Sumber Foto: www.halodesi.com
Oleh: Destian Wirda
“The teacher is of course an artist, but being an artist does not mean that he or she can make the profile, can shape the students. What the educator does in teaching is to make it possible for the students to become themselves”-Paulo Freire-
Saat ini pendidikan Indonesia terus mengalami pasang surut, terutama pasca pandemi Covid-19 melanda. Berbagai problematika mulai muncul bersamaan, baik dalam keadaan tenang maupun krisis yang menyeramkan. Sudah saatnya, para elite politik–dalam hal ini pemerintah, pejabat tinggi negara, pemimpin negara–mesti memberikan hak privillage pada pendidikan. Pun dalam hal ini, keresahan-keresahan yang terjadi bukan berasal dari potensial masyarakat untuk mendapatkan motivasi. Agaknya, kekurangan motivasi belajar bukan menjadi faktor penting dalam pembelaan pendidikan yang berhasil.
Tujuan pendidikan sendiri, menurut Tan Malaka, adalah untuk mempertajam kecerdasan memperkukuh kemauan, serta memperluas perasaan. Tentu saja, dalam hal lain pendidikan juga berperan dalam membangun kesejahteraan bersama, mencakup aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Masalahnya, saat ini Indonesia mengalami learning loss sehingga tidak mampu mengatasi ketertinggalan. Oleh karenanya, belajar menjadi tidak begitu bergairah, sebab banyak hal yang menjadikan siswa trauma bersekolah dan beberapa di antaranya terpaksa berhenti karena faktor finansial.
Saat ini, banyak lulusan universitas yang bekerja tidak sesuai dengan jurusannya. Sebab, setiap universitas membiarkan mahasiswa yang tidak kompeten dan pemaksaan memenuhi akreditasi kampus. Komponen yang ada di dalam kampus, terutamanya dosen, lebih mengutamakan kebutuhan administrasi tersebut daripada menemukan cara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bolehlah dikatakan, bahwa proses administrasi pada sekolah maupun tenaga pendidik menjadi salah satu unjuk keberhasilan penciptaan realitas peningkatan pendidikan di Indonesia. Namun, apakah hanya itu?
Menurut guru Gembul, karakteristik dari lembaga pendidikan mengalami krisis kemunduran, di mana setiap lembaga tersebut pasti akan meluluskan seluruh siswanya, tidak peduli seberapa berbobotnya soal ujian? Seberapa besar dana yang diterima? Seberapa berkualitasnya tenaga pendidik? Atau seberapa besar siswa/mahasiswa memahami pembelajaran? Fokus mereka lagi-lagi pada; bagaimana sekolah agar tidak dicap sebagai sekolah yang meninggalkan catatan hitam bagi generasi selanjutnya? Berpikir bahwa pemenuhan akreditasi sekolah (maupun universitas) sangat penting, daripada meluluskan siswa yang paham akan pembelajaran dan siswa yang kompeten terhadap bidang yang menjadi ahlinya.
Suatu kebiasaan yang naif adalah bahwa masyarakat Indonesia menormalisasikan nilai sebagai standarisasi keberhasilan suatu hakikat pendidikan. Dalam hal ini, menjadi “pintar”, “sukses”, atau selangkah lebih maju daripada teman yang lain. Semenjak kecil, mereka sudah mendapatkan doktrinasi baik dari keluarga terdekat, teman, guru, dan lingkungan sekitar. Realitasnya, penetapan nilai pada rapor bukan murni dari hasil kerja keras atau kepandaian seseorang terhadap segala proses pendidikan, terkadang ia adalah hasil “rekayasa” masing-masing pihak sekolah agar dapat memenuhi standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), agar nilai siswa di atas KKM. Semua siswa naik kelas, bahkan semua siswa dapat lulus tanpa harus takut tidak mendapat bekal apa pun.
Justru, model pembelajaran pada lembaga pendidikan menjadi akses kebodohan yang bersembunyi dibalik kata “sekolah menjadikan pintar”. Di dalamnya, siswa-siswa hanya diajarkan duduk diam mengamati pembelajaran yang bahkan bukan di bidang dan minat mereka. Berdasarkan sumber dari Kompas (8/5/23), menurut Rahmat Hidayat dalam Kebangkitan Pengetahuan, bahwa pendidikan di Indonesia berada pada peringkat 82 dari 132 negara di dunia dan peringkat 92 pada indikator pendidikan pra universitas. Bukan menjadi suatu yang memprihatinkan lagi, tetapi tragedi keruntuhan yang menyedihkan. Pada dasarnya, nilai peringkat tersebut bukan sekedar nilai layaknya nilai rapor tanpa basis data yang valid. Hal ini dibuktikan dengan realitas sebanyak 43% tenaga kerja hanya tamatan SMP.
Semenjak Covid-19, beberapa keterampilan dalam banyak arah mengalami kemunduran, terutama kadar intelektual dan pola pikir masyarakat. Menururt Nadiem Makariem, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Indonesia paling tidak harus melewati masa 20 tahun berkarier dalam bidang pendidikan, pembentukan pola pikir siswa sekolah dasar setara dengan 11,2 bulan untuk ketertinggalan. Lebih parah lagi, menurut data dari PISA atau Programme for International Student Assessment (sampel data ini dipilih oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)) tahun 2022, bahwa Indonesia tetap berada di peringkat 11 terbawah dari 81 negara di dunia meskipun sempat naik 5 peringkat sebelumnya pada tahun 2018.
“Lantas dimana letak kesalahannya?”
Rekonstruksi Pendidikan: Sumber Daya Manusia atau Sistem Pendidikan?
Mengenai data yang sudah disampaikan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan dalam ukuran apa pun, tetap mengalami ketertinggalan. Namun, sebenarnya ketertinggalan yang rasionya adalah dengan negara lain, apakah efektif? Sepertinya ada dua pandangan, yang pertama bahwa ukuran ketertinggalan tersebut menjadi penting sebagai tolak ukur dan cerminan membentuk suatu sistem yang sesuai dan berkesinambungan antar batas wilayah negara. Di sisi lain, pendidikan itu sendiri juga terus didasarkan pada kekuatan negara itu sendiri dalam mengurus masalah mereka. Melekatnya nilai-nilai dan falsafah Pancasila sebagai dasar berpendidikan menuju reformasi atas visi besar Indonesia, yakni Pembukaan UUD 1945 Alinea IV.
Bagaimana mengatasi kelemahan pendidikan di Indonesia? Ada dua kemungkinan besar yang dapat diubah pada sistem pendidikan di Indonesia, yakni perbaikan kompetensi guru atau perbaikan pada tenaga pendidik dan perbaikan sistem dari pendidikan itu sendiri.
”Guru tentu saja seorang seniman, tetapi menjadi seorang seniman tidak berarti bahwa ia dapat membuat profil, dapat membentuk siswa. Apa yang dilakukan pendidik dalam mengajar adalah untuk memungkinkan siswa menjadi diri mereka sendiri.” —Paulo Friere
Pertama, agaknya saya sependapat dengan Paulo terkait guru, bahwa guru bukan hanya sebagai seniman tetapi juga pencetak lahirnya generasi muda cerdas. Setelah Paulo, sependapatlah juga dengan Guru Gembul, yang sebetulnya bahwa ini sama halnya menentukan mana yang lebih dulu lahir, telur atau ayam? Sama halnya dengan rekonstruksi pendidikan, tenaga pendidik atau sistem pendidikan terlebih dahulu? Sebenarnya, permasalahan yang ada pada tenaga pendidik (guru atau dosen) membuang banyak waktu berdasarkan beberapa syarat pada Kurikulum Merdeka. Sebagian besar, bahkan hampir seluruh tenaga pendidik, lagi-lagi memaksakan kehendak untuk tertuju pada nilai yang dicapai siswa dan kecenderungan memenuhi kebutuhan administratif pada akreditasi kampus/sekolah.
Salah satu mata pembelajaran pada mahasiswa pendidikan adalah rencana pembelajaran, di mana mahasiswa diminta membuat modul pembelajaran. Secara faktual, para guru/dosen yang berawal dari mahasiswa pendidikan tersebut secara pasti membuat modul sebanyak 5 lembar rim. Sehingga, guru/dosen (tenaga pendidik) di Indonesia sebetulnya tidak diajarkan untuk belajar, tapi malah diajarkan untuk membuat ruang tata usaha. Basis dasar filsafat pendidikan secara alamiah tidak diterapkan oleh para pencetak generasi bangsa, yang menandakan kemampuan mengajar lewat pendekatan psikologis kepada siswa tidak terpenuhi. Oleh sebab itu, ruang belajar yang semestinya menjadi rumah belajar menyenangkan berubah menjadi “momok” bagi mereka. Sebab, kelas yang kosong jauh lebih nikmat daripada harus mengikuti pemelajaran di sekolah.
Kedua, Guru Gembul menambahkan jika sistem pendidikan di Indonesia bolehlah dikatakan “semrawut” (acak-acakan, berantakan) dilihat dari klasifikasi mata pelajaran baik di tingkat sekolah maupun universitas. Siswa/mahasiswa semenjak kecil sudah dipaksa untuk mempelajari semua mata pelajaran yang bukan ahli di bidang mereka. Ketika dewasa, mereka semakin merasakan lose interesting terhadap hal-hal yang disukai dalam bidangnya. Alih-alih profesi impian tercapai, kebanyakan masyarakat akhirnya banting setir terhadap pekerjaan pemerintah, yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sebab sebetulnya secara general, pemenuhan bidang kognitif perlu diklasifikasikan sendiri di selain semua spesifikasi pembelajaran setiap jurusan. Sehingga, tidak salah juga, ketika ada dua sistem dengan arah yang sama dibentuk sehingga menjadi pendidikan general (mencakup psikotes, pendidikan karakter, nilai-nilai kehidupan) dan pendidikan spesifik sesuai bidang dan minatnya.
Membicarakan mengenai sistem, ada standar pendidikan yang perlu dijelaskan menurut Kemendikbud, terdiri dari Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang mencakup: penetapan standar Pendidikan Tinggi (Dikti), pelaksanaan standar Dikti, evaluasi (pelaksanaan) standar Dikti, pengendalian (pelaksanaan) Dikti, dan peningkatan standar Dikti. Selain itu juga melibatkan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME)/akreditasi yang mencakup Evaluasi Data dan Informasi Penetapan Status Akreditasi dan Peringkat Terakreditasi Pemantauan dan Evaluasi Status Akreditasi dan Peringkat Terakreditasi. SPMI dan SPME tersebut berorientasi pada budaya mutu, yaitu pola pikir, pola sikap, pola perilaku berdasar standar Dikti. Visi besar yang dicapai itu, cukup elegan seakan pembaca terpengaruh pada orientasi yang dimaksud. Padahal, jika dilihat jelas, penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada standar Dikti hanya berkutik pada angka-angka kemunafikan. Oleh karenanya, definisi mencerdaskan kehidupan bangsa beralih kepada kepentingan politik para pejabat tinggi negara.
Kurikulum juga terdapat KKM sebagai patokan nilai dari setiap mata pelajaran. Sedangkan menurut Guru Gembul, KKM merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Sebab, Ketentuan KKM tidak sepenuhnya berdasar pada kemampuan siswa dan hanya berdasar pada “rekayasa” guru semata. Konsep kurikulum seperti ini dapat menjauhkan siswa dari bakat alamiahnya, sebab siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran.
Kita Adalah Indonesia
Beberapa opini di atas agaknya perlu kita diskusikan kembali bersama elite politik, kaum aktivis, dan berbagai pihak lain yang cukup andil dalam mengambil keputusan ini. Indonesia bukan tidak mampu menjalankan sistem pendidikan yang selaras dan berkualitas sesuai kebutuhan visi negara Indonesia sendiri–mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan perlu di-up dan ditegaskan kembali, agar dapat berunjuk gigi melayangkan ideologi Pancasila. Keputusan ada di tangan kita. Sekarang bukan saatnya merayakan kecurangan atas hak pendidikan yang diperbudak, bukan saatnya generasi muda-terutamanya-berbaring lemah untuk scroll sosmed. Inilah saatnya bumi pertiwi dibangkitkan kembali!