Menggeledah Personalitas Manusia Indonesia

Sumber Foto: Google Books

Oleh: Ahmad Ramzy


Identitas Buku:
Judul Buku      : Manusia Indonesia
Penulis         : Mochtar Lubis
Penerbit           : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit   : Mei 2001 (berisikan ceramah Mochtar Lubis pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta)
Cetakan           : Ketujuh
Tebal Buku     : viii + 140 halaman
 
“Tetapi saya melihat adanya jurang yang semakin besar antara manusia ideal kita dengan manusia Indonesia sebenarnya, yaitu kita-kita semua ini. Jurang besar antara pretensi-pretensi kita dengan kenyataan-kenyataan sebenarnya.” (hlm 5)
 
“Kenyataan manusia Indonesia yang kita-kita sekarang ini bagaimana keadaannya? Bagaimana tampangnya. Seperti kunyuk atau Arjunakah. Seperti Kelongwewe atau Dewi Sinta?” (hlm 10)
 
Mochtar Lubis, seorang wartawan, pelukis, novelis, cerpenis, penerjemah dan seorang sastrawan ternama angkatan 1960an. Beliau lahir di Padang 7 Maret 1922 dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2004. Ia turut pula mendirikan kantor berita Antara dan majalah Sastra Horizon. Tidak hanya itu, beliau adalah salah satu pendiri dari Yayasan Obor Indonesia (YOI) yang merupakan tempat penerbitan buku dan tempat pengembangan intelektual.
 
Sebagai sastrawan ternama, Mochtar tidak terlepas dari karya-karya yang mampu ia hasilkan semasa hidupnya. Beberapa karya Mochtar Lubis yang masih bisa dinikmati oleh kita semua diantaranya adalah Manusia Indonesia, Berkelana dalam Rimba, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Maut dan Cinta, Harimau! Harimau!, Korupsi Politik dan masih banyak lagi.
 
Dirinya terkenal pula sebagai seorang wartawan. Cara berpandangnya yang tajam dan kritis terhadap sebuah rezim mengakibatkan dirinya harus dikurung dalam bui pada tahun 1957 atau tepatnya di masa pemerintahan Bung Karno. Selama dirinya ditahan, ia tetap berkarya, seperti menulis, melukis, dan bermain biola.
 
Dalam buku Manusia Indonesia yang merupakan hasil dari pidato kebudayaan Mochtar Lubis pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki. Buku ini mengupas tabiat-tabiat masyarakat Indonesia yang terdiri dari negatif dan positif. Walaupun penjabaran Mochtar sendiri lebih mendominasi ke tabiat negatif orang Indonesia. Dan tampaknya apa yang disampaikan oleh Mochtar masih relevan hingga saat ini.
 
Tabiat manusia Indonesia yang dimaksud ialah munafik dan menyuburkan sikap ABS (Asal Bapak Senang), enggan bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya terhadap takhayul, berbakat seni, dan lemah karakternya. Apa yang dikatakan oleh Mochtar merupakan stereotip yang pula menurut Jakob Oetama dalam pengantarnya mengatakan bahwa stereotip bermanfaat sebagai pangkal tolak serta penilaian kritis untuk membangun kembali manusia Indonesia menjadi ideal.
 
Dari enam ciri manusia Indonesia yang dikatakan oleh Mochtar, banyak diantaranya berkaitan dengan ciri-ciri buruknya. Seperti halnya sifat munafik, enggan bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya terhadap takhayul, dan lemah karakternya. Sedangkan, di sisi lain terdapat pula ciri manusia Indonesia yang diyakini oleh Mochtar akan menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk masa mendatang, yaitu ciri manusia Indonesia yang berbakat seni.
 
Penjabaran ciri tersebut akan saya coba jabarkan sesuai yang disampaikan oleh Mochtar. Pertama, munafik atau hipokrit. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, hal ini terjadi diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar diri mereka yang secara paksa membuat mereka menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan, di sisi lain karena takut akan mendapat kesulitan bagi dirinya.
 
Sikap berpura-pura ini dikenal juga dengan istilah ABS (Asal Bapak Senang). Yang dimana sikap ini telah berakar jauh sebelum dijajah bangsa asing, atau tepatnya saat kerajaan-kerajaan telah hadir di Indonesia, hingga akhirnya menimbulkan sikap menerima dengan lapang dada terhadap penindasan-penindasan yang ada.
 
Sampai saat ini pun sikap ini masih dilakukan dalam diri manusia Indonesia. Yang berkuasa senang di-ABS-kan oleh bawahannya dan yang merasa bawahan senang meng-ABS-kan atasannya. Padahal, belum tentu apa yang dilakukan oleh atasannya tersebut benar. Sikap ini juga yang mendorong terjadinya pengkhianatan intelektual di negeri kita.
 
Kedua, enggan bertanggung jawab. Pada ciri kedua ini, Mochtar mengumpamakan kasus korupsi Pertamina (1969-1970), kerugian tersebut mencapai ratusan juta dolar kekayaan bangsa dikorupsi. Permasalahan ini berkaitan dengan pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan oleh kita, seperti “bukan saya” dan “itu perintah dari atasan saya”. Ucapan-ucapan tersebutlah yang menandakan bahwa manusia Indonesia kita masih kurang bertanggung jawab, bahkan enggan bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dibuat olehnya sendiri.
 
Ketiga, bersikap feodal. Tujuan revolusi kemerdekaan ialah untuk membebaskan manusia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk baru berkembang di lingkungan masyarakat. Bahkan, masa-masa pemerintahan Bung Karno pun terjadi pula ciri khas seperti ini. Ciri ketiga ini memiliki keterkaitan dengan ciri manusia Indonesia pertama, yang melakukan sikap-sikap ABS.
 
Raja ganti nama jadi presiden, menteri, gubenur, rektor, bupati, camat dan sebagainya. Bentuk-bentuknya memang sudah berubah, akan tetapi pada hakekatnya hubungan dan sikap feodal ini masih hidup dalam diri manusia Indonesia.
 
Pasca terbitnya ceramah Mochtar di surat-surat kabar. Tidak sedikit yang turut mengomentari ceramahnya, misalnya saja Sarlito Wirawan Sarwono. Ia memberikan perumpamaan mengenai seorang ibu warung di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) memarahi seorang mahasiswa yang mencoret taplak meja warung tersebut. Tetapi, menurut Mochtar pendapat Sarlito tersebut lemah logika (logical fallacy). Karena menurutnya siapa tau mahasiswa tersebut sering ngebon pada ibu warung tadi. Jika yang mencoret taplak meja tersebut berseragam pejabat, belum tentu pula ibu warung tersebut mau memarahinya.
 
Keempat, percaya dengan takhayul. Dulu hingga sekarang, batu, pantai, gunung, sungai, danau, karang, pohon, patung, keris, pisau, bangunan, memiliki kekuatan gaib, keramat, dan kita mempercayainya dan diharuskan mengatur hubungan khusus dengan semua hal itu. Untuk bebas dari mara bahaya, benda-benda tadi dipuja, diberikan sesajen, disiram air kembang, ditutupi kain beludru, dibacakan doa. Macam-macam tanda alam dipercaya, meskipun kepastiannya masih diragukan secara ilmiah.
 
Masyarakat modern yang telah mengenyam pendidikan modern pun masih memiliki kepercayaan terhadap hal-hal tersebut, dan pula tidak terlepas dari jimat, mantera, dan lambang. Teknologi, modernisasi, industrialisasi, produksi, ilmu pengetahuan merupakan lambang baru kita di masa kini.
 
Mochtar memperingati kita untuk menyadari bahwa pikiran-pikiran kita yang selalu menginginkan modernisasi justru akan menimbulkan keburukan, karena menurutnya impian tersebut akan membawa bencana bagi masyarakat Indonesia hingga masa mendatang. Memang seperti yang sama-sama bisa kita rasakan bahwa modernisasi justru tidak berpihak baik terhadap lingkungan alam sekitar kita. Adanya modernisasi inilah yang menimbulkan sifat penggunaan yang berlebihan atau konsumerisme manusia terhadap alam.  
 
Kita anggap saja modernisasi adalah susu sachet yang tentu susu tersebut memiliki ingredients atau komposisi di dalamnya, misalnya saja terdapat kandungan kalsium, mineral, vitamin-vitamin dan lainnya. Komposisi dari modernisasi meliputi ilmu dan teknologi. Mochtar berpendapat bahwa seluruh manusia Indonesia perlu mempelajari ilmu dan teknologi, tetapi perlu adanya sikap hati-hati agar ilmu dan teknologi tersebut tidak merugikan orang lain dan lingkungan alam sekitar kita.
 
“Untuk ini kita perlu menguasai ilmu dan teknologi. Tetapi kita harus hati-hati. Ilmu adalah kekuasaan, dan kekuasaan tidak pernah netral.” (hlm 51)
 
Kelima, berbakat seni. Ciri kelima ini merupakan ciri positif yang manusia Indonesia miliki. Diyakini pula oleh Mochtar bahwa ciri berbakat seni akan menjadi pondasi untuk memajukan Indonesia di hari depan nanti. Karena kepercayaan terhadap roh, sukma, dan jiwa yang ada di sekelilingnya ini menimbulkan kedekatan manusia Indonesia terhadap nalurinya dan mampu mengembangkan daya artistik di dalam dirinya.
 
Dalam ceramahnya itu Mochtar memberikan usul agar kerajinan tangan yang sudah pernah kita produksikan harus bisa diajarkan dengan teliti dan teratur melalui sekolah-sekolah, supaya budaya seni kita tidak pudar dan tetap hidup hingga di masa mendatang.
 
“Saya ingin mengusulkan agar kerajinan tangan seperti menganyam, menenun, menyulam, mengukir, membatik, dan sebagainya diajarkan dengan teliti dan teratur mulai di sekolah-sekolah rendah, karena ini merupakan dasar bagi berkembangnya daya kreatif kerajinan dan seni rakyat kita kembali.” (hlm 74)
 
Keenam, memiliki watak yang lemah dan kurang berkarakter. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan keyakinannya ketika sedang dalam keadaan dipaksa maupun terpaksa. Mengenai lemahnya karakter manusia Indonesia tidak terlepas dari beberapa insiden-insiden yang terjadi pada masyarakatnya.
 
Contohnya di lingkup mahasiswa sering kita temukan ketika masih menjadi mahasiswa, mampu berpikir kritis dan bersikap idealis. Tetapi ketika ada penawaran materi yang disodorkan oleh mereka, kemungkinan mereka akan menerimanya dan sikap-sikap idealisnya tersebut berangsur-angsur akan menurun seiring semakin untungnya diri mereka.
 
Beberapa ciri manusia Indonesia telah dijabarkan di atas. Ceramah yang disampaikan Mochtar memang terjadi pada tahun 1977 yang tepatnya di saat masa pemerintahan Soeharto. Tetapi ketika reformasi sedang berkembang, sosok manusia Indonesia yang dilukiskan oleh Mochtar lebih kuat lagi relevansinya. Beberapa penyebabnya ialah pendidikan, sistem, dan struktur politik yang ikut mengentalkan sifat-sifat negatif tersebut.
 
Hal-hal yang dituliskan di atas berkaitan dengan kelebihan dari buku Manusia Indonesia itu sendiri. Di sisi lain buku ini memiliki kekurangannya, tentu kekurangan ini berkaitan dengan pendapat dari Mochtar Lubis selaku yang membuat naskah ceramah tersebut.
 
Mochtar mengatakan bahwa pada masa itu (1977) penggunaan kata bung, abang, atau saudara dikatakan kurang sopan jika diperuntukkan untuk atasan kita. Melihat sekarang sendiri tentu penggunaan bapak/ibu adalah kata yang bila diucapkan sudah mengartikan tanda kesopanan bagi yang mengucapkannya dan bentuk hormat kepada orang yang menerima ucapan tersebut.
 
Menurut Mochtar penggunaan bapak/ibu kepada atasan yang walaupun umurnya dibawah kita merupakan ciri buruk manusia Indonesia, terutama pada ciri ketiga yaitu bersikap feodal. Mochtar menganggap yang mengucapkan hal itu berarti melanggenggkan sikap feodal kepada atasannya, dan atasannya pun akan merasa bahwa memang dirinya harus dihormati dengan panggilan bapak/ibu.
 
Pada kenyataannya, hal ini tergantung pada sikap dari masing-masing atasan itu sendiri. Saat saya bersekolah di SMK dan pada kelas 11 saya melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di suatu kantor. Pada kantor tersebut kita memiliki atasan di lingkup ruangan (mentor), saya pun memanggil mentor saya dengan sebutan abang, tidak menggunakan kata pak. Padahal, umur mentor saya sendiri sudah memasuki umur 35 tahun dan umur saya 18 tahun pada saat itu, sudah seharusnya saya memanggilnya dengan sebutan bapak.
 
Lalu, kantor tersebut tentu pula memiliki direktur-direktur kantor. Saya memanggilnya bapak dan ibu sebagai rasa hormat saya ke mereka tanpa merasa bahwa saya rendah dan takut dengannya jika saya mengalami penindasan yang berhubungan dengan PKL saya saat itu.
 
Menghormati seseorang tersebut adalah budaya positif milik kita, bahkan rasa hormat dan ramah kita ke bangsa asing diakui oleh mereka sebagai nilai lebih masyarakat Indonesia. Saya rasa sikap menghormati dan ramah tersebut harus senantiasa kita hadirkan di dalam interaksi kita dengan orang-orang lain di sekitar kita.
 
Akan tetapi, perlu kita perdalam lagi mengenai sikap hormat dan ramah ini. Hormat dan ramah yang dimaksudkan bukan berarti kita menerima segala sesuatu yang menindas diri kita atau menyelewengkan Hak Asasi Manusia (HAM).
 
Terakhir, buku ini layak dijadikan modal kita semua sebagai masyarakat Indonesia untuk mampu menghindari ciri-ciri buruk yang kita miliki. Meskipun penggambaran tersebut secara garis besar tidak hanya dilakukan oleh manusia Indonesia saja, karena di belahan dunia yang lain pun manusianya melakukan ciri buruk tersebut juga. Tetapi, perlu kita sadari pula bahwa Mochtar ingin memberikan kesadaran untuk kita semua agar Indonesia di masa sekarang atau mendatang tidak menjadi negara yang dianggap remeh oleh bangsa asing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *