Foto Wawancara dengan Pak Bahruddin (Sumber Foto: Syahril/Dinamika).
Klikdinamika.com-Ditemui reporter klikdinamika.com di kediamannya (Kalibening, Salatiga), Pendiri Kelompok Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) sekaligus Pembina Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), Bahruddin, menjelaskan keterlibatannya sebagai Panelis Debat Capres-Cawapres Kelima 2024. Peraih penghargaan KickAndy dan MNC Pahlawan Untuk Indonesia ini juga menjelaskan pandangannya tentang kondisi dan kebijakan pendidikan di Indonesia, Senin (18/3/2024).
Tahun 2003, Anda mendirikan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah. Kemudian, tahun 2024 berhasil menjadi panelis di debat Calon Presiden (Capres). Sebenarnya, apa alasan Anda mendirikan Komunitas yang berbasis pendidikan yang merdeka?
Jawab: Ya, itu jadi panelis di debat presiden. Bahkan, terakhir ‘kan yang kelima. Berarti belajar dari empat tahap sebelumnya. Baik itu Calon Presiden (Capres) maupun Calon Wakil Presiden (Cawapres). Bagi saya, itu satu bentuk apresiasi pada saya, umumnya pada Qaryah Thayyibah, ternyata diakui. Karena nggak tanggung-tanggung, panelis kui ‘kan nguji (menguji) presiden. Ketika di sana, tugas saya dan teman-teman panelis yang lain, membuat soal untuk presiden. Meskipun saya diproyeksikan di bidang pendidikan, tapi dalam prakteknya kita bahas semuanya. Jadi, kami berdua belas membahas semuanya. Tidak hanya bidang pendidikan saja. Saya juga ikut membahas bidang yang lain. Itu ‘kan semacam penghormatan—khususnya—pada Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT). Sementara, perjalanan KBQT selama ini–dari 2003–dalam tanda kutip itu ‘kan melanggar dari yang diatur oleh negara. Tapi, klaim kami, sama sekali tidak melanggar. Bahkan, banyak yang bilang ini suatu bentuk berlawanan. Bagi kami nggak. Berarti kami kembali pada substansi pendidikan itu sendiri. Nah, Alhamdulillah, di periode terakhir ini, Jokowi dengan mas menterinya–Mas Nadiem Makarim–itu menggulirkan yang namanya Merdeka Belajar. Nah, apa yang dipraktikkan oleh KBQT selama ini, itu ‘kan justru esensi dari Merdeka Belajar itu sendiri. Ketika pembelajaran sepenuhnya dikembalikan kepada anak untuk berkreasi, berinovasi, di bidang apapun, dibebaskan dimerdekakan. Tapi, ketika saya diminta oleh kementerian juga menjadi anggota Badan Akreditasi Nasional (BAN) itu ‘kan juga satu bentuk pengakuan; bahwa kami diberikan kewenangan untuk menilai sekolah sak donyo (satu dunia) Indonesia.Ini sekolahan yang tadinya–tanda kutip melanggar—eh, malah dikon bijeni (disuruh menilai) sekolah-sekolah. Ada setengah juta lebih sekolah se-Indonesia melalui asesor-asesor itu. Jadi, aku dan teman-teman punya sekitar sembilan ribu asesor yang melakukan beneran. Lalu, BAN sendiri juga menyempatkan rapat pleno di sini 3 tahun lalu. Nah, lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), kok, juga mengundang saya untuk menjadi panelis untuk menguji presiden, bagaimana visi misinya terkait dengan pendidikan di Indonesia. Ya, itu satu hal yang patut kita syukuri meskipun tidak boleh berhenti di situ. Yang namanya gerakan pencerdasan anak bangsa itu, ya, harus terus berlanjut, karena turunan dari kebijakan Merdeka Belajar itu juga bisa jadi belenggu baru, gitu.
Apa yang Anda hadirkan dalam konsep Merdeka Belajar dalam dunia pendidikan di Indonesia?
Jawab: utamanya di nalar kritis, kreatif, dan inovatif. Jadi, bagaimana si pembelajar di semua level itu harus didorong untuk berkreasi, menyelesaikan problem kehidupan, dan juga menangkap peluang-peluang bagaimana meningkatkat kualitas kehidupan ini. Jadi, hal-hal yang sifatnya pendukung itu mestinya tidak lagi dibatasi dengan standar-standar. Hari ini juga sudah mulai terwacanakan. Kenapa saya bilang terwacanakan? Karena secara nyata, sistem pendidikan kita yang diatur oleh Undang-Undang Pendidikan Nasional (Diknas) itu masih banyak yang harus kita koreksi. Sementara, revisi Undang-Undang Diknas yang tadinya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), ternyata dibatalkan, ada banyak penolakan. Sehingga, sistem pendidikan nasional kita masih mengikuti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004. Jadi, masih sedemikian rupa. Tapi, sekali lagi, saya bilang sudah terwacanakan. Standar itu di capaian. Tidak harus di 8 aspek (sarana-prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan dll). Lain halnya dengan standar pembiayaan, menurut saya lain lagi. Karena itu semangatnya adalah semangat pertanggunggugatan keuangan. Jadi, standarnya tidak lagi masuk dalam pendidikan. Termasuk juga di Sarana Prasarana (Sarpras) dan juga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK). Wacana itu sudah berkembang. Sekarang dari kementerian juga sudah ke sana; tidak lagi mengatur. Misalnya, luasan tempat kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) itu harus 3 meter persegi x jumlah siswa. Tidak lagi begitu. Tapi, langsung ke capaian-capaiannya. Misalnya, di tumbuh kembang fisik motorik, anak dan juga indeks kebahagiaan anak. Jadi fokusnya di hasil. Tidak lagi harus memiliki ruang kelas. Bahkan, di KBQT sini tidak ada meja kursi, tapi terakreditasi A. meskipun Sarpras kursi wae ra nduwe (kursi aja nggak punya) . Itu ‘kan satu bentuk kemajuan. Artinya, untuk urusan input dan proses itu ya sudah, dikembalikan pada masing-masing satuan pendidikan untuk berkreasi dan berinovasi. Itu nanti, nyegatinya di capaian. Coro kasar e ngene, “koe sak karepmu. Seng penting iso”(Cara kasarnya gini, “terserah kamu, yang penting kamu bisa”). Jadi, merdeka antara lain di situ. Contoh praktik merdeka yang berhasil itu di Sasana Angkat Besi Kota Metro atau Komet. Itu peralatannya sederhana. Atletnya yang bernama Ko Yuli itu juga penggembala kambing, cah ndeso (anak desa). Tapi, karena kreatifnya Pak Yon—pelatihnya–dengan pelatihan yang sedemikian rupa, akhirnya jadi juara dunia. Itu kan hasil, yang penting hasil. Jadi, mbijeni (menilai) dari hasil, bukan dari input dan juga dari proses.
Untuk akreditasi itu sendiri, apakah sama dengan lembaga sekolah yang lain?
Jawab: Masih. Saya secara pribadi belum puas. Saya itu, periode kemarin di PAUD Pendidikan Non Formal (PNF)–termasuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM/Paket) yang menyelenggarakan klan kesetaraan. Itu instrumennya sudah performent, tidak lagi compliment. Jadi, yang dilihat itu hasil (performent), tidak lagi pembelajaran. Sekarang digabung, antara PNF dan Sekolah & Madrasah (SM). Jadi, sekarang BAN, PDM, PAUD, terus Dasar, dan Menengah. Semua tadi ada setengah juta lebih, satu waktu. Nah, itu dibagi-bagi. SD-MI, SMP-MTs, SMA-Aliyah, SMK-SLB, termasuk kesetaraan. Bukan satuannya, tapi program kesetaraannya. Saya belum puas sebagaimana waktu di PAUD PNF. Sekarang, tetap saja masih menilai learning processs pun sudah ada banyak perubahan dibandingkan dulu. Ya, ini lah perkembangan. Mungkin perubahan tidak bisa sebagaimana membalikkan telapak tangan.
Adakah bentuk intimidasi yang Anda rasakan, ketika Anda memproklamirkan sistem pendidikan Merdeka Belajar?
Jawab: Tidak ada. Bahkan, tidak butuh waktu lama. Karena ada banyak capaian, terus ada apresiasi. Bahkan, dari negara-negara yang dipimpin oleh UNESCO, oleh PBB berkunjung ke sini. Meskipun dari dua dari provinsi itu minta dibubarkan karena jumlah siswanya 12. Waktu itu ‘kan bukan PNF, waktu itu SMP terbuka. Jadi, waktu itu namanya PKBM, tempatnya di sini, tapi gabung di SMPN 10. Nah, itu karena kurang dari 20 diminta langsung gabung ke SMPN 10 aja, karena persyaratan PKBM itu 20. Ya, saya sebenarnya sempat agak marah, tapi tidak sampai merasa terintimidasi.
Berarti waktu pembuatan awal dulu, ada semacam kerja sama?
Jawab: Ya, pasti. Jadi, yang namanya learning colaboratif itu pasti. Karena keberhasilan pendidikan itu harus menyertakan prinsip-prinsip kolaboratif, kerjasama itu dilakukan dengan siapapun. Bahkan, dengan petani miskin sekali pun. Malah, saya sarankan setiap anak wajib bersahabat dengan sekurang-kurangnya satu tanaman. Jadi, nanti ketika ketemu, dia akan melaporkan kondisi sahabatnya. Itu pembelajaran yang luar biasa. Misalnya, bersahabat dengan pohon pepaya. Dia akan melaporkan kondisi pohon pepaya tersebut. Dia akan belajar tentang penyakit tanaman, mikrobiologi, dan macam-macam pembelajaran lainnya. Atau yang lain, bersahabat dengan kambing misalnya. Nah, itu pengembangan prinsip-prinsip kolaboratif.
Adakah kesulitan yang dihadapi selama mengadakan kerjasama?
Jawab: Tidak. Kerjasama itu pasti memudahkan, tidak ada istilah kesulitan. Nah, sebenarnya prinsip-prinsip kolaboratif itu penting diterapkan di dunia pendidikan. Menggantikan konsep lama yang kompetitif. Kolaboratif kebalikan dari kompetitif. Di dunia sekolah, kampus itu masih banyak menggunakan kompetisi. Nanti, diumumkan siapa yang lulus, siapa yang tidak, peringkat, rangking 1, rangking 2, dan seterusnya. Sehingga, semangatnya mengalahkan yang lain. Berbeda dengan kolaboratif. Kolaboratif itu selalu melihat orang lain dan mencari peluang yang bisa dikerjasamakan, saling panen. Semakin banyak sahabat semakin kuat. Bahkan, sahabat itu berbeda. Berbeda kesenangannya, berbeda keyakinannya, sampai seperti itu. ,Begitu saya punya satu visi, apa lah. Nah, ketika saya punya banyak sahabat, semakin kuat.
Lalu bagaimana cara menarik peserta belajar dalam tahap awal perintisan?
Jawab: Awal-awal memang dari lingkungan aja. Jadi, sebenarnya konsep belajar itu, belajar aja. Bikin kelompok belajar. Tidak mencari kelompok belajar. Begitu mencari warga belajar itu, pasti dia sudah terjebak ke komersialisasi pendidikan, karena cari pembeli. Jadi, guru itu sebagai interproduksi, terus siswa itu sebagai pembeli. Persoalan nanti dibantu oleh negara dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), nah itu persoalan lain. BOS berdasarkan jumlah, itu logika-logika lama. Bahkan, guru itu bukan hanya interproduksi. Guru itu orang yang mau belajar bersama juga. Peran kesejahteraan itu bukan upah mengajar, tapi hasil dari produksi. Sehingga, mestinya, ini satu kelompok yang belajar bersama, nanti akan menghasilkan dari proses-proses belajar. Misalnya, nulis buku, atau berkarya apa pun lah.
Bagaimana cerita dibalik terpilihnya Anda sebagai salah satu panelis dalam debat Capres?
Jawab: Mbuh, yo. Mungkin, ya, ada yang kenal, ketuanya Hasyim Asy’ari. Tapi, dinyatakan waktu di sana, ya, dicek betul. Jadi, semua panelis itu dicek track record-nya. Sekarang, kan, gampang. Googling ‘kan iso. Tapi, kewenangannya di KPU. Jadi, tidak ada tim seleksi panelis, itu tidak ada. Jadi, ya, litahaddus bin nikmah (karena memang terpilih). Jadi, yang menghubungi ketuanya Hasyim Asy’ari. Ketika di sana dinyatakan oleh pihak KPU bahwa, “kami KPU meneliti”.
Apa ide yang anda sumbangkan dalam penyusunan draft pertanyaan dalam debat Capres?
Jawab: Terutama dongkrak inovasi. Jadi, di nalar-nalar kritis dan inovatif. Tapi, sing diwoco kui (yang dibaca)tentang kesejahteraan guru dan dosen. Jadi, ada 3 pertanyaan di bidang pendidikan,’kan diundi, jadi yang terambil itu tentang kesejahteraan guru dan dosen. Jadi, ada 18 soal dan itu diamankan dan ini menjadi seperti masukan pada presiden ke depan. Jadi, sebatas masukan. Kalau berhasil dibacakan oleh moderator dan ditanggapi, itu otomatis menjadi janji. Jadi, debat ngono kui ora main-main. Tercatat dan terdokumentasikan. Tapi, hanya diambil 6 dari 18. Itu antara lain untuk menghindari pembocoran oleh panelis keluar. Jadi, panelis di sidang, karantina selama 3 hari. Siapa pun tidak ada yang boleh masuk. Bahkan, di hotel itu, pelayan hotel tidak boleh nganterin kopi. Hanya membuat soal, tidak melakukan pendalaman. Moderator itu membacanya dibatasi, diukur durasinya, hanya sekian kata.
Menurut Anda, bagaimana kualitas debat Capres ketiga, saat Anda menjadi panelis?
Jawab: Bagus. Melampaui ekspektasi. Semua Pasangan Calon (Paslon) punya power-nya masing-masing.
Apa yang menjadi cita-cita Anda terhadap pendidikan di Indonesia?
Jawab: Ya, seperti di debat tadi. Jadi, pencerdasan semua itu, ya, di kreatif dan inovatif tadi. Ini yang menjadi perhatian cukup serius, menurut saya. Kenyataannya, kita luar biasa krisis inovator. Misalnya, SMK dengan murid 100, jarang sekali menghadirkan inovator. Kita masih lebih banyak menjadi penikmat/penerima manfaat. Apa yang melekat di kita (kebutuhan hidup seperti alat komunikasi, transportasi, dll) itu bukan produk kita. Meskipun itu banyak memudahkan. Sesungguhnya di konsep pendidikan yang memerdekakan itu bisa lebih leluasa. Bahkan pesantren salaf–notabene terbebas dari aturan pusat. Itu sebenarnya punya peluang yang besar untuk mendongkrak, misalnya indeks inovasi sistem yang membebaskan, tapi nanti kan terpulang ke masing-maisng pembelajar. Si pembejarar itu diberikan kemerdekaan seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan hidup untuk belajar serius. Istiqomah dan serius. Aturan-aturan apalagi adsminitratif, macam-macam itu malah menghambat. Tugas ini lebih banyak fasilitatif. Contoh, fotografer serius di bidangnya, negara menfasilitasi kamera. Tidak usah mengatur-atur ‘kan senang juga. (Mada/Syahril/red)