari fenomena selera genre musik lintas dalam pergerakan politik anak muda di Indonesia dan bagaimana sifat maskulin dan garang mulai bersanding dengan budaya populer yang feminin; seperti kemunculan dance K-pop dalam aksi-aksi massa. Lantai dansa tak lagi terisolir di ruang hedonis saja, kini ia turut mengokupasi wahana protes. ‘Protes adalah hak semua orang’ dengan beragam selera, sikap, kelas, hingga gender,” tulisnya dalam post Instagram.
“Selain menyuarakan kemuakan atas kebobrokan sistem dan kebatilan kuasa, Sukatani juga mengingatkan kita betapa pentingnya suara-suara tersebut disalurkan melalui sulur-sulur seni populer yang diamplifikasikan dalam ranah akar rumput. Mari kita bergoyang dan bernyanyi ramai-ramai merayakan mosi tidak percaya pada kebijakan politik para penguasa kapitalis,” – Sukatani.