Darurat Agraria: Urgensi Reforma Agraria dalam Menyikapi Paradoks Kebijakan yang Naif


Sumber foto: kompasiana.com

Oleh: Ahmad Ramzy

Reforma agraria atau agrarian reforma adalah suatu penataan ulang susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah) untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, tunakisma, dan lain-lain) secara menyeluruh dan sistematis. Adanya reforma agraria pun bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan tanah dan pemilikan tanah, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, menangani dan menyelesaikan konflik agraria, menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia.

Akan tetapi, urgensi reforma agraria terjadi diakibatkan tidak ditegakannya kebijakan serta hukum yang sudah tertera dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang di dalamnya terdapat bagian penting, diantaranya menyangkut ketentuan-ketentuan landreform, seperti ketentuan mengenai luas maksimum hingga minimum hak milik tanah dan pembagian tanah kepada petani yang tak bertanah (baca: petani penyakap).

Kebijakan UUPA dimaknai sebagai aspirasi “keadilan agraria” terhadap masyarakat l, terutama para petani. Kelahiran UUPA juga diamanatkan kepada pemerintah pada zaman Ir. Soekarno untuk segera melakukan perubahan mendasar struktur agraria warisan kolonial yang timpang. Amanat UUPA seharusnya tetap ditegakkan dan terlaksana hingga saat ini.

Namun kenyataannya hingga saat ini, pelaksanaan kebijakan tersebut terhalangi oleh sikap kekuasaan para tokoh di dalam pemerintahan yang membuat sebuah ketimpangan mengenai ketentuan hak milih tanah. Segelintir orang maupun kelompok yang berkepentingan menguasai sumber-sumber argraria begitu besar sebagai matriks dasar, sementara mayoritas penduduk hanya menguasai sebagian kecil tanah saja. Bahkan mayoritas penduduk tersebut hingga saat ini haknya selalu dieksploitasi oleh pemangku kekuasaan yang haus untuk memperkaya diri mereka dan kelompoknya tanpa memikirkan nasib masyarakat serta lingkungan hidup alam di sekitarnya.

Selain itu, perampasan kepemilikan tanah secara paksa atau land grabbing sering terjadi karena tidak diakuinya sistem kepemilikan masyarakat yang telah berlaku di wilayah mereka selama bergenerasi dan hal inilah yang biasa disebut juga sebagai konflik agraria. Letusan konflik agraria menunjukkan adanya resistensi masyarakat terhadap regulasi pemerintah. Kesadaran akan lingkungan alam dan memaknai arti kemanusiaan menjadi kunci dalam menyuarakan gagasan ekologi serta meluruskan reforma agraria. Penegakkan kebijakan dan hukum yang berlaku di Indonesia begitu naif.

Perlu kita ketahui bahwa total konflik agraria yang terjadi pada tahun 2020 terhitung hingga 241 kasus yang terjadi di 359 desa/kota dan luasan konflik tersebut mencapai 624.272,711 hektar, dengan luasan wilayah terbesar adalah kehutanan yang mencapai 312.158,1 hektar (sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria). Jika kita berkaca pada tahun 2021, tentu permasalahan konflik agraria masih marak terjadi di beberapa desa/kota seperti contohnya di Wadas, Lakardowo, Kinipan, Batang, Seluma, Boven Digoel, Jayapura, Mimika, Merauke, hingga Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan lainnya (sumber: Greenpeace).

Sejak tahun 2000 hingga 2021, di Provinsi Papua sendiri terdapat pelepasan kawasan hutan seluas 951.771 hektar yang diberikan kepada 37 konsesi. Sebagian besar dari pelepasan ini (30) untuk kelapa sawit, sisanya untuk karet (3), tanaman pangan (1), dan tebu (3). (Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Apakah data yang diinformasikan oleh KLHK sesuai dengan realitanya atau justru melebihi dari perkiraan tersebut? Apakah pelepasan kawasan hutan tidak menimbulkan konflik agraria dengan masyarakat yang terutama bertempat tinggal di hutan adat? Tidak akan bisa kita pungkiri dengan pasti, karena permasalahan konflik agraria seringkali ditutup-tutupi, sehingga tidak tersebar meluas oleh publik.

Adanya konflik agraria didasari pula adanya penyalahgunaan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dapat memiliki HGU dan HGB yakni Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Namun, HGU ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Begitupun dengan HGB, pemegang HGB harus menggunakan tanah sesuai dengan peruntukan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pemberiannya, tapi pada kenyataannya HGB banyak ditelantarkan pemerintah yang tentu juga menjadi akar terjadinya konflik agraria, contohnya perusahaan yang telah habis masa sewanya (Pasal 35 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 dengan jangka waktu paling lama 30 tahun) tapi tidak ditertibkan pemerintah. Setelahnya perusahaan tersebut cenderung abai dan tetap menjadikan tanah tersebut adalah milik mereka.

Tidak hanya itu, sekitar 90.200 hektar perkebunan kelapa sawit berada di hutan konservasi. Mulai dari kasus penggundulan 100 hektar Gunung Melintang yang digunduli oleh perusahaan kelapa sawit, bahkan lokasinya bersebelahan dengan perkebunan sawit yang mengantongi izin usaha perkebunan pada tahun 2007 seluas 7.000 hektar, dan lainnya (sumber: Greenpeace). Perusahaan dan elit terus mengeruk keuntungan tanpa adanya jeratan hukum dan terbebas dari pembayaran pajak. Berkat Omnibus Law, perkebunan illegal yang tidak memiliki izin hingga yang sudah memiliki izin selalu dibiarkan mengeruk keuntungan dan permasalahan mereka selalu berakhir dengan pemutihan atau penyelesaian tanpa tindakan hukum (non-litigasi).

Keterkaitan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dengan agraria bisa kita lihat di UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, kemudian PP terkait disahkan pembentukan Bank Tanah dan ditandatangani oleh presiden pada tanggal 29 April 2021, yaitu PP No. 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah. Pengesahan PP ini adalah pelaksanaan ketentuan Pasal 135 Omnibus Law. Badan Bank Tanah akan menjadi pengendali utama dalam pengadaan dan pengalokasian tanah di Indonesia.

Adanya PP No. 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah justru membuat kenyataan pahit karena implementasi di lapangannya tetap merugikan. Selain itu, berpotensi menimbulkan tumpang-tindih, sebab kewenangan dan fungsi tersebut selama ini dijalankan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Wewenang Bank Tanah bahkan memberikan jaminan perpanjangan hak atas tanah. Pasal 50 PP Bank Tanah memberikan diskresi kepada Menteri ATR/BPN untuk dapat melegalkan kesalahan-kesalahan wewenang dalam penanganan masalah pertanahan. Sebagai contoh Menteri ATR/BPN dapat memutihkan masalah HGU yang terlantar atau HGU yang sedang ada tumpang-tindih atau masalah dengan masyarakat di wilayah tersebut, dengan memberikan kemudahan proses pengakuan hukum kepada perusahaan atau investor yang membutuhkan tanah tersebut.

Tidak hanya itu, dalam permasalahan yang lain mengenai Bank Tanah. Bank Tanah sama sekali tidak berpihak pada pemenuhan hak masyarakat atas tanah, melainkan investasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP Bank Tanah, yakni Bank Tanah menjamin dan mendukung ketersediaan tanah untuk pembangunan dalam rangka mendukung peningkatan ekonomi dan investasi. Ekonomi untuk siapa? Tentu bukan untuk rakyat kecil. Pembahasan Bank Tanah juga dianggap sebuah klaim negara untuk menjadikan tanah tersebut harus dikuasai oleh pemerintah dan penetapan ini diatur dalam PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, di mana tanah negara adalah salah satunya tanah yang belum bersertifikat atau tidak dapat dibuktikan kepemilikannya.

Berdasarkan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 disebutkan jika negara menguasai berbagai cabang produksi yang memiliki kepentingan luas, bumi dan air serta kekayaan alam yang ada. Hal ini dimaksudkan supaya seluruh komponen tersebut dapat diolah dan digunakan untuk kepentingan masyarakat luas dan kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, penguasaan oleh negara diartikan juga bahwa perekonomian tidak hanya dikuasai oleh individu atau sekelompok orang saja. Akan tetapi, masyarakat kecil seringkali tidak diikut sertakan dalam penguasaan luas, bumi dan air serta kekayaan alam. Apakah implementasi pasal ini sudah berlaku hingga saat ini?

Para pembaca yang budiman, undang-undang atau aturan-aturan yang berlaku di Indonesia seperti mudah sekali dimainkan hanya untuk sebuah kepentingan para pemegang kekuasaan. Perlu diketahui, pada tahun 2019 sebanyak 45.5 persen atau 262 anggota DPR RI terafiliasi dengan ribuan perusahaan yang cenderung mengeksploitasi sumber daya alam (sumber: Tempo). Bahkan perusahaan-perusahaan tersebut banyak melakukan tindakan tidak senonoh kepada masyarakat di wilayah yang ingin mereka jadikan sebagai tempat usaha. Hal tersebut juga dikarenakan korporat sudah memiliki hubungan baik dengan pemerintah.

Apakah pembaca pernah mendengar program food estate? Program yang digagas pemerintah ini justru menyimpan berbagai masalah. Alih-alih menjalankan reforma agraria untuk kedaulatan pangan, food estate menyerahkan urusan pangan kepada korporasi dan menyingkirkan petani terutama luang lingkup kehidupan petani. Tidak hanya itu, menurut laporan investigasi (sumber: Tempo) menyebutkan 600 hektar hutan alam di Gunung Mas, Kalimantan Tengah telah digunduli untuk perkebunan singkong yang merupakan bagian dari program Food Estate pemerintah. Rencana awal ekspansi hutan akan dibuka mencapai 31.000 hektar.

Perlu kita sadari, dalam menangani permasalahan yang masih simpang siur tersebut perlu adanya resolusi kedepan secara jangka panjang, resolusi kita dalam menghadapi masalah darurat agraria harus disusun dengan matang dan dioptimalkan dengan baik. Pertama, mengubah paradigma ketimpangan yang telah terjadi terlebih dahulu, terutama perlu adanya tindakan lanjut terhadap regulasi turunan Omnibus Law. Kedua, urgensi pembentukan badan khusus untuk menyelesaikan permasalahan konflik agraria yang bersifat struktural dan eksekutorial, serta yang terakhir adalah adanya usaha sistematis untuk memulihkan hak-hak korban dan melakukan proses penataan ulang struktur penguasaan tanah.

Kita sebagai masyarakat mayoritas yang terdampak konflik agraria maupun tidak tentu harus memahami urgensi yang terjadi di lingkungan alam serta membantu untuk mengoptimalkan reforma agraria, gagasan ekologi sangat dibutuhkan sekali untuk menjaga alam ini agar bisa terfilterisasi oleh sikap serakah yang cenderung mengeksploitasi alam tempat kita tinggal. Perlu kita bayangkan apabila kita sebagai masyarakat mayoritas tidak turut peduli terhadap lingkungan alam kita, apa jadinya bumi kita nanti?

Aksi nyata kita untuk meluruskan mimpi reforma agraria akan menjadi modal baik untuk saudara-saudara kita yang sudah terdampak, belum terdampak, hingga yang tidak terdampak sekalipun. Aksi nyata dari kita sekaligus menjadi perlawanan kepada sikap arogansi keserahakan manusia yang tidak bertanggung jawab dengan lingkungan hidupnya sendiri dan orang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *