Resensi Buku: Anak Semua Bangsa

Sumber Foto: Tribun News

Oleh: Zakya Zulvita Salsabila

Judul Buku : Anak Semua Bangsa

Pengarang : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Cetakan : Cetakan ke 22, Februari 2020

Tebal Buku : X + 547 hal

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatny,” ucap Nyai Ontosoroh membersamai kapal yang membawa Annelies. (Bumi Manusia – Tetralogi Buru 1)

Perjuangan yang sudah mereka kerjakan nyatanya berakhir dengan kesia-siaan. Annelies tetap dibawanya pergi tanpa ada kebesaran hati yang diberikan oleh mereka; pemilik kekuasaan dan hukum Hindia. Nyai dan Minke sendiri menjadi tahanan rumahan yang mengharamkan mereka untuk dapat keluar dengan leluasa dalam kurun waktu satu minggu. Bahkan, untuk sekadar mengantarkan Annelies menuju dermaganya pun tak diizinkan pada mereka. Hukum yang tidak adil itu telah berhasi mematikan saraf-saraf kehidupuan dua orang yang kehilangan seorang anak dan istri yang amat dicintainya.

***

KEPERGIAN ANNELIES

Wonokromo dan Surabaya sedang tidak baik-baik saja, mendung berselimut kelabu telah memeluk orang-orang yang telah lama tinggal di sana, terutama keluarga Boerderij Baintenzorg. Mereka kehilangan sosok Annelies yang biasa mengerjakan banyak hal dalam perusahaan itu. Sosok Annelies yang dikenal dengan keramah-tamahan serta kegigihannya, kini telah hilang di antara kehidupan mereka. Kini ia, Annelies Tterbujur lemas tiada daya untuk hidup, kebahagiaan hidup yang baru sepucuk ia rasakan kembali harus direnggut oleh manusia-manusia  biadab yang tak pantasnya di sebut sebagai manusia.

Dalam kehampaan itulah Nyai Ontosoroh memerintahkan Robert Jan Dapperste, atau yang telah mengubah nama menjadi Panji Darman untuk mengawal Annelies dalam pejalanan berlayar menuju Nederland. Tentu tugas ini dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi untuk sekadar memantau apakah Mevrouw Annelies dapat perlakuan yang baik oleh orang yang memenangkan perwaliannya dalam sidang pengadilan putih. Dalam perjalanan yang ditugaskan olehnya, ia tuliskan sepenggal-penggal dari apa yang telah dilihat oleh matanya. Hanya dari surat itulah Nyai dan Minke mengetahui hal yang telah terjadi pada pemilik cahaya yang telah padam itu.

Surat pertama, kedua, dan seterusnya datang secara berurutan disertai perangko yang menandakan telah sampai dimana perjalan mereka. Mula-mula, Panji Darman ceritakan kesusuahanya untuk dapat mendapatkan kursi yang lebih dekat dengan Mevrouw Annelies yang selalu ditemani oleh jururawat. Banyak upaya yang sudah ia lakukan, bahkan matanya tak pernah henti untuk mengawasi kabin yang ditempati Annelies, namun tak urung ia temukan Annelies keluar dari balik kabin itu. Sampai pada surat yang ber-prangko Colombo mengabarkan bahwa ia telah dapat dekati Annelies dengan tawaran dari jururawat untuk kesudiannya membantu mengatasi Annelies yang puasa bicara. Panggilan ini ia dapatkan karena kesengajaanya menyebutkan namanya dengan keras-keras pada seorang kakek di dekat jururawat, hal itu digunakannya sebagai pertanda bahwa ia merupakan warga Surabaya.

Kondisi Annelies kian hari kian memburuk, bahkan saat mereka sampai di Nederland. Satu hal yang mengganjal laku Panji, kenapa keluarga Mellema tidak ada satu pun yang datang untuk menjemput anak perwaliannya. Ditambah, bukan dibawanya Annelies ke rumah sakit karena melihat semakin buruk kondisi Annelies, tapi malah dibawanya ke rumah jururawat. Memang keparat keluarga Mellema itu. Bahkan, saat ditemui di Amsterdam, sikap Mevrouw Amelia hanya berkacak pinggang dan membanting pintu di depan mukanya.

Tak lama dari itu, surat berprangko Huizen mengguncang keadaan si empu penerima surat yang berisi; mengucapkan turut berdukacita atas meninggalnya Mavrouw Annelies. Panji Darsam.

***

AWAL DARI  KEMULIAAN DAN KESENGSARAAN

Kehidupan Minke dan Boerderij Baintenzorg kembali berjalan tanpa Annelies. Kesehariannya diisi dengan membantu Nyai di kantor dan menekuri surat kabar. Dari bacaan-bacaan korannya yang akhirnya mengisahkan kejadian tahun 1899; di masa terjadinya perang antara Amerika Serkat-Spanyol, Yunani-Turki. Ia juga dibuat terheran dengan Tiongkok yang sedang digerayangi oleh Jepang yang notabenenya berasal dari Asia, atas sikap itulah akhirnya Jepang menjadi satu n negara yang dianggap berbeda dari Negara di Asia. Dalam benaknya, ia berucap “Apa saja telah berkembang dari Bangsa ini (Red. Hindia)?” (hal. 57).

Melihat kenyataan itu, ia menjadi keheranan karena ia berspekulasi bahwa sebuah kemuliaan dilahirkan atas kesengsaraan yang lain. Eropa mendapatkan kemuliaan dengan menelan dunia, dan jepang dengan menggerumiti Tiongkok. Bahkan saat Jepang telah masuk ke Hindia, mereka telah mendapatkan upah dan penghormatan yang sama dengan Eropa Totok. Sungguh persaingan sengit antara Jepang dan Eropa mulai tampak, dari yang sifatnya aksi dan gerakan, sampai penyebaran informasiai yang dituliskan di Koran-koran. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dibenaknya disertai diskusi yang dilakukannya bersama beberapa rekannya; Tuan Te`linga, Jean Marais, Maarten Nijman, Kommer dan rekan persuratanya, Herbert de la Croix. Masuknya Jepang dan dapat diterima di Hindia tidaklah jauh sebab pribumi yang menerimannya, mungkin jika China datang ia pun akan punya kedudukan yang sama (red: sama dengan Eropa dan Jepang).

Hal inilah yang membuat Marais memiliki pandangan untuk Minke menuliskan tulisannya dalam Bahasa melayu yang dapat dimengerti oleh manusia pribumi, namun sayangnya pandangan Marais selalu ditepis mentah-mentah oleh Minke. Tak lama dari itu, surat panggilan menterjemahkan Bahasa Inggris datang padanya dalam wawancara yang akan dilakukan Maarten Nijman dengan seorang gerilyawan China, Know Ah Soe. Rasa bangga dalam diri Minke semakin meningkat bahkan ia berseru pada Marais atas perkebangan dirinya. Namun rasanya satu kebahagian itu hanya sebentar hinggap, sebab yang ditulisakan Nijman berbeda dengan yang telah diterjemahkan padanya. Rasa sesal itu hinggap dibenaknya bahkan perminta maafan Nijman tak dihiraukannya. Satu yang terlukis dibenaknya, kesusahan pria China berkuncir itu yang sedang jauh dari bangsanya.

***

BAGIAN BANGSA YANG TERJAJAH

Banyak Surat datang untuk Nyai dan beberapa orang termasuk surat Robert Mellema setelah kejadian melarikandiri saat kejadian di rumah plesir. Surat itu berisi tentang kepergiannya dan kondisinya yang mengenaskan di perantauan, sakit yang dulu disebabkan Maiko telah berkembang dalam dirinya. Sehingga kini ia disibukkan dengan pekerjaan dan pengobatan yang mengharusakan ia untuk berlayar dari satu wilayah ke wilayah lain.

Semua bermula saat digantinnya Tuan Administratur pabrikgula pada seorang Tuan besar Kuasa, Frits Homerus Vlekkenbaaij atau Plikemboh. Panggilan datang untuk Jurutulis menghadap pada Tuan Besar Kuasa. Panggilan sialan itulah yang akhirnya membuat ia akhirnya mau-tidakmau mesti menyerahkan anak prawannya pada Plikemboh yang melancarkan banyak aksinya untuk mendapatkan kesukaannya. Bahkan siasat licik pun dilakukan pada Jurubayar dengan menyembunyikan gaji pokok yang mesti diberikannya pada mandor-mandor yang telah bekerja. Mau-tidak mau Jurubayar mesti membayar mahal untuk kejadian itu dengan mengutang pada tuan Besar Kuasa dengan anak prawannya yang menjadi tumbal dan dimintanya menghadap sekurang-kurangnya tiga hari setelah kesepakatan tercela itu.

Surati, yang dididik untuk senantiasa mengikuti setiap yang telah diperintahkannya tak punya daya untuk menolak permintaan bapaknya yang sedang dirundung kesulitan. Tenggang tiga hari yang diberikan padanya dimanfaatkanya dengan sebaik-baiknya, bukan untuk bermanja dalam sudut ruumahnya. Namun dalam misi pembunuhan dan andaikan ia turut serta mati, setidaknya dalam wujud perlawanan searif-arifnya membela dirinya sendiri.

Malam itu ia meminta undur diri untuk bertirakat pada kedua orangtuanya, dan akan datang sendiri pada tuan Administratur tiga hari yang akan datang. Tiga hari sudah ia menyiksa dirinya sendiri, kini sudah saatnya ia datang pada Tuang Besar Kuasa untuk menjemput ajalnya.

***

BERBICARA DENGAN BANGSA PRIBUMI

Tiga hari sudah Minke dan Nyai tetirah di Tulangan. Mereka menemukan seseorang yang tengah mengucap sumpah serampah yang ditujukan pada pengelola pabrik gula. Lelaki berkumis, berjenggot tebal dan bertelanjaang dada itu menenteng sebilah parang mengkilat di tangan kirinya. Matanya berkilat menyimpan amarah besar pabrik gula yang telah mengambil tiga bahu sawah warisan miliknya yang dijanjikan akad sewa oleh pabrik, namun bayaran yang diberikan pabrik tak pernah utuh dan sesuai dengan kesepakatan awal. Hitam di atas putih yang diagung-agungkan mereka pun hanya sebuah isapan jempol sebagai pemanis pemilik pabrik tersebut. Kuasa sawah tidak pernah dipegang oleh si pemilih lahan.

Minke tak habis pikir dengan yang telah di alami Truno. Ia teringat ucapan Marais, “Belajar bahas-bahasa Eropa bukan berarti kau harus tidak bicara dengan bangsamu dan  hanya bicara pada orang-orang Eropa,” (hal. 248).

Harapannya untuk segera membantu Truno pupus. Tulisan yang telah dibawanya pada Nijman dirobeknya habis atas kekecewaan yang mesti bertambah di hidupnya. Ia tak besar hati menyampaikan kabar tak mengenakkan itu pada Nyai. Sampai Komeer yang datang dan menceritakannya pada nyai. Kekecewaan yang dilanda Nyai berputar pada rasa yang mengantarkan pada kesuciannya selama membesarkan Boerderij Buitenzorg. Perusahaan yang dibesarkannya dengan penuh kasih itu mesti ternodai pada modal pokok yang kini berkembang. Satu yang terpikir oleh Nyai untuk menebus dosanya pada Truno dan Pribumi sekitar; mendirikan Sekolah.

***

UJUNG PERJUANGAN BANGSA

Kapal Oosthoek yang mangkal di Tanjung Perak membawa Minke berlayar mengejar mimpinya. Pembahasan panjang di atas kapal Oosthoek mengantarkan mereka pada revolusi Filipina yang pecah dan pembentukan surat kabar La Solidaritas! Yang dikemukakan oleh terpelajar Pribumi Dr. Jose Rizal yang berhaluan pada rakyat yang tertindas. Sebentar Minke teringat dengan Trunodongso, taukah ia dengan cerita negara yang dekat ini?

Matanya terbuka saat perjalan panjang itu ternyata membawanya kembali ke Wonokromo. Sambutan hangat Nyai Ontosoroh membawanya penuh tanya dalam dirinya. Perlahan Nyai kisahkan selepas Oosthoek membawanya. Mula-mula, tentang Rono yang merupakan anak Minem dengan Robert Mellema, yang ternyata telah mati karena penyakit kotor. Hingga persoalan si Gendut atau Babang Kong atau Jan Tantang yang ternyata agen polisi klas satu serta kelicikan yang dilakukan Ah Tjong.

Deretan permasalahan yang dihadapi telah berlalu, sampai surat dari Ir. Maurist Mellema sampai dan mengabarkan kan kedatangannya. Bukankah matinya Annelies adalah anugerah untuknya, ditambah kematian Robert bertambah menjadi sebuah keuntungan yang amat besar untuknya dapat merenggut Boerderij Baintenzorg dan seisinya.

“Orang rakus harta-benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi orang yang hanya dalam cerita tertulis,”  ucap Nyai (Hal.512). Ia kisahkan tentang bagaiman nurani yang nantinya dapat melawan keadaannya.

Ir. Maurist tiba dan disambut dengan sangat hangat di kediaman Boerderij Baintenzorg. Berbaris dengan rapi mereka berucap dengan bijak. Perlahan mereka buka dengan perkenalan, lalu dilanjut dengan beberapa bualan sarkas, tentang Romo yang semestinya mendapat bagian dari warisan Mellema dan tentang kematian Annelies. Pembahasan alot itu tidak berujung, mereka yang ditinggal Annelies terus mendesak perwalian yang tidak terurus dan penyudutam Ir. Maurist tidak dapat dihentikan. Sampai Maysaroh dan memperkeruh suasana diantara mereka.

“Kembalikan kak Annelis. Ini orangnya, ya, ini, Insinyur Maurist Mellema. Dia yang merampas kakak Annelies. Dia yang membunuhnya.”

Gemaan Maysaroh yang menangis sejadi-jadinya yang menimbulkan kedatangan para pekerja Boerderij Baintenzorg di ruangan tersebut. Beberapa dari mereka turut menangis membersamai Maysaroh. Suasana semakin suram saat akhirnya Ir. Maurist menyatakan penundaan atas pengambilan Boerderij Baintenzorg. Dengan tangan gemetar dan memutuskan diam. Ia keluar dari rumah Boerderij Baintenzorg. Dengan kenangan dan pengalaman yang tidak pernah dapat ia lupakan.

“Ya, Ma, kita sudah melawan, Ma, biarpun hanya dengan mulut,” ucap Minke menyertai.

Kehidupan seolah-olah di-setting-nya tak adil untuk manusia pribumi. Bagaimana tidak? Dimulai dengan penggundikan yang mematikan persendian wanita, sampai dengan penindasan ynag dilakukan secara bertubi-tubi untuk manusia pribumi yang dilakukan Eropa.

Buku ini berkisahkan tentang bagaimana seorang Minke yang mulanya dibuat terkagum-kagum dengan peradaban Eropa, yang membuatnya memilih meninggalkan pandangan pada negeri yang nyatanya dikacakan untuknya. Sampai akhirnya mengantarkan ia pada permasalahan yang dialami oleh pribumii, ia ditampakan langsung bagaimana pribumi mengalami ketidakadilan selama berabad-abad. Pandangan itulah yang akhirnya membuka nalurinya untuk membantu permasalahan pribumi yang telah lama itu.

Buku ini menjadi salah satu bacaan wajib yang semestinya dibaca oleh mahasiswa, persoalan yang dikisahkan rasanya mampu membawa mahasiswa untuk ikut merasakan terlibat dalam perjalanan kelam sejarah. Hal inilah yang nantianya dapat memupuk rasa cinta bangsa yang semestinya lahir di setiap generasi muda untuk menjaga keutuhan Negara hingga saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *