Wawancara Eksklusif Dhandy Laksono.(Sumber Foto: Ramadhon)
klikdinamika.com–Setelah Sexy Killers, Dirty Vote hadir kembali sebagai angin segar. Dengan interpretasi yang bermacam, film ini berhasil menghasilkan perdebatan baru. Tuduhan-tuduhan bahwa film tersebut fitnah beberapa kali berdentum di dunia maya. Dhandy Laksono, sebagai Sutradara dua film yang saat munculnya selalu memicu kontroversi ini, menjelaskan mengenai alasan film tersebut dibuat sampai dengan premis film Dirty Vote. Ia menyatakan, bahwa sebenarnya film ini bukan berorientasi pada ketiga Pasangan Calon (Paslon) saja, tapi ditujukan pada pemerintahan Jokowi, Kamis (22/2/2023)
Tahun 2019, Anda membuat Sexy Killers, 2024 Membuat Dirty Vote. Sebenarnya apa alasan Anda membuat film-film itu?
Kalau mau percaya, nggak ada rencana mengaitkannya dengan Pemilihan Umum (Pemilu) dua-duanya. Sexy Killers itu hasil perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru tahun 2015, sedangkan Pemilunya baru 2019. Jadi, 4 tahun sebelumnya, film itu sudah di-shooting. Nggak mungkin saya punya perjalanan serapih itu, menyiapkan film 4 tahun hanya untuk diledakkan di musim Pemilu.
Jadi, kalau mau dibilang ini dua kebetulan besar, ya beneran dua kebetulan besar. Ya bahwa kemudian Sexy Killers last manage bahannya disesuaikan dengan konteks Pemilihan Presiden (Pilpres), lalu momentumnya disesuaikan saat Pemilu. Hal itu dilakukan karena kami ingin memanfaatkan momentum orang untuk mendiskusikan topik yang kami angkat, atau yang kami filmkan. Jadi sekali lagi, dua film itu bukan sesuatu yang dirancang dari jauh-jauh hari untuk Pemilu. Bagi kami, Pemilu terlalu nggak penting untuk disiapin film.
Apakah Dirty Vote hadir untuk menggiring masyarakat agar tidak memilih?
Enggak, justru Dirty Vote ingin buat masyarakat yang sudah akan memilih, jangan tertipu, untuk melihat lagi, membuka mata. Jadi, kalau Sexy Killers mungkin lebih dekat ke situ pesannya, karena dia nunjukin bahwa, dua orang pada masa itu sama-sama oligarki. Kita cuma disuruh milih sesuatu yang sudah mereka pilihkan. Sedangkan Dirty Vote ini premisnya berbeda. Premisnya adalah, bagaimana Pemilu didesain untuk lebih memudahkan kemenangan salah satu pihak.
Apakah kehadiran Dirty Vote pada masa tenang juga adalah kebetulan?
Ya, kebetulan. Ya, kami tentu memanfaatkan momentum. Begitu ada ide, ada materinya, terus kemudian saya hubungi teman-teman 3 orang itu, dan mereka siap. Tapi, ini momennya masa tenang. Bahkan sebulan yang lalu kita belum punya bayangan mau bikin Dirty Vote. Sebulan yang lalu, Dirty Vote itu nol, sebagai ide, nggak ada.
Katanya, Film Dirty Vote ini menyerang ketiga Paslon, tapi ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa yang dikerucutkan dalam film tersebut hanya Paslon 02 saja. Bagaimana tanggapan Anda terkait stigma tersebut?
Tanggapannya, saya sarankan nonton sekali lagi dan lihat, apa premis filmnya? Premis filmnya adalah membuka bagaimana kecurangan secara struktural didesain. Jadi, yang diserang itu bukan 02, 01, 03. Kalau dia pendukung 02, sampai saya jelaskan berbusa-busa pun tetap bakalan nggak puas. Jadi, sudah, saya nggak perlu menanggapi, orang dia aja nggak nonton dengan serius. Jadi, saya nggak perlu menanggapi dengan serius. Sama seperti tadi, bagaimana tanggapannya kalau dituduh fitnah? Ngapain? dia nggak pake energi kok, jadi saya juga nggak usah.
Kalau dia mau bantah, dia pakai riset yang benar. Dia bedah semiotikanya dan premisnya dia bongkar. Kalau seperti itu, baru saya mau menanggapi. Kalau cuma karena nggak berani nonton, ya nggak perlu.
Setelah Dirty Vote hadir kepada publik, ada beberapa pihak yang menyebutkan bahwa ini fitnah. Kemudian, bagaimana tanggapan Anda terkait Dirty Vote ini fitnah dan dipergunakan oleh Paslon lain untuk menyudutkan salah satu Paslon?
Santai, keseringan nyebut fitnah, usahanya mereka, kan nggak ada usaha tuh nyebut fitnah. Saya juga menanggapinya nggak perlu usaha. Apalagi mereka bikin konpers sebelum filmnya selesai, sudah ngundang-ngundang wartawan sebelum di-upload. Kan keren juga itu, mereka bisa tahu isi filmnya sebelum filmnya ada. Jangan-jangan mereka juga sudah tahu isi Pemilu sebelum terlaksana.
Bagaimana tanggapan Anda saat Dirty Vote rilis dan dijadikan senjata untuk menyerang salah satu Paslon?
Film itu aja nggak nyerang 02. Film itu nyerang Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan yang memungkinkan kecurangan terjadi, dan kecurangan itu akan menguntungkan anaknya yang sedang menjadi pasangan Prabowo. Jadi, premis film itu, yang diserang adalah kekuasaan Presiden yang menyalahgunakan kekuasaan, nggak ke 02. Bahkan, tadi semua pasangan yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan muncul di situ, menteri-menteri dengan 3 kategori, ada semua.
Jadi bisa dibilang film ini menyerang secara objektif dan tidak subjektif?
Saya nggak bisa klaim, tapi, ya silahkan disimpulkan.
Kira-kira apa tanggapan dan maksud di balik kiasan salam 4 jari yang ditampilkan? Apakah itu merujuk untuk menjatuhkan Paslon Nomor 02, dengan menggiring opini seolah-olah 4 jari itu aliansi dari Paslon 01 dan 03?
Pertama, 4 jari itu ada dalam surat suara enggak? Di surat suara cuma ada 3, kan sama dengan 2019 kita ngomongin Nurhadi-Aldo (Dildo) atau Aldo gitu, kan? Kenapa harus takut pada sesuatu yang nggak ada di surat suara? Dan 4 jari itu, ya, gerakan masyarakat sipil. Kita nggak mau Pemilu segampang itu, satu putaran. Memangnya, kalau Pemilu dua putaran, Prabowo nggak ikut? 02 nggak ikut? Kan tetap ikut. Jadi, kenapa dia takut 4 jari? Emang kalau 1 dan 3 berkoalisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal buka pendaftaran baru? Jadi aneh saja, takut sesuatu yang imajiner; nggak ada di surat suara, dan kalau terjadi dua putaran, Prabowo masih ikut, kenapa dia takut?
Apasih yang menjadi cita-cita konkrit Anda saat membuat film seperti Dirty Vote?
Ya, di tengah tsunami informasi seperti ini, semua konten kreator punya mimpi yang sama: agar pesannya sampai. Itu perjuangan yang luar biasa, kalau ada konten kreator yang bukan politikus atau bukan selebritas gitu (dari warga biasa), bukan buzzer, nggak punya sponsor modal, mimpinya adalah semua kontennya bisa dinikmati orang. Karena, ada jutaan konten setiap hari di media sosial. Sama, kami pun ingin topik-topik ini dibicarakan orang, jadi pembahasan. Ya, Pemilu bukan soal gimmick, bukan soal diskursus-diskursus yang di permukaan. Tapi, kita ingin dari dua konten itu, orang bicara serius; apa, sih, yang harus dibicarakan publik saat Pemilu?
Adakah bentuk intimidasi yang Anda rasakan, ketika Anda menghasilkan produk video jurnalistik yang bergesekan dengan kebijakan pemerintah?
Bagian terbaik merespon intimidasi adalah tidak membicarakannya sebagai intimidasi. Jadi, ya, mereka boleh berusaha, boleh mencoba, tapi kami tidak merasa itu intimidasi karena dukungan yang lebih besar menglahkan intimidasi itu. Ibarat malaikatnya lebih banyak dari pada setannya.
Dirty Vote telah terbit pada masa tenang, dan Pemilu pun telah terlaksana. Bahkan hasil dari quick count, 02 menjadi pemenang, kemudian apa yang akan menjadi kerja-kerja Watchdoc dan dari Anda sendiri?
Film ini bukan produksi Watchdoc, film ini produksi bersama. Watchdoc hanya menjadi salah satu kolaborator, seperti juga Ekspedisi Indonesia Baru dan juga temen-temen yang lain. Jadi, saya belum menganggap urusan Pemilu ini selesai.
Dirty Vote ini kami harapkan meningkatkan awareness orang, dan presiden atau siapa pun pemerintah harus menjelaskan di mana letak kesalahan atau fitnah film ini. Tempat terbaik menjelaskan adalah dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi, partai-partai politik, kalau memang ini persoalan, mereka harus membawa sesuatu yang ada di film ini ke ruang yang lebih formal di tingkat negara. Ya, bisa dalam bentuk angket, interflasi, atau apa pun.
Pokoknya bagi kami, apa yang terjadi, di Mahkamah Konstitusi terutama, harus ada penjelasan. Bahkan setelah ada Dirty Vote, MK juga nggak memberikan klarifikasi. Dari Juru Bicara, Hakim MK, satu pun nggak ada yang memberikan klarifikasi atau membantah. Jadi, bagi kami aneh. Sesuatu yang katakanlah ini sebuah tuduhan, gimana nasib tuduhan ini? Benar? Salah? Terverifikasi apa nggak? Negara harusnya merespon dan tugas partai politik adalah memverifikasi. Mereka juga mempunyai temuan-temuan yang, saya pikir membawa ini tidak menjadi sebuah tontonan film, tapi membawanya menjadi sebuah proses politik yang formal.
Ya, aku membayangkan pemerintah disidang oleh DPR untuk menjelaskan benar atau nggak apa yang disampaikan Dirty Vote. Apalagi Jusuf Kalla (JK) bilang, yang di Dirty Vote hanya 20%, ada 75% lagi. Ya, mudah-mudahan pola politikus seperti JK dan kawan-kawan ini, serius menggerakkan partai politik untuk memproses ini di DPR. (Fadlan/Ramadhon/red)