Bahagia Bukan Hanya Didapatkan dengan Menikah

Sumber Foto: radarkudus.jawapos.com

Oleh: Mariyatul Qibtiyah/Kontributor

Pernikahan. Kata yang indah yang seharusnya menjadi harapan terbesar bagi setiap insan. Dimana setidaknya akan ada kebahagiaan abadi di sana, meskipun permasalahan hidup tiada henti. Atau minimal menjadi hal paling sakral untuk diraih dengan sungguh-sungguh, tanpa keraguan, bersama tanggung jawab yang berat. Banyaknya versi cerita seputar pernikahan sedikit banyak menginspirasi kita yang belum menikah atau yang sudah menikah, tapi juga ada yang justru membuat kita enggan atau bahkan trauma karena buruknya pengalaman orang lain dalam menjalankan bahtera rumah tangga. 

Lalu muncul sebuah pertanyaan, sebenarnya apa alasan orang ingin menikah? Apa yang membuat mereka yakin dengan hidup bersama orang asing? Mengapa mereka begitu yakin akan bahagia? Saya sebagai perempuan terkadang heran dengan beberapa orang yang memutuskan untuk menikah muda dengan beralasan agar bahagia, agar beban hidupnya berkurang dan bisa ditanggung bersama pasangan tercinta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 jumlah pernikahan dini atau pernikahan anak pada tahun 2019 sebanyak 10,82 persen. Pada tahun 2020, sebanyak 15,24 persen pernikahan anak terjadi di wilayah pedesaan dan 6,82 persen di perkotaan. Saat pandemi, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama juga mencatat ada lebih dari 34 ribu dispensasi pernikahan sepanjang Januari-Juni 2020. Yang menjadi pertanyaan mengapa di usianya yang masih muda dengan masa depan yang masih panjang, banyak perempuan yang sudah berorientasi untuk menikah? 

Yang menarik di kalangan mahasiswa yang harusnya mengenyam bangku pendidikan, menyelesaikan tugasnya dengan baik justru tidak segan memutuskan untuk menikah dan meninggalkan kewajibannya sebagai pelajar. Sebenarnya tidak menjadi masalah jika mereka mampu membagi waktu antara kehidupan rumah tangga dan kuliah. Namun, yang disayangkan mereka melepas dan memilih untuk meninggalkan bangku perkuliahan. Di dunia kampus sendiri mulai muncul pembahasan tentang pernikahan. Bahkan sudah banyak lembaga-lembaga kajian pra-nikah yang menyasar mahasiswi untuk belajar perihal bab nikah.

Ada jokes yang cukup populer bagi mahasiswa tingkat akhir, “Anda Memasuki Semester dimana ingin menyerah dan menikah” tak ayal, seminar tentang pernikahan marak di kampus-kampus dan banyak diminati. Dan lebih uniknya lagi, peserta seminar bertema pernikahan tersebut kebanyakan adalah perempuan. Seakan-akan menikah adalah solusi segala permasalahan perempuan. 

“Hebat” atau “bodoh” dua kata yang harus saya pilih untuk mereka yang memutuskan pilihan hidup untuk berumah tangga di usia muda.

Mereka “hebat’ karena mereka menerima semua konsekuensi, suka duka, tertawa dan menangis bersama dengan pasangan dan belum lagi siap dengan berbagai permasalahan rumah tangga. “Bodoh” mereka bodoh jika memutuskan pilihan dengan alasan sepele, misalnya stres dengan tugas kuliah, beban hidup ingin ditanggung suami, dan lain sebagainya. “Bahagia adalah ketika sudah menikah”, “Bahagia adalah ketika kita punya anak dan membesarkan mereka”, “Bahagia adalah punya rumah bersama pasangan”, “Bahagia ada saat kita bisa bermesraan bersama pasangan kita”. 

Mungkin itu adalah ucapan yang sering kita dengar ketika seseorang telah menganggap dan meyakini keputusan hidupnya untuk menikah. Bagi saya itu sangat klise. Permasalahan manusia bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Masa dewasa awal merupakan transisi dari remaja yang penuh krisis, ke individu yang memiliki tuntutan tanggung jawab dan terpenuhinya tugas perkembangan yang salah satunya adalah menikah. Fitrah manusia diciptakan oleh Tuhan untuk berpasangan satu sama lain. Setiap individu saling melengkapi dalam suatu ikatan suci yang dinamakan pernikahan. Kenyataannya, ada individu yang memilih untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa terikat suatu komitmen pernikahan atau bahkan memilih melajang sepanjang hidupnya. Seseorang yang belum menikah memiliki sebutan sebagai lajang. 

Kesimpulannya kebahagiaan tidak hanya bisa diraih dengan menikah, seseorang  individu  yang memilih hidup sendiri juga berhak dan bisa bahagia. Mereka bisa memilih untuk mengembangkan karir, menjadi lebih bebas dan tidak terikat kehidupan rumah tangga, atau ingin hidup selibat dengan Tuhan. Dan kenyataannya kita harus melihat realita bahwa banyak yang memutuskan untuk menikah tapi tanpa dibekali ilmu dan kemampuan sehingga rumah tangga yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, misalnya KDRT, perselingkuhan, penganiayaan terhadap anak, penelantaran anak, dan berujung pada perceraian. 

Pernikahan merupakan salah satu Indikator kebahagiaan yang dirasakan seseorang. Tapi bukan berarti kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan menikah. Karena di Indonesia, sebagian besar masyarakat memandang pernikahan merupakan bentuk dukungan sosial paling penting bagi seorang individu. Seorang individu akan lebih bahagia ketika dirinya berada dalam sebuah hubungan pernikahan. Sepertinya kita perlu mengkaji ulang anggapan-anggapan yang menganggap menikah merupakan suatu yang harus dilakukan karena jika tidak maka perempuan atau laki-laki akan dianggap tidak laku.

Kalau kata Ning Imaz, salah satu pengurus Pondok Pesantren Lirboyo Jawa Timur sekaligus pegiat sosial media pernah mengatakan

“Perempuan itu jangan desperate, orientasi hidupnya jangan melulu tentang menikah, karena menikah itu bagian dari hidup, bukan tujuan kehidupan. Jadi banyaklah investasi kedalam diri sendiri, memperbanyak ilmu, berperilaku baik, kemudian sibuk melakukan hal-hal yang bermanfaat nanti jodoh akan datang dengan sendiri”. Sebagai seorang perempuan, alangkah baiknya jika kita bijak dalam menyikapi fenomena menikah muda atau termakan isu perawan tua yang dikonotasikan negatif sebagai perempuan yang tidak laku. Lebih baik kita fokus dengan apa yang ingin kita capai dan memperbaiki diri agar bisa menjadi perempuan yang mandiri dan bermanfaat untuk orang sekitar. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *