Sumber Foto: jpnn.com
Oleh: Ahmad Ramzy
BANJIR rob dan dampak dari pengikisan tanah seakan menggerogoti pesisir utara Semarang Kota. Apakah laut menginginkan pesisir utara menjadi miliknya kembali?
Bagai digenggam takut mati, dilepas takut terbang, barangkali peribahasa yang cocok untuk menggambarkan nasib warga saat terdampak banjir di pesisir utara Kota Semarang. Banjir yang terjadi seakan tanda bahwa pesisir utara Semarang akan menjadi lautan kembali.
Sepenggal lirik Semarang kaline banjir dalam lagu Waldjinah adalah tanda bahwa Semarang rentan terhadap banjir. Sepanjang wilayah Tanjung Emas dan Kaligawe hingga Sayung Demak, dikenal sebagai daerah yang rutin terdampak banjir rob.
Banjir sudah bukan hal yang asing dijumpai, karena itulah akhirnya banyak akademisi yang mengkaji apa yang menjadi permasalahan di sana.
Terkhusus Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS). Kawasan Tanjung Emas dan Kaligawe di akhir tahun 2022 menuju awal tahun 2023, kembali terdampak oleh banjir rob dan banjir kiriman. Problematika ini terjadi bukan hanya karena gejala alam yang menggerogotinya, tetapi keacuhan untuk menanggulangi melalui hulu dan hilir.
Ancaman Iklim dan Produktivitas Industri
Iqbal Alma Ghosan (26) namanya, salah satu aktivis Walhi Jawa Tengah dan tergabung di dalam Koalisi MDS. Dalam wawancara, mengungkapkan tiga masalah utama yang menjadi hasil penelitian Koalisi MDS dari efektivitas banjir yang terjadi di pesisir utara Semarang Kota.
Ketiganya ialah kenaikan permukaan air laut, abrasi dan penurunan permukaan tanah.
“Dari hasil kajian kami sebetulnya ada tiga hal yang menjadi dasar permasalahannya, yaitu kenaikan permukaan air laut, abrasi dan penurunan permukaan tanah. Tiga masalah ini pun bukan semata-mata karena krisis iklim saja, tetapi industri di sekitar pesisir juga turut memperparah keadaan dengan penyedotan air tanah yang berlebihan,” ungkap Iqbal (30/04/23).
Iqbal melanjutkan, “bagi kami permasalahan yang terjadi tersebut ialah permasalahan yang sifatnya universal kemudian dibenturkan juga dengan keadaan lokal seperti halnya abrasi dan pengikisan permukaan tanah, perkiraan dari pengikisan permukaan tanah ini sekitar 10-15 meter tiap tahunnya,” sambungnya.
Selain itu, adapula penyebab-penyebab utama dari pengikisan tanah yang berada di wilayah Semarang sendiri. Pertama, tanah di bagian pesisir utara Semarang merupakan tanah aluvial muda, hasil sedimentasi dari aliran-aliran sungai yang belum sepenuhnya solid. Kedua, ekstraksi air tanah yang terus menerus dilakukan oleh industri. Ketiga, maraknya proses pembangunan dan industrialisasi yang massif terus menerus. Keempat, adanya pengerukan tanah dan penambahan bangunan di sekitar pelabuhan Tanjung Emas.
Melalui data riset MDS, salah satu perusahaan yang kerap melakukan ekstraksi air tanah ialah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Moedal, sebagai Badan Usaha Milik Desa (BUMD) yang dimana tugasnya memasok air untuk warga Kota Semarang.
Sebagian dari sumber air di perusahaan ini berasal dari sumur air tanah dalam. Pada tahun 2018, PDAM Tirta Moedal melayani 167.979 pelanggan, setara dengan 1.010.806 warga atau sekitar 62,02% dari total penduduk Semarang.
Kemudian, sumber air bersih yang dipergunakan oleh 11 kawasan industri sebagian besar menggunakan air tanah (volentino, 2013). Dari 11 industri tersebut di antaranya di kawasan: Candi, Bukit Semarang Bar, Tanjung Emas, Setya Budi, Wijaya Kusuma, Tambak Aji, Nyonya Meneer, Genuk, Penggaron, Terboyo, dan Simongan.
Lalu, hanya 2 (25%) kawasan industri yang menyediakan area atau sumur resapan, dan 1 kawasan industri (12,5%) memiliki fasilitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yaitu di Kawasan Industri Tugu Wijayakusuma.
Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak: Memperkeruh Keadaan, Bukan Mengatasi Ancaman
Iklim dan pengikisan tanah bukanlah permasalahan sepele, namun alih-alih menanganinya, pemerintah justru menyajikan suatu keinginan mereka yang dianggap MDS sebagai cara yang timpang hingga melupakan penyebab yang penting, yakni adanya Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD).
Tol dengan panjang 26,95 kilometer ini merupakan satu dari sekian banyaknya rencana pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang juga dianggap sebagai solusi untuk mengatasi ancaman banjir rob yang terus menerus terjadi di pesisir utara Semarang Kota.
Dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 355/KPTS/M/2017, menjelaskan fungsi yang dimiliki oleh TTLSD sendiri, baik untuk penghubung Semarang-Demak (transportasi) maupun sebagai tanggul laut (penangkal banjir).
Dari CNBC Indonesia, Menteri PUPR, Basuki menyatakan bahwa TTLSD merupakan jalan tol pertama di Indonesia yang dibangun di atas tanggul laut.
Di samping itu, Iqbal memiliki sudut pandang yang berbeda seperti halnya dari kajian MDS sendiri. Melalui pembangunan TTLSD, sebanyak 46 hektar mangrove yang dialokasikan ke beberapa tempat di wilayah Semarang.
“Ungkapan alokasi yang dikatakan oleh pemerintah terlihat sangat rancu, karena alokasi dilakukan dengan cara penebangan mangrove, padahal untuk menanam mangrove sendiri sangat sulit untuk dilakukan pada kawasan pesisir akibat ombak dari laut yang menghancurkannya,” tuturnya.
Bukan tanpa alasan Iqbal mengatakan seperti itu, karena melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 24 tahun 2019 menjelaskan juga bahwa tengah terjadi penurunan mangrove yang ada di kawasan pesisir utara Semarang Kota. Bahkan, upaya-upaya penanaman kembali mangrove sendiri harus melawan derasnya banjir rob dan ombak.
“Untuk menunggu mangrove jenis bakau ini tumbuh sekitar 8 meter saja harus menunggu selama 30 tahun, mas,” ujarnya.
Melalui Pergub Nomor 24 tahun 2019 sendiri wilayah Semarang Kota luas mangrove sebesar 62,9 hektare dan telah terjadi abrasi yang besarnya mencapai 342,67 hektare. Bagi Iqbal, niat yang ingin digencarkan pemerintah pada TTLSD berujung pada terlupakannya aspek-aspek mitigasi lainnya, contohnya saja mangrove tersebut.
Bagas Yusuf (27) yang tergabung di Koalisi MDS ikut berkomentar, baginya TTLSD memang berpotensi melindungi pesisir Semarang dari terjangan banjir rob. Tapi akan sangat berbahaya pada pesisir Demak, seperti juga pada hasil riset Koalisi MDS (2020), desa Bedono Demak menjadi desa yang mengalami kemunduran pada pesisirnya sekitar lebih dari 2.000 hektar akibat abrasi, sehingga garis pantai mundur sejauh 5 km.
Buruknya Mitigasi dan Memperkirakan Tenggelamnya Pesisir Semarang
Hidup seperti melempar dadu, itulah yang dirasakan oleh Anwar (42) seorang ayah dengan 3 anak, sekaligus sebagai ketua RT 07 di RW 10 Kelurahan Gayamsari, Tambakrejo. Baginya banjir yang dialami di lingkungannya itu adalah banjir kiriman dari Ungaran.
Hujan besar di akhir Desember 2022 hingga awal Januari 2023 yang lalu menyebabkan banjir pada kawasan tersebut. Tinggi banjir hingga sepaha orang dewasa diakui oleh Anwar berlangsung hingga hampir seminggu lamanya.
Saat menceritakannya, air muka Anwar terlihat berubah dan memvonis keadaan yang tak tertanggulangi dengan baik itu, “Mereka (red: pemerintah Jawa Tengah) menyediakan pompa sekitar 4 atau 5 itu, tapi antisipasi mereka juga tidak ada, masa harus menunggu terendam dulu baru bertindak, itu pun proses pompanya harus menunggu seminggu lamanya hingga banjir mereda,” ucapnya dengan nada tegas (29/04/23).
Seperti yang diucapkan oleh Iqbal lagi, bahwa memang pemerintah Jateng seakan abai dengan mitigasi bencana di sepanjang pesisir.
Menurutnya ada tiga hal yang menjadi masalah pada pompa yang membuat proses menurunkan air banjir begitu lama, yaitu: pompa rusak, kapasitas kurang, dan penjaga pompa tidak berada di tempatnya.
Untuk masalah yang terakhir, Anwar membenarkan bahwa petugas pompa seringkali tidak berada di tempat saat banjir terjadi. Dari riset MDS, pemerintah seringkali beralasan bahwa banjir yang terjadi akibat dari intensitas hujan deras yang terjadi, bagi MDS alasan tersebut tidak berdasar sama sekali.
Kemudian, salah satu warga di kampung nelayan Tambakrejo, Tanjung Emas, yakni Marzuki (32) juga mengungkapkan bahwa tempatnya tinggal pun terkena banjir rob yang tidak berkesudahan.
Pemerintah mulai membangun tanggul darurat yang diperkirakan akan selesai pada tahun 2024 nanti. Bagi Iqbal, tanggul darurat hanya mengatasi abrasi sementara, namun dalam menanggulangi kenaikan air laut tidak akan efektif sama sekali.
Dengan kondisi pesisir Semarang yang tidak berkepastian ini, Bagas Yusuf turut bahwa dari tahun 2000an banjir di pesisir Jateng sering dibicarakan, “Sejak tahun 2000an sampai 2023 pesisir sudah dibicarakan akan tenggelam, tetapi belum ada yang mampu memprediksinya secara jitu,” pungkasnya.