Sumber Foto: Okezone.com
Oleh: Fadlan Naufal R.
Mungkin kita sudah tidak asing mengenai Surat Edaran (SE) Rektor No. 8 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Anggaran dan Efektivitas Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Universitas Islam Negeri Salatiga yang beredar beberapa hari yang lalu. SE itu dikeluarkan untuk menindaklanjuti kegiatan potong-potong dana oleh pemerintahan rezim Prabowo—yang mesti penulis juga ingin menuliskan kritik panjang soal efisiensi anggaran dalam ranah pendidikan yang dilakukan demi keberlangsungan program Makan Bergizi Gratis (MBG), Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, dsb, namun saat ini penulis tidak akan menguraikannya di sini.
Tulisan ini akan fokus menguraikan isi kepala terhadap para Dekan yang tidak sigap—yang tidak segera melakukan tindak lanjut setelah Surat Edaran Rektor (baca: SE Rektor No. 08 Tahun 2025) beredar pada Kamis malam lalu. Tulisan ini akan menguraikan kekhawatiran terhadap ketidaksigapan para Dekan yang tidak segera melakukan tindak lanjut setelah SE Rektor tersebut berhasil memupuk kebingungan di kalangan mahasiswa dan dosen. Sebab, tidak langsung ditindak lanjut oleh pihak fakultas, dalam hal ini Dekan.
SE Rektor No. 08 Tahun 2025 itu dalam sekejap berhasil menciptakan keributan di dalam beberapa grup WhatsaApp mahasiswa UIN Salatiga, termasuk yang penulis alami sendiri. Hal ini terjadi karena tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait pembelajaran, sebagaiman tercantum pada poin 13 SE tersebut yang isinya mengatakan: Ketentuan terkait dengan proses pembelajaran diatur tersendiri. Dimana dapat diartikan bahwa kebijakan itu selanjutnya diserahkan kepada masing-masing fakultas untuk dapat merespon dan menanggapi instruksi dari Rektor yang kemudian mengkomunikasikannya kepada mahasiswa atas putusan tersebut. Maka seharusnya, fakultas memberikan tindak lanjut yang sifatnya lebih spesifik dan teknis, agar dosen dapat segera bertindak untuk mempersiapkan langkah yang harus diambil.
Sepintas kasus ini terlihat seperti permasalahan yang amat sepele. Akan tetapi, penulis memandang kasus ini lebih daripada itu. Penulis menganggap, hal seperti ini tidak boleh terus didiamkan, karena hal serupa masih sangat mungkin akan terjadi lagi di kesempatan lain yang lebih urgensial dan lebih krusial. Ketidaksigapan Dekan dalam menghadapi isu yang berpotensi menimbulkan tanda tanya besar dan kesalahpahaman tidak boleh dibiarkan, karena outputnya ialah misinformation.
Jadi, walaupun dampak dari kasus ini sepintas terasa ringan, tetap saja kita bisa melihat ketidakcekatan para Dekan menjadi momok menakutkan bila dibayangkan akan terus-terusan terjadi. Kecuali Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI)−yang pada malam itu juga menerbitkan SE untuk menindaklanjuti SE Rektor, yang menjadikan mahasiswa FEBI satu langkah lebih nyenyak dalam tidurnya.
Urgensi Tindak Lanjut oleh Dekan
Penulis ingin mengurai urgensi itu ke dalam dua poin yang akan dijelaskan dengan sedikit argumentative. Dan beginilah kemudian jadinya:
Pertama, ketika SE Rektor itu menyentuh ranah fakultas dan menyinggung keberlanjutan proses belajar mahasiswa setiap harinya−bahkan untuk satu hari. Dekan dan jajarannya, punya tanggung jawab penuh untuk meluruskan dan menindak lanjuti surat edaran tersebut untuk memperjelas regulasi temporal yang akan ditetapkan atau diterapkan.
Dengan demikian, mahasiswa tidak harus bertanya-tanya dan kembali terganggu jam tidurnya untuk menunggu dalam ketidakpastian soal “Bagaimana sebenarnya ini?” atau pertanyaan yang tumbuh satu dengan yang lain, seperti “Bagaimana jadinya besok?” atau “Yang benar yang mana?” Terutama untuk teman-teman yang hari itu terjadwalkan kelas pagi. Pertanyaan itu terus berlanjut, dan kita bertingkah seolah mereka tidak bertanggung jawab.
Tidakkah hal serupa memang sudah sering terjadi di kampus kita ini? Yang ujungnya membuat kita bertanya-tanya dengan tidak kunjung tibanya SE atau Press Release secara resmi dari mereka−birokrasi kampus. Tentu hal demikian perlu dibenahi dan dilakukan evaluasi. Namun nahasnya, hal ini didiamkan terus-menerus dan menjadi kebiasaan yang juga lagi-lagi mengharuskan kita berdiri dari tempat duduk nyaman itu dan berkata: Ini tidak boleh dirawat!
Kedua, dalam keadaan yang lebih krusial, ketidaksigapan ini akan memicu penolakan besar-besaran karena kita tidak bisa membiarkan hubungan antara mahasiswa dan pihak kampus berubah menjadi relasi kuasa. Sebab selanjutnya hubungan “relasi kuasa” akan membikin kita jatuh dalam ilusi bahwa mereka selalu benar, dan menciptakan pemahaman salah bahwa kita tidak bisa apa-apa. Padahal tidak demikian harusnya.
Benar begitu bukan? Sangat nyata pada kebenarannya bahwa mereka juga bisa saja salah dan lalai. Begitulah kemudian kita-kita ini−meminjam kata Pramoedya Ananta Toer: manusia terhormat, orang-orang yang terpelajar, harusnya melakukan hal-hal yang konkret—dalam hal seperti ini, untuk menjawab kelalaian kampus. Tidak boleh ditanggalkan. Melawan ketidakbenaran itu meskipun hanya dalam hati, yang pada kesempatan ini, tertuang dalam tulisan. Maka dari itu, potensi-potensi yang bisa menimbulkan watak relasi kuasa, harus segera dilawan. Dicegah bibitnya yang akan tumbuh.
Jadi, begitupun untuk keadaan saat ini, yang agaknya membuat kita perlu untuk memberikan beberapa pesan dengan tulisan bersifat kritik agar mereka kembali membumi, dengan mengakui bahwa, memang, mereka tidak selamanya benar. Dan, mereka pantas untuk membaca dan menerima tulisan ini sebagai salah satu bahan berkaca, sebagai sarana prasarana mendobrak kebuntuan itu.
Tibalah kemudian kita pada harapan-harapan
Tanpa penjelasan lagi yang melebar, penulis ingin menguraikan sedikit soal harapan dan kesimpulannya yang pada akhirnya bukan cuma Dekan, tapi seluruh aspek dalam kelembagaan kampus.
Bahwa Dekan, dan seluruh pihak di tatanan divisi kelembagaan kampus, baik itu Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), Bidang Akademik, Kemahasiswaan, maupun Rektor−untuk melakukan kritik-otokritik terhadap sistem dan kinerja masing-masing bidang, yang selanjutnya dilakukan kerja-kerja evaluatif. Dengan harapan kampus akan berjalan lebih baik sebagaimana mestinya, yang lebih daripada mensejahterakan semua pihak yang ada, baik dalam ranah fisik dan psikis, tapi juga menjadi instansi yang profesional dan punya daya responsibilitas yang tinggi. Dengan harapan kampus lebih profesional apabila hal-hal seperti yang diuraikan dalam tulisan ini, terjadi lagi pada masa yang akan datang. Tabik!