Polemik Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) dan Mengapa Ibu Kota Harus Dipindahkan?

sumber foto : http://cnbcindonesia.com

Oleh : Ahmad Ramzy

Perpindahan Ibu Kota menjadi buah bibir di tengah masyarakat, bahkan setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Selasa (18/01/2022) dan tidak tanggung-tanggung rapat paripurna tersebut terlaksana hingga dini hari di Gedung Parlemen Jakarta.
Pengesahan RUU IKN menjadi UU IKN tersebut dihadiri oleh 305 dari 575 anggota dewan, di mana 77 anggota dewan hadir secara fisik dan 190 anggota dewan hadir secara virtual (sumber: CNN Indonesia). Pembahasan RUU ini hanya dibahas selama 42 hari terhitung sejak 7 Desember 2021, ada pelaksanaan rapat kerja dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (APN/Bappenas), Menteri Keuangan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Point penting dari pengesahan RUU IKN tidak luput dari penamaan terhadap Ibu Kota Negara baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa untuk memberikan nama Nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara baru dengan beralasan bahwa kata “Nusantara” sudah dikenal sejak dulu dan iconik di kancah internasional serta menggambarkan kenusantaraan Indonesia.
Terlepas dari nama Ibu Kota Negara baru, tanggung jawab presiden adalah menentukan dan menunjuk Kepala Otorita IKN. Ketentuan penunjukannya tertuang dalam Pasal 10 ayat 3 UU IKN. Pasal itu menyebutkan bahwa kepala otorita dan wakil kepala otorita ditunjuk dan diangkat oleh presiden paling lambat dua bulan setelah UU IKN diundangkan. Apakah pemilihan kepala otorita ini dipilih dari seorang menteri? atau kaki tangan Presiden Joko Widodo yang akan menempati posisi tersebut?
Banyak masyarakat mempertanyakan, mengapa pengesahan RUU ini terkesan terburu-buru? Tidak hanya itu, masyarakat juga menilai bahwa pemindahan ibu kota baru seperti menghambur-hamburkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), saat kondisi Indonesia sedang terjepit karena dalam masa penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi akibat virus tersebut.
Terkait terburu-burunya pengesahan RUU ini, dari sembilan fraksi ada satu fraksi yang menolak. Satu-satunya fraksi yang menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota Fraksi PKS Hamid Noor Yasin dalam interupsinya di rapat paripurna mengatakan bahwa kondisi ekonomi negara sedang sulit, terlebih krisis yang tengah dihadapi dengan adanya Covid-19, hingga banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan menimbulkan angka kemiskinan yang terus bertambah. Dia juga menyinggung hutang negara yang seiring berjalannya waktu akan terus bertambah dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pemindahan ibu kota. Sehingga memiliki kecenderungan membebankan negara terutama masyarakat. Hutang pemerintah sebesar Rp6.687,28 triliun, setara dengan 39,69 % produk domestik bruto, sedangkan kebutuhan anggaran untuk IKN, diperkirakan kurang lebih 53,5% pendanaan sekitar Rp466 triliun menggunakan APBN dan 46,5% sisanya menggunakan dana lain dari skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (sumber: BBC Indonesia).
Perlu diketahui, bahwa hasil rapat kerja Panitia khusus (Pansus) RUU IKN, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terkesan seperti buru-buru ini telah dipersiapkan dengan alasan genting. Kurang lebih 16 jam rapat panitia kerja dalam membahas RUU IKN ini hingga disahkan. Seperti yang telah dikutip oleh Kompas.com, usut punya usut Ketua Pansus RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa pembahasan RUU IKN ini sudah ditekadkan segera sah agar nantinya dapat menjadi payung hukum kepada para investor untuk terlibat mendanai pembangunan IKN.
Jika pendanaan pemindahan IKN baru lebih mengutamakan dana dari KPBU, swasta/investor dan BUMN maka masyarakat tidak terlalu terbebani. Karena seperti yang kita tahu, menurut Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI), Roy Valiant Salomo bahwa Indonesia mengalokasikan Rp677,2 triliun untuk biaya penanganan Covid-19. Rinciannya Rp87,55 triliun untuk bidang kesehatan dan Rp589,65 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional. Lalu ia juga menambahkan bahwa penggunaan APBN dalam pendanaan pemindahan IKN berpotensi mengorbankan masyarakat akibat dari terbatasannya dana. Saran tersebut juga disinyalir agar pemerintah bisa dengan bijak dalam mendanai pemindahan IKN.
Namun, dibalik itu semua ada dosa-dosa perusahaan di sekitar IKN. Tidak lain dan tidak bukan dosa-dosa tersebut akan diputihkan oleh pemerintah. Menurut data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLHBI) terdapat 94 lubang bekas tambang batu bara yang tersebar di wilayah IKN, diantaranya adalah PT. Singlurus Pratama (22 lubang), PT. Perdana Maju Utama (16 lubang), CV. Hardiyatul Isyal (10 lubang), PT. Palawan Investama (9 lubang) dan CV. Amindo Pratama (8 lubang). Megaproyek IKN sendiri berpotensi akan menggusur lahan-lahan masyarakat adat, terutama masyarakat adat Suku Balik dan Suku Paser serta warga transmigran yang sudah menghuni di dalam kawasan 256 ribu Hektar tersebut.
Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur telah dikemukakan resmi pada 26 Agustus 2019, alasan utama pemindahannya karena Jakarta dinilai tidak layak dari aspek dukung dan daya tampung. Lalu apakah dengan pemindahan IKN mampu memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat? Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa pemindahan IKN sepertinya justru akan menimbulkan masalah baru terutama konflik agraria yang sampai hari ini banyak dilakukan oleh pemilik kekuasaan. Tidak hanya mengorbankan masyarakat rencana pemindahan ibukota akan menimbulkan kerusakan lingkungan alam sekitarnya.
Jika kita menarik alasan pemindahan IKN karena ketidaklayakan Jakarta. Lalu mengapa pemerintah cenderung abai dengan persoalan yang ada di Jakarta? bahkan permasalahan di Jakarta selalu dilimpahkan kepada Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Alih-alih memperbaiki, justru abai dan pergi dengan alasan memulihkan negeri.
Permasalahan calon mantan ibu kota yakni DKI Jakarta tidak ada habisnya terutama mengenai pencemaran udara yang terjadi di Jakarta, bahkan permasalahan ini masuk ke meja peradilan (sumber: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta). Sungguh disayangkan di dalam penuntutan dari masyarakat tersebut, pemerintah pusat di antaranya Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan serta Menteri Dalam Negeri melayangkan upaya banding. Bukankah masalah ini menjadi tanggung jawab penuh pemerintah? mengapa mereka melayangkan upaya banding? mengapa pemerintah langsung memikirkan pemindahan IKN dan melupakan calon mantan ibu kota kita yang saat ini sedang tidak baik-baik saja? inilah yang disebut sebagai lepas tanggung jawab.
Terakhir, masalah pemindahan IKN seharusnya tidak menjadi tujuan utama kebijakan dari pemerintah karena masih banyaknya masalah dalam negeri yang lebih penting untuk segera diselesaikan, bukannya malah dipertambah. Lalu apa gunanya kita sebagai masyarakat? seolah-olah kita hanya dianggap mereka tidak lebih seperti domba kosong di hamparan sabana rutinitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *