Santri Nakal Pemicu Degradasi Moral

ilustrasi santri nakal
ilustrasi santri nakal
ilustrasi santri nakal

Akhlak merupakan garis batas baik buruknya makhluk. Manusia yang diciptakan Tuhan dengan bentuk paling sempurna rupanya tak serta merta membuat manusia sadar akan apa yang mereka miliki. Pada era ini, virus degradasi moral sangat cepat meluas di tengah masyarakat. Dalam hal ini perempuan menjadi sorotan utama. Sebab populasi perempuan yang mendominasi dunia ini mempunyai dampak yang sangat riskan bagi kaumnya. Mengapa demikian?

Perempuan masa kini selalu bangga dengan gaya glamour dan terkesan mengekor arus zaman. Lalu bagaimana dengan santri? Sekumpulan populasi perempuan yang dipandang khalayak umum sebagai wanita baik-baik kadang justru membuat orang yang melihatnya terlena. Tampilan yang muslimah dengan balutan gamis, jubah, hijab dan sebagainya mampu mengalihkan pandangan orang. Umumnya, orang-orang beranggapan seorang santri pasti berakhlak baik. Itu memang benar, tapi dulu. Ketika zaman fashion belum merajai wanita. Saat era gadget belum merebak di tengah masyarakat, khususnya para kaum hawa.

Kodrat perempuan yang selalu ingin tampil perfect inilah yang akhirnya menjadi pemicu kaum hawa untuk memenuhi kebutuhan tersiernya. Serba baru dan serba mutu. Itulah tuntutan perempuan pemburu zaman. Bukan perempuan awam, santri tulen ataupun santri abangan. Semua sama saja. Pakaian seolah hanya sebagai wujud pencitraan semata, tanpa memperhatikan degradasi moral mereka yang mulai terkikis.

Dalam hal pola hidup dan kebiasaan, santri yang berubah mengarus ke zaman modern semakin menunjukan geliat kebebasannya. Miris memang, jika melihat santri sekarang yang doyan pulang malam, tanpa jarak dengan kaum laki-laki, pura-pura mengikuti kegiatan luar, dan faktor lain yang memicu santri keluar batas. Apalagi pesantren yang tidak terlalu ketat dengan peraturan. Alih-alih dipesantrenkan oleh orang tua, rupanya malah suka keluyuran kemana-mana. Apakah label santri hanya sebagai kedok saja? Atau sebagai media melecehkan kaumnya? Padahal tujuan pesantren adalah tempat pendidikan akhlak. Mengapa dicederai dengan hal-hal demikian?

Memang tak semua santri berlaku demikian, namun apakah santri yang terlanjur terjebak dalam keburukan akan terus mencari teman dalam kesesatan? Bagaimana dengan santri yang istiqomah namun citranya tercoreng karena anggapan masyarakat sudah buruk? Ditambah lagi rasa ta’dzim santri yang mulai terus dikesampingkan. Bentuk hormat serta sopan santun diabaikan dan dikesampingkan begitu saja. Bahkan, banyak orang yang lulus dari pesantren justru malah melepas dan meninggalkan segala keistiqomahan mereka selama di pesantren. Jika sudah demikian, orang tua yang juga berperan dalam membentuk karakter anak harus benar-benar jeli dan penuh perhatian terhadap perkembangan anaknya. Pemilihan model pendidikan akhlak yang tepat juga akan menstimulasi pola pikir anak. Anak akan lebih memperhatikan cerminan orang-orang di sekitar mereka. Hal kecil pun dapat menjadi hal yang fatal jika tidak ditangani dengan bijak dan seksama. Perempuan adalah mahkota dunia. Jika bukan kita yang peduli, siapa yang menghiasi dunia ini? Perempuan harusnya peka dengan akhlak mereka, bukan mengabaikannya demi keutamaan dunia.

(Alvina Fitria/ Crew Magang_)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *