Food Estate dan Dampak Gizi Buruk terhadap Keberlangsungan Hidup di Papua

Potret kegagalan food estate (Sumber Foto: Radar Jogja).

Oleh: Fifi Mafawiza

“Dengan diperkenalkannya pertanian, umat manusia memasuki periode yang panjang dari kekejaman, kesengsaraan, dan kegilaan, yang darinya mereka baru saja dibebaskan oleh operasi mesin yang baik hati.”

– Bertrand Russell, filsuf dan ahli matematika

Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang beroperasi sejak bulan Agustus 2010–pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), berhasil meninggalkan kesan yang mengerikan untuk penduduk Papua saat itu. Konversi lahan yang terjadi berdampak luas. Mulai dari menghilangkan sumber makanan pokok masyarakat tradisional adat Malind, hingga berdampak pula pada pemenuhan gizi anak-anak di sana. Kegagalan-kegagalan food estate di Indonesia menjadi fatal, ketika lahan yang tadinya aktif berproduksi menjadi tidak dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sekitar. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, jumlah bencana hidrologi meningkat karena proyek ini.

Melansir dari Tribun-Papua.com, hingga saat ini, angka stunting di Provinsi Papua Selatan hingga saat ini masih melambung tinggi dari yang ditargetkan, yakni 14%. Angka stunting tertinggi terdapat di Kabupaten Asmat yakni 54,5%; sedangkan Kabupaten Boven Digoel 37,2% Kabupaten Merauke 29,6%; dan Kabupaten Mappi 23,7%.

Pemerintah seperti ingin memusnahkan peradaban Papua dari tanah air Indonesia. Hal itu bisa termuat dalam pemberitaan media-media pro terhadap Papua, hutan, dan sumber daya manusianya. Papua selalu menjadi tumbal utama kerakusan para investor dan kegilaan food estate yang berlindung di balik proyek strategis nasional. Bagaimana dengan kabar food estate tahun ini?

Bisa dikatakan, Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dirusak oleh Undang-Undang Cipta Kerja, yang seakan sengaja dibuat untuk keuntungan para penguasa. UU Cipta Kerja ini akan mempermudah izin pemanfaatan kawasan hutan, dan alih fungsi lahan, yang sering kali meleset atau tidak sesuai dengan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Belum lagi, ditimbang dari aspek-aspek lainnya, di mana hal itu bersinggungan langsung dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan UU No 41 Tahun 1999 mengenai penyelenggaraan kehutanan yang sudah tidak ada harga tajinya.

Tidak hanya berhenti pada food estate, masyarakat juga terganggu dengan adanya Medco Group pada tahun 2016 yang mulai mengembangkan pertanian padi, sorgum, dan jagung. Alih-alih membuat lumbung pangan, proyek ini justru menghancurkan hutan Papua. Hutan seluas lebih dari 1.282.833 hektare mengalami penggundulan. Dampaknya, membuat masyarakat harus berjalan 10-20 km ke dalam hutan untuk berburu hewan yang biasa mereka makan di Kampung Senegi. Pun dengan sagu sebagai makanan sehari-hari, mereka terpaksa menggantinya dengan beras.

Pada 2019, Medco Group meneken perjanjian tertulis dengan komitmennya untuk melindungi tempat suci, tempat adat, hutan yang biasa dijadikan tempat berburu dan beberapa tempat penting bagi masyarakat. Medco Group berjanji menjaga jarak sejauh 1.500 meter dari tempat sagu tumbuh di Senegi. Nyatanya, hal itu juga diingkari dengan mudah oleh mereka demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Awalnya, masyarakat sekitar diperbolehkan untuk ikut bekerja dengan upah Rp.500.000 hingga Rp.1.000.000 per bulan. Tapi, mereka kemudian dipecat dengan alasan bahwa warga yang bekerja sering mangkir. Dengan mengandalkan penghasilan mereka yang rendah untuk membeli bahan makanan yang mahal, mereka sering kali hanya mampu mengkonsumsi nasi tanpa didampingi dengan lauk yang bergizi. Mie instan juga sering menjadi santapan untuk mengatasi lapar.

Para orang tua turut sedih dan prihatin dengan keadaan anaknya, alamnya yang menjadi korban kekurangan gizi, dan proyek-proyek negara yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keberadaannya. Food estate merenggut jiwa pemburu dan peladang masyarakat Papua di Senegi, meningkatkan nilai stunting, merenggut perairan bersih, serta menghilangkan keragaman hayati dan kekayaan yang sudah melekat pada jatidiri orang Papua.

Penduduk Papua dan para penerusnya akan rusak dan lenyap jika masalah-masalah ini tidak segera ditanggulangi oleh pemerintah. Tidak dipungkiri, bahwa peritiwa ini akan terulang kembali, jika food estate yang kurang pertimbangan terhadap masa depan. Mencegah kerusakan alam di Papua berarti mencegah adanya kelaparan dan kematian anak-anak sebab gizi buruk, serta menjaga keberlangsungan kehidupan di masa depan .

Dikutip dari Medium Timur. salah satu alasan utama Papua menjadi kunci penguatan kebangsaan adalah keanekaragaman budayanya. Tidak hanya itu, potensi alam yang dimiliki juga berperan dalam penguatan kebangsaan Indonesia. Maka, jelas hal itu hanya bisa dilakukan oleh anak cucu mereka. Food estate bisa dimulai dulu dari skala kecil untuk kepentingan masyarakat setempat, agar kita juga dapat meminimalisir risiko sosial dan lingkungan.

Artikel ini merupakan hasil Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) “Bersinergi Mengoptimalkan Daya Kritis Progresif Mahasiswa di Era Industri 5.0” yang diselenggarakan oleh LPM DinamikA pada 23-26 Mei 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *