Tirto Adhi Soerjo: Sang Pelopor Gerakan Nasional

Sumber Foto: goodreads.com

Oleh: Ahmad Ramzy

Identitas Buku:
Judul Buku: Sang Pemula
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Hasta Mitra
Tahun Terbit: 1985
Tebal Buku: xiv + 422

Blora pada tahun 1880 merupakan tahun kelahiran sesosok yang disebut-sebut sebagai Bapak Pers Indonesia. Terlahir sebagai seorang priyayi, Raden Mas Djokomono atau biasa dikenal dengan nama Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (R.M. T.A.S.) adalah penggagas gerakan nasionalisme dan sang pemula gerakan modern di tanah Hindia Belanda yang dimulainya sejak awal abad 20.


T.A.S. seringkali dianggap oleh kebanyakan orang adalah Minke pada tokoh utama dalam cerita Tetralogi Pulau Buru. Tetapi, perlu rasanya kita membedakan antara T.A.S. dengan Minke, karena dalam Tetralogi Pulau buru amatnya cerita tersebut sudah dicampuri oleh cerita-cerita fiksi agar jalan cerita tersebut tetap menarik dibaca oleh siapapun.


Jika membaca buku Jejak Langkah yang merupakan cerita ketiga dari Tetralogi Pulau Buru, maka jelas sekali tampak sesosok yang mirip sekali dengan Tirto sebagai seorang pemuda yang bersekolah di STOVIA dan melakukan perlawanan kepada pemerintahan Belanda di Hindia saat itu melalui tulisan-tulisannya. Mungkin Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis tetralogi mendapatkan inspirasi dari sosok Tirto Adhi Soerjo.

Jejak Langkah Sang Pemula
Lahir di Blora pada 1880. Ayahnya adalah R. Ng. Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, seorang pegawai kantor pajak (collecteur). Seperti halnya priyayi kebanyakan, maka silsilah keluarganya pun merupakan orang-orang yang memiliki jabatan penting di tanah Hindia. Tirto Adhi Soerjo diketahui merupakan keturunan Pangeran Sambernyowo, yang tak lain adalah julukan dari Mangkunegara 1. Dan juga sebagai cucu R.M.T. Tirtonoto, Bupati Bojonegoro.


Tirto sedari kecil memang sudah dikenal dengan sebutan ‘si anak hilang’. Pernyataan itu timbul diakibatkan oleh pengaruh neneknya sendiri, yaitu Raden Ayu Tirtonoto. “Percaya pada diri sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, tidak takut pada kemiskinan, tidak takut tidak berpangkat, unsur-unsur pembentukan pribadi yang tidak dikenal dalam kastanya – kasta bangsawan-priyayi” (hlm 12)


Selain pengaruh neneknya, perubahan watak yang dimiliki oleh Tirto tak lain dikarenakan pendidikan Eropa yang ia enyam, setidaknya ia pun menyadari bahwa masuknya penjajahan Eropa bukan tanpa manfaat, justru dari pendidikan Eropa muncullah bibit-bibit perlawanan pribumi kasta bawah terhadap ketimpangan yang dilakukan oleh kalangan bangsawan-priyayi dan penjajah.


Hidup di lingkungan kasta priyayi dan memiliki privilese dari kastanya, menjadikan dirinya terlihat seperti seseorang yang hidup dua kaki di atas dua benua. Di antara 9 saudaranya, hanya ia seorang yang tidak mempunyai persangkutan dengan jabatan negeri.


Sewaktu masa kecilnya, Tirto menyelesaikan sekolah dasarnya di Bojonegoro, Madiun dan Rembang. Memang perjalanan hidupnya di saat kecil tidak begitu jelas terbaca seperti apa, karena dari karya fiksi yang ia buat dengan judul Busono, tidak menampakkan kisah kecilnya dulu. Langkah sepak terjang Tirto mampu terlihat ketika ia pindah ke Betawi (red: Jakarta) dan meneruskan sekolah dokter di STOVIA sekitar tahun 1894 setelah lulus sekolah dasar Belanda.


Tirto meninggalkan Rembang dan pindah ke Betawi sewaktu ia masih berumur sekitar 13 atau 14 tahun. Di Betawi Tirto terlepas bebas dari ikatan kasta dan aturan ketat keluarga priyayi. Bahkan, di tahun 1894-1895 atau dalam usia 14-15 tahun, ia sudah mampu mengirimkan berbagai tulisan ke sejumlah surat kabar terbitan Betawi. Di masa-masa ini dirinya terlibat di dalam sirkulasi surat kabar, seperti halnya Chabar Hindia Olanda, Pembrita Betawi, dan Pewarta Priangan.


Pada tahun 1900, sekitar umur 20 tahun, dirinya dikeluarkan dari STOVIA setelah belajar selama 6 tahun. Secara pasti belum dapat dijelaskan mengapa dirinya dikeluarkan oleh STOVIA, namun beredar kemungkinan karena hubungan dengan sahabatnya, Tionghoa miskin. Setelah meninggalkan STOVIA ia langsung diangkat menjadi redaktur Pembrita Betawi. Kemudian, pada tahun 1901 ia mengalami peningkatan menjadi redaktur-kepala Pembrita Betawi menggantikan F. Wiggers.


Bukan hanya neneknya saja yang mampu menjadikannya sesosok yang tegar terhadap ketimpangan yang ada di sekitarnya, tetapi ia juga mempelajari Multatuli sebagai dasar yang ia bawa untuk membela orang yang tertindas.


“Sebagaimana umumnya terpelajar Pribumi yang maju pada masanya ia juga mempelajari Multatuli, bahkan mendewakannya dan menjadikannya lambang keadilan dan keberanian” (hlm 26)


Ada pula peran Karel Wijbrands yang merupakan pemimpin redaksi Nieuws van den Dag yang terjadi cukup intensif, walau tidak begitu lama. Dari Wijbrands, Tirto mendapatkan arahan bagaimana mengelola terbitan sendiri. Wijbrands juga menasehati padanya agar mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kebijakan pemerintah Hindia Belanda, hak, dan kewajibannya.


Melalui Wijbrands, Tirto didesak olehnya untuk keluar dari hal yang berbau percintaan, karena yang terpenting ialah sebagai jurnalis, Tirto harus mampu mengawal pikiran umum. “Wijbrandslah yang berhasil mendesak ia keluar dari petualangan cinta, karena seorang jurnalis adalah pengawal pikiran umum” (hlm 26)

Meniti Perlawanan Seorang Tirto
Dalam karya fiksinya, yaitu Busono, diceritakan bahwa pada sekitar tahun 1902 Tirto bertunangan dengan seorang gadis dari keluarga baik-baik, keluarga seorang pensiunan pejabat, tetapi dari kebangsawanan menengah. Tetapi pernikahannya tersebut diganggu oleh perantara yang justru menawarkan Tirto untuk mengawini gadis yang sederajat dengannya, anak seorang raja. Ia pun terbujuk dan pertunangannya putus. Perkawinan dengan anak raja itu gagal.


Dengan keadaan depresi atas terjadinya hal tersebut. Tirto memilih untuk keluar dari keredaksian tempat ia bekerja setelah dirinya mendapatkan cuti sebelumnya. Bersama istrinya yang merupakan kalangan bawah itu memilih pergi ke Desa Pasircabe, sebuah desa yang sama sekali tidak dikenalnya.


Karena dirinya tercantum dalam buku catatan sipil sebagai bangsawan, maka ia berkewajiban melapor pada pejabat-pejabat setempat. Ia pun bertemu dengan Bupati Bandung di saat itu dan pejabat tinggi Pribumi lain yang merupakan Bupati Cianjur, yakni R.A.A. Prawiradiredja. Berkat bantuan dari R.A.A. Prawiradiredja, Tirto mampu membangun suatu surat kabar Pribumi pertama yang menjadi titik awal mulanya perlawanan dari pers nasional.


Surat kabar milik Pribumi pertama tersebut ialah Soenda Berita yang mulai beroperasi terbit pada Februari 1903, dengan modal penjualan harta bendanya di Betawi dan ditambah dengan pemberian Bupati Cianjur, maka ia mampu membuat suratkabar tersebut. Redaksi dan pencetakannya berada di Cianjur. SB di awal perjalanannya hanya dipegang oleh Tirto seorang sebagai redaktur-administratur.


Dalam satu tahun penerbitan SB, setelah 9 bulan terbit, SB pernah mengalami kemacetan selama 3 bulan. Hal ini diperparah karena keuangan yang mengancam dan tenaga pembantu yang membantunya justru menjadi beban perusahaan. Meskipun dalam kondisi yang seperti itu Tirto dalam pengumuman administrasi mengatakan:


“…Kami suka sekali membanting diri membuang tenaga akan membantu memajukan kepandaian bangsa kami dan bangsa yang dipersamakan dengannya, asalkan kami tidak terpaksa menanggung banyak kerugian…” (hlm 40)


SB kemudian secara keredaksian dan administrasi dipindahkan dari Cianjur ke Betawi, Weltvreden (red: Gambir) bersamaan dengan keperluan Tirto untuk belajar hukum, ilmu pemerintahan dan hukum Islam di Betawi. Dari surat kabar SB muncullah gerakan emansipasi terhadap perempuan, terlihat dalam penerbitan SB, Tirto membuka rubrik untuk perempuan Pribumi.


“Rubrik-rubrik yang dibuka: masak-masakan, sulam-menyulam, bordir, jahit-menjahit, urusan rumah tangga dan lain-lain. Dan yang terpenting: ditulis oleh para wanita sendiri” (hlm 42)


Pada tahun 1906, berdirilah suatu organisasi modern Pribumi pertama. Organisasi tersebut ialah Sarikat Priyayi (SP). Organisasi ini diinisiasi oleh Tirto dengan bantuan dari Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja dan Thamrin Mohamad Thabrie. Bahkan, R.A.A. Prawiradiredja memberikan donasi sebesar f 1.000,-. Dan dengan uang sebesar tersebut, diterbitkan juga surat kabar Medan Priyayi (MP) pada tahun 1907.


Sepak terjang MP terlihat hingga Belanda pada tahun 1909 dalam terbitan ketiganya yang dikarenakan Tirto mampu melakukan pembongkaran terhadap skandal Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon.


Pada kesempatan yang lain setelah dirinya pulang dari Maluku pada tahun 1908, diterbitkanlah surat kabar Poetri Hindia, yang nomor pertamanya muncul pada 1 Juli 1908 di Betawi. Tata redaksi surat kabar Poetri Hindia banyak diisi oleh istri-istri priyayi di masa tersebut. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa PH merupakan terbitan pertama untuk gerakan wanita Pribumi di negeri Hindia.


Namun, umur PH tidak berlangsung lama karena mengalami kekurangan dana, seperti halnya juga dengan Medan Priyayi yang ditutup pada tahun 1912. Masa sulit dari PH ditambah pula pada tahun 1912 Tirto disandera oleh pihak pemberi hutang hingga dirinya harus diberangkatkan ke pembuangan di Ambon. Akibatnya 1913 PH mati untuk selama-lamanya.


Kematian PH justru menghidupkan semangat emansipasi yang telah disokong olehnya melalui tulisan-tulisan dan geliat di dalam surat kabar yang telah dibuat olehnya. Melalui kematian PH, berdiri surat kabar wanita, yakni Wanito Sworo pada tahun 1913 di Brebes, dipimpin oleh R.A. Siti Soendari yang memulai kariernya sebagai penulis di PH.


Lalu, pada tahun 1914 di Betawi berdiri pula Poetri Mardika yang diambil dari nama gabungan Poetri Hindia dan Kaum Mardika, dan tidak terlepas dari jejak Tirto pula Poetri Mardika berdiri. Selain itu, ada pula terbit surat kabar di Semarang Estri Oetomo, di Padang terbit Soeara Perempoean dipimpin oleh Nona Saadah. Kemudian, Perempoean Bergerak di Medan. Bukan hanya melalui surat kabar saja Tirto meniti pergerakan sebagai “pengawal pikiran umum”.

Tetapi, melalui pendirian organisasi pula ia lakukan, seperti halnya Sarikat Priyayi (1906) dan Sarikat Dagang Islamiah (1909). Kemudian SDI sendiri nantinya diresmikan menjadi Sarikat Islam pada 10 September 1912 saat Tirto berada dalam penyanderaan. SDI didirikan pada tahun 1909 di Bogor. Pada tahun yang sama Tirto sempat melakukan perjalanan untuk mempromosikan gagasannya mengenai Sarikat Dagang Islamiah ini, sehingga urusan kantor SDI dipindahkan ke tangan Samanhoedi di Surakarta.


“Perdagangan batiklah yang menyebabkan Tirto Adhi Soerjo berhubungan dengan Samanhoedi di Lawean, Solo, karena NV Medan Prijaji juga berdagang batik” (hlm 157)


Banyak literatur-literatur masa kini yang mengatakan bahwa SDI atau SI dilahirkan oleh Samanhoedi, padahal dirinya hanya melanjutkan urusan administrasi dan karena kebetulan perdagangan di Surakarta lebih baik daripada di Bogor. Pada tahun yang sama juga, yakni 1909, Tirto diasingkan ke Lampung selama dua bulan hingga menghasilkan karya tulis yaitu Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan.


Tahun 1912 adalah masa-masa terburuk untuk Tirto, MP yang ditutup karena telah berutang besar. Lalu, di tahun tersebut dirinya dibuang ke Ambon karena mengkritik Bupati Rembang, bahkan dirinya sebagai seorang jurnalis telah melanggar kode etik yang seharusnya ia tidak katakan sumber yang telah ia wawancarai, terutama dari narasumber Tirto sendiri meminta untuk tidak diungkap namanya di meja peradilan.

“Tahun 1912 mentalnya telah patah. Dari surat Jaksa Agung Brouwer kepada Gubernur Jendral tertanggal 21 April 1913 dapat diketahui, bahwa ia telah mengkhianati sumber informasi dengan menyebutkan namanya dalam hubungan dengan perkara Bupati Rembang. Tindakannya yang melanggar kode etik jurnalistik ini untuk selanjutnya akan membuat ia tidak bisa berdamai dengan nuraninya sendiri.” (hlm 166)


Setelah masa pembuangan, tepatnya tahun 1914, dirinya kembali ke Jakarta dari pembuangan. Karena dirinya mengalami kebangkrutan, Tirto berusaha untuk bangkit dari keterpurukan, Tirto pun di saat itu dijauhi oleh teman-temannya, tidak sedikit pula ada yang masih menghormati dirinya karena telah dibantu oleh Tirto sebelumnya. Pada masa keterpurukannya itu, Tirto tinggal di bekas hotel yang dimilikinya, Hotel Medan Priyayi di Kramat, Jakarta.


Keterpurukan Tirto ini dibarengi dengan keadaannya yang berangsur-angsur menjadi sakit, tidak ada yang mengetahui kejadian pastinya seperti apa, karena banyak asumsi yang mengatakan bahwa Tirto dibunuh di hotel tersebut oleh temannya (Goenawan) sendiri yang hotel tersebut diberikan oleh Tirto untuk diurus oleh Goenawan. Tetapi, menurut pengakuan dari Goenawan bahwa Tirto meninggal karena penyakit disentri. Tepat pada tanggal 7 Desember 1918 Bapak Pers Nasional sekaligus Sang Pelopor Pergerakan yaitu Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia.


Awalnya ia dikuburkan di Mangga Dua, dan tipe kuburannya sendiri pun sama seperti kebanyakan orang, tidak diberikan makna yang khusus di saat itu, yang datang pada acara pemakamannya pun hanya segelintir orang saja. Jenazah Tirto sendiri untuk saat ini sudah dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973, karena lokasi kuburannya di Mangga Dua akan digunakan untuk pembuatan mall. Di tahun yang sama, Tirto dinobatkan sebagai Bapak Pers Nasional Republik Indonesia. Dan di tahun 2006 dirinya dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


Itulah perjalanan hidup seorang Tirto, Bapak Pers Indonesia yang dalam gerakannya mampu mempelopori semangat pergerakan modern di Indonesia pada awal abad ke-20. Bukan tanpa alasan, melalui dirinya banyak bermunculan pergerakan-pergerakan organik seperti contohnya melalui Sarekat Islam, meskipun nama Tirto seperti dilupakan oleh organisasi yang diprakarsainya itu.


Melalui buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer kita semua disuguhkan biografi dan perjuangan Tirto serta beberapa karya tulis dari karya non-fiksi hingga fiksi. Buku ini dapat dijadikan pembelajaran untuk insan-insan jurnalis yang perlu kiranya mengutamakan masyarakat atau orang banyak sebagai pengawal pikiran umum.


Dari sepenggal bagian hidup Tirto yang disajikan dalam buku ini, terutama masa-masa pengasingan dan jatuhnya Tirto di tahun 1912 menandakan bahwa dalam menegakkan nilai etika jurnalistik akan sulit untuk dilakukan, tantangan yang dihadapi tidak semudah yang dibayangkan. Buku ini layak dibaca hingga hari ini untuk membakar semangat juang pers secara berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *