Wawancara dengan Arif Zulkifli (Sumber foto: Tempo Institute)
Klikdinamika.com– Dewan Pers dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendibud Ristek) mengadakan kerja sama tentang nota kesepakatan mengenai Penguatan Pelindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi yang resmi ditetapkan pada Senin (18/3/2024). Nota kesepakatan tersebut menjadi kabar baik bagi sebagian pers mahasiswa di Indonesia sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa produk jurnalistik yang sering dialami pers mahasiswa.
Menanggapi hal tersebut, Klikdinamika.com berkesempatan mewawancarai Arif Zulkifli selaku Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers secara online pada Kamis (18/4/2024)
Bagaimana Dewan Pers melihat kasus pembredelan majalah kampus LPM Lintas IAIN Ambon dan bagaimana korelasi terhadap MoU kerja sama penguatan perlindungan kegiatan jurnalistik di perguruan tinggi?
Kasus yang menimpa Majalah Kampus LPM Lintas IAIN Ambon merupakan salah satu peristiwa yang mendorong Dewan Pers untuk menginisiasi pembicaraan dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendibudristek) tentang bagaimana melindungi pers mahasiswa dalam konteks kemerdekaan pers. Harus disadari bahwa pers mahasiswa ini adalah pers yang dijalankan oleh civitas akademika kampus dalam ini mahasiswa dengan segala tantangan, kekuatan dan kelemahannya. Nah, karenanya kami merasa bahwa pers mahasiswa harus didukung dalam hal peningkatan kapasitas dalam saat yang sama juga perlindungan jika terjadi dispute atau persoalan antara pers mahasiswa dengan civitas akademika atau masyarakat secara umum. Nah, karena itulah kami membikin sejumlah kegiatan yang ujungnya adalah dikeluarkannya perjanjian kerja sama yang Anda maksud ini.
Pada Senin (18/03/2024), MoU kerja sama penguatan perlindungan kegiatan jurnalistik di perguruan tinggi telah ditetapkan. Lalu, ke depannya, perubahan apa yang memang bisa dirasakan oleh anggota pers mahasiswa di Indonesia?
Saya kira saya harus masuk dulu apa esensi dari Perjanjian Kerja sama (PKS), ada dua hal. Pertama adalah otoritas kampus itu jika merasa keberatan dengan pemberitaan pers mahasiswa diharapkan dapat melibatkan Dewan Pers. Kenapa diharapkan melibatkan Dewan Pers? Karena memang pers mahasiswa berada di luar ranahnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 yang menjadi dasar pembentukan Dewan Pers. Jadi, pers mahasiswa tidak masuk dalam ranah perlindungan pers sesuai Undang-undang 40 Tahun 1999. Tapi mencari terobosan, terobosannya membikin PKS ini. Dengan demikian, posisinya adalah PKS ini mengharapkan agar otoritas kampus melibatkan Dewan Pers dengan cara mengundang Dewan Pers jika ada dispute lalu mencari solusi damai, solusinya win-win antara kedua belah pihak. Karenanya, diharapkan dengan PKS ini nanti tidak ada lagi pembredelan, tidak ada lagi skorsing, pemecatan terhadap aktivis pers mahasiswa dan sebagainya. Tapi pada saat yang sama juga pers mahasiswa mau menyelesaikan kasusnya lewat acara-cara yang seperti diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999.
Kedua adalah kami bersepakat (Dewan Pers dan Kemendikbudistek) untuk bersama-sama meningkatkan kapasitas atau kemampuan pers mahasiswa dalam mengelola persnya. Kita tahu pers bukan sesuatu yang main-main. Ketika sebuah tulisan ditulis, dampaknya akan sangat besar dan karenanya seluruh perangkat etik yang ada itu harus dijalankan oleh mahasiswa ketika ia menjalankan aktivitas pers di kampusnya.
Pada pasal 3 tentang tugas dan tangung jawab pada MoU, dijelaskan bahwa membantu menfasilitasi jika terjadi sengketa produk jurnalistik, lalu bagaimana jika mekaniskme yang ditempuh jika sewaktu-waktu terjadi sengketa, karena terdapat beberapa kasus yang berarkir penahanan studi dan drop out?
Saya kira pertanyaan ini sudah saya jelaskan di atas yaitu mekanismenya adalah mekanisme mediasi. Dalam mediasi nanti yang diperiksa bukanlah esensi pemberitaan tapi apakah dalam pemberitaan itu sudah dipenuhi kewajiban-kewajiban etik oleh si pers, begitu. Misalnya konfirmasi, check and recheck, uji informasi dan sebagainya. Jika itu tidak terpenuhi maka pers termasuk pers mahasiswa dalam hal ini itu harus bersedia mengakui dia memang mempunyai kelemahan. Jika seluruh perangkat etiknya sudah dipenuhi, maka tidak ada alasan buat pers mahasiswa itu dibredel dan seterusnya.
Pandangan dewan pers tentang produk jurnalistik dan posisi hukumnya ketika ia melakukan peliputan di dalam dan di luar kampus, apakah statusnya sama dengan media pers komersial? Karena, beberapa kasus pihak narasumber terutama pejabat kampus terkadang masih kurang memahami kerja-kerja jurnalistik, berakibat pelarangan peliputan dengan tema-tema tertentu!
Pertanyaan ini menjadi inti dari persoalannya, otoritas kampus menganggap pers mahasiswa adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dengan demikian tanggung jawab terhadap isinya berada di pembantu rektor (di beberapa kampus) bidang kemahasiswaan dengan kata lain berada di bawah wewenang rektorat. Jadi, UKM Pers Mahasiswa itu sama persis dengan UKM-UKM lain, seperti UKM Seni, UKM Olahraga dan sebagainya. Kalau paradigmanya seperti itu maka kalau ada pemberitaan yang dianggap mencederai entitas tertentu—misal kampus—dia harus ditangani sebagaimana mereka menangani UKM-UKM yang lainnya.
Ini berbeda jika pers mahasiswa itu merupakan pers mandiri yang tidak berada di bawah kampus. Katakanlah mahasiswa-mahasiswa berhimpun untuk membuat portal news, misalnya begitu, boleh saja mereka mahasiswa tapi tidak ada kaitannya sama kampus. Nah, kalau ini, dia masuk dalam ranah pers umum yang dilindungi oleh Dewan Pers sepanjang ia berbadan hukum pers.
Jadi, inilah persoalannya. Teman-teman di pers mahasiswa menginginkan satu kemerdekaan pers seperti pers umum, tapi pada saat yang sama harus diakui posisi mereka adalah pers kampus yang bernaung di bawah otoritas kampus. PKS yang kita bahas ini berusaha menjembatani persoalan-persoalan itu.
Bagaimana MoU dengan PTKIN di bawah Kemenag, sudah sampai mana? Dan apakah isinya sama?
Itu juga sedang berlangsung mungkin masih terlambat karena ada libur lebaran dan sebagainya. Tapi pada prinsipnya, Kementerian Agama itu sangat terbuka untuk mendiskusikan agar kita bisa menandatangani satu PKS semacam itu, karena udah ada modelnya yaitu antar Dewan Pers dan Kemendibudristek. Mohon support, doa dan dukungan agar PKS-PKS sejenis juga bisa dilakukan. Bukan hanya dengan Kementerian Agama, tapi juga kementrian-kementrian lain yang memiliki kampus di bawahnya. Misalkan Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan, itu di bawahnya ada kampus-kampus meskipun secara jumlah jauh lebih kecil dibandingkan dengan Kemendibudristek
Apakah MoU ini kedepannya punya kemungkinan untuk jadi aturan yang tetap?
Ya, saya kira untuk bisa ditingkatkan misalnya menjadi peraturan menteri dan sebagainya itu tentu harapan dari kita semua, tapi kita tidak bisa memaksa. Kebijakan itu ada pada kementerian yang bersangkutan. Sekali lagi, yang harus kita lakukan adalah kita meyakinkan kemeterian-kemeterian tadi atas fakta bahwa pers mahasiswa ini adalah tempat pengodogan atau pelatihan calon-calon wartawan profesional. Nah, karenanya dia harus melakukan kerja jurnalistiknya secara profesional juga. Saya ingin lihat dulu, nih, setelah PKS ini apakah kasus-kasus kekerasan kepada pers mahasiswa ini bisa tekan pada sisi jumlahnya.
Lalu, pada saat yang sama, saya juga melihat apakah pers mahasiswa ini menjadi semakin profesional, semakin baik dalam melakukan kerja jurnalistiknya dan yang terakhir manakala ada dispute antar pers mahasiswa dan otoritas kampus, apakah kita bisa selesaikan lewat jalur PKS ini. Nah, kalau semua bisa berjalan, saya kira tidak ada alasan bagi kementerian untuk tidak meningkatkan aturan ini ke aturan yang lebih baku.
Apa yang perlu kiranya dipersiapkan oleh Persma di Indonesia untuk meningkatkan proses kualitas produk jurnalistiknya?
Saya sangat berharap bahwa para aktivis pers mahasiswa itu terus belajar mengasah kemampuannya dan mengasah naluri jurnalistiknya agar kualitas pers mahasiswa terus membaik dari waktu ke waktu, gitu. Ya, kita tahu pers mahasiswa itu dilakukan mahasiswa dalam konteks liputan-liputan kampus yang barangkali perangkat kemampuan jurnalistiknya belum sebaik pers pada umumnya. Tapi gak papa, belajar saya. Dan perlu diakui juga, pada umumnya, pasokan jurnalis pers umum adalah datang dari pers mahasiswa. Dan kami semua, saya juga, belajar menulis, belajar pers dalam pers mahasiswa. Nah, karenanya harus dibina, dirangkul bukan dimusuhi.
Harapan apa yang di sandarkan kepada Persma di Indonesia untuk menciptakan iklim perguruan tinggi yang tidak anti kritik dan melindungi kerja-kerja jurnalistik yang berkualitas?
Kebebasan pers itu tidak pernah berdiri sendiri, mas. Termasuk kebebasan pers di dalam lingkup kampus. Jangan juga kita berharap bahwa kebebasan pers itu bisa datang secara gratis. Kebebasan pers sangat dipengaruhi oleh iklim politik, sangat dipengaruhi oleh pemahaman pada demokrasi dari pemimpin negara dan sebagainya. Di negara di mana demokrasinya tidak ada maka dengan sendirinya persnya juga tidak merdeka, begitu. Nah, karenanya jangan terlalu mem-push diri kita terlalu keras dalam hal ini.
Apa yang meski dilakukan oleh pers mahasiswa? Menurut saya yang meski dilakukan oleh pers mahasiswa adalah menjalankan kerja jurnalistik dengan cara yang sesuai dengan kode etik, itu aja dulu. Jadi, kita mulai dari diri kita sendiri bagaimana kita bisa menjalankan itu semua. Jadi, seluruh perangkat etiknya harus kita jalankan dan penuhi, apalagi kita ingin menulis, mengungkap atau menginvestigasi isu-isu yang dinilai sensitif di lingkungan kampus. Jangan ragu-ragu untuk memperdalam sebuah liputan, menunda sebuah liputan manakala bahan-bahannya belum cukup meyakinkan dan sebagainya. Nah, pengetahuan teknis itulah yang ingin kita bangun dengan PKS ini agar Dewan Pers dilibatkan, makanya setelah ini ada pelatihan, mudah-mudahan bisa dilaksanakan dengan cukup efektiflah, kira-kira begitu. (Fatah Akrom/red)