Cerpen: Sedu Kalbu Ramadhan di Perantauan

Sumber Foto: Freepik

Oleh: Lestari

Rangkain rindu sudah meruah, ia tak mampu hanya terbendung dalam tangisan saja. Hidup memang tak semulus yang diharap, keluh pun tak hanya hal sedih saja bahkan tak jarang tawa pun berbentuk rindu yang dibalut sedu. Senja sore di hari Minggu begitu menakjubkan, wajar jika pemuda itu masih mengabadikan momen indahnya dan termenung dalam khayalan yang hanya dimengerti olehnya. Tak lama dari balik rumput yang subur di tepi ladang jagung, datang Erina mengageti sahabatnya yang sedang termenung sehingga hendak terjungkal.

“Jarkok! Fajar Bangkok, hahahahha.” Teriak Erina keras.
“Ish, apasih Er, ngaget-ngageti orang saja,” balasnya kesal sambil menarik nafas panjang.
“Lagian dari tadi merenung mulu, emang ga ada kerjaan lain yang lebih indah gitu? Dasar bangkok yang monoton,” balas Erina sengit, tak sadar Fajar sudah berjalan menuju kereta dan meninggalkan Erina, “Eh-eh kemana kau akan pergi, sudah berjalan saja tanpa mengajakku.”
“Pulang ke asrama, mau ngusir lebah yang membuat telingaku berdengung,” sahutnya ketus dengan dalih menyindir Erina yang sangat cerewet.
“Malam nanti jangan lupa tarawih, jangan lupa besok sudah puasa yaaaa,,” teriak Erina dari kejauhan sedangkan Fajar hanya fokus menyalakan kereta tuanya.
“Hentikan omelanmu, ayo bergegas pulang atau kau mau jadi penunggu ladang ini, Erina?”

Sejoli itu selalu bersama dalam keadaan apapun, baik itu di kampus ataupun di ladang jagung. Dua mahasiswa ini merupakan kepercayaan bapak asrama, karena keuletanya dan kepandainya dalam bercocok tanam sekaligus mahasiswa yang berprestasi dalam bidang pertanian. Namanya Erina Karam dan Fajar Baskoro, mahasiswa program studi Agronomi semester akhir.

Keduanya mahasiswa yang selalu menjadi sorotan teman-temanya selain mereka cerdas mereka juga humble terhadap teman-temanya, itulah sebabnya keduanya selalu menjadi kesayangan orang disekitarnya.

Di bulan ramadhan keduanya dipercaya sebagai pengurus dalam pemanfaatan ladang jagung milik bapak Adi atau mereka menyebutnya sebagai bapak asrama. Malam itu seluruh penghuni asrama mengadakan doa bersama sekaligus makan besar untuk menyambut puasa esok hari.

“Fajar, bagaimana perasaanmu malam ini?” tanya Pak Adi mendekati fajar yang sedang menatap langit-langit kamarnya.
“Terimakasih pak atas perhatianmu selama ini kepadaku dan keluargaku, bahkan di rantau dengan kota yang penuh polemik ini kau menyempatkan sekaligus mencurahkan kepedulianmu kepadaku,” jawab Fajar sambil menunduk yang dibalas senyuman oleh pak Adi.

Sinar mentari pagi ini sangat cerah, secerah harapan dan runtutan mimpi milik semua orang. Mereka setuju akan bahagia, sebahagia burung pipit berkicau dipagi hari setelah melewati malam-malam panjang. Seperti hari biasanya Erina dan Fajar berangkat ke ladang jagung pak Adi, namun pagi itu tidak ada bekal yang akan dibawa keduanya mereka hanya membawa semangat dan doa saja. Begitu juga dalam perjalanan, duduk berboncengan dan menikmati kemacetan kota itu yang menggelitik kekesalan Erina.

“Lama sekali lampu hijaunya, mau sampai kapan kita berada di sini, huft.” Dumel Erina
“Bisakah kau sabar dan diam, disini yang antri dan memiliki kepentingan bukan hanya kau saja, sekiranya kau tidak suka kembali saja ke asrama,” sahut Ardi tegas sambil menjalankan keretanya disela lampu kuning menuju hijau dengan sedikit kencang.
“Fajar bangkokkkkkkkkkk, apa kau ingin mengajakku mati, kenapa kau membawa kereta begitu kencang, apa kau tidak merasakan debaran jantungku yang penuh ketakutan, apa kau tidak melihat tanganku erat memegang pundakmu, apa kau-kua arghhh,” Erina sontak berhenti mengomel karena tiba-tiba Fajar meminggirkan keretanya di dekat jembatan di mana di bawah jembatan terdapat sungai, “Apa-apaan ini, tidak luucu!” bentaknya cemberut.
“Jika kau masih mengomel kutinggal di sini, namun jika kau diam bergegaslah naik kereta lagi, pilihan ada padamu,” tegur Fajar ketus.

Erina yang masih awam akan jalan tersebut, memilih mendengarkan teguran Fajar dan bergegas menaiki kereta.

Selang setengah jam keduanya tiba di ladang Jagung pak Adi. Fajar bergegas memilih tanaman jagung yang baik dan sehat, sedangkan Erina pergi ke tepi ladang. Tak sadar matahari sudah terik dan mendekati waktu dzuhur, Fajar mulai menjelajahi seluruh ladang jagung sekaligus mencari Erina yang sedari tadi tidak ada di sampingnya. Fajar yang masih melihat ke-kanan dan ke-kiri mencari sahabatnya itu, begitu kaget karena terlihat dari kejauhan ia melihat sesuatu yang tak lazim.

Matanya melihat seperti seseorang yang mengiris-iris lengannya menggunakan benda tajam. Tanpa menunggu waktu yang lama ia mendekati dan memastikan akan penglihatannya.

“Erina! Apa-apaan kau ini, berhenti!” Bentak Fajar sambil mencegah Erina yang mengiris-iris lenganya dengan pisau yang tajam, “Oke, sorry dari tadi aku mendiamkanmu dan memarahimu, maafkan aku. Ayo kita pulang ke asrama.”

Mereka langsung kembali ke asrama, sedangkan Fajar masih tidak mengerti dengan kejadian yang dilihatnya. Banyak darah di bajunya, setiba di asrama, Fajar memanggil teman Erina untuk mendampinginya selama di kamar agar kejadian di ladang tidak terjadi terulang lagi. Fajar bergegas masuk ruangan dan beranjak mandi lantas pergi ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Seusai shalat dzuhur Fajar berdiam diri di masjid sehingga ia ketiduran.
“Anakku, bagaimana puasamu ramadhan ini? Sehat selalu ya, mama dan papa selalu ada di sampingmu, kamu harus bahagia dan kamu harus menjaga kesehatanmu, janji ya,” bisikan yang entah dari mana asalnya sehingga membuat Fajar terbangun dan meneteskan air mata.
“Mama,” desis Fajar pelan.
“Fajar, kamu dipanggil bapak asrama, ditunggu di ruang tamu,” ucap Irwan teman sekamarnya.

Fajar dengan cepat keluar masjid dan menemui bapak di ruang tamu. Lelaki paruh baya dengan rokok yang terjepit di sela jari telunjuk dan tengah serta aset asap rokoknya, tak lupa dengan sarung kesayangannya tengah menununggu kedatangan Fajar dengan gelisah.

“Ada apa pak?” tanya fajar dengan nafas terengah-engah.
“Erina, kenapa bisa sakit? Dan kenapa di lengan kirinya banyak sekali luka? Bukankah tadi pergi ke ladang bersamamu, Nak?” tanya pak Adi heran.
“Itulah hal yang tidak aku mengerti sejak tadi pak, karena waktu tiba di ladang dia berjalan ke tepi dan lama berada di bawah pohon, dan selang tak lama Fajar melihat Erina mengiris-iris lengannya,” jelasnya.

Malam tiba, dimana setelah tarawih seluruh anak kembali ke asrama. Dalam perjalanan menuju asrama, lagi-lagi saat di taman Fajar melihat Erina yang sedang termenung dan tidak seceria biasanya. Fajar yang masih takut kejadian di ladang terulang kembali ia memilih mendekati Erina. Erina hanya menyodorkan surat yang dilipat rapi dan meninggalkan Fajar begitu saja. Setelah Fajar memastikan Erina masuk ke asrama ia langsung membuka surat yang diberikannya.
“Hallo Fajar, mungkin kamu lama tidak akan berjumpa denganku, maaafkan aku selalu merepotkanmu dan menjadi sahabat yang menyebalkan. Terimakasih telah menerimaku sebagai sahabat dalam hidupmu. Maafkan aku karena kamu melihat kejadian mengerikan itu di ladang. Aku akan pergi sebentar untuk menyelesaikan masalahku, karena malam puasa pertama ramadhan itu, ayahku menikah dengan selingkuhannya dan meninggalkan mamahku begitu saja. Aku berpesan jangan mencari aku, percayalah aku akan kembali suatu saat nanti. Terimakasih Fajar Baskoro, aku mencintaimu. Oh ya, jaga kesehatan dan jangan sedih terus, kamu laki-laki kuat dan spesial dengan apapun yang terjadi dalam hidupmu. Salam sayang Erina Karam.”

Lagi-lagi malam ramadhan itu lengkap sudah kesedihan yang dialami Fajar, setelah tepat setahun lalu orang tuanya meninggal, yang dimulai oleh ibu Fajar yang meninggal dalam tragedi kecelakaan dan enam bulan kemudian disusul ayahnya yang meninggal karena penyakit diabetes. Fajar kembali ke kamar dan penuh kesedihan, ia merasakan sedu ramadhan di perantauan dengan kehilangan orang yang dicintainya. Tepat pada malam kedua bulan ramadhan Fajar kehilangan sahabatnya Erina Karam, sahabat yang juga mampu menggoyahkan rasa cintanya terhadap wanita itu.

Waktupun berlalu, tiba saatnya pada malam takbiran, dimana asrama akan terlihat sepi penghuni, karena banyaknya mahasiswa yang mudik. Dan malam itu Fajar mulai terbiasa dengan kehidupannya, bagi Fajar malam takbiran kali ini terasa menyedihkan, dimana ia harus melaksanakan lebaran di perantauan dan kehilangan sahabat terbaiknya.

“Jar, pergilah ke taman, dan tolong ambilkan aku salah satu bunga disana, cobalah kau pergi ke taman itu siapa tau kau akan bertemu dengan kebahagiaan,” ucap pak Adi dengan raut wajah sumringah menghampiri Fajar
“Kebahagiaan apa yang ada di taman? Apakah bunga-bunga cantik itu? Aku sudah melihatnya setiap hari pak, jadi tidak perlu malam-malam seperti ini aku pergi ke taman itu,” tolak Fajar halus karena Fajar masih trauma dengan kepergian Erina.
“Percayalah, kali ini bunganya akan berbeda,” dengan raut wajah yang berseri-seri pak Adi merayu Fajar agar mau pergi ke taman setelah setengah bulan ia tidak menyentuh taman itu karena dihantui perasaan takut akan kenangan Erina.
“Baiklah kalau bapak memaksa,” Fajar menuruti perintah pak Adi.
Lebaran tahun itu Fajar memang tidak pulang ke kampung halaman, ia memutuskan singgah di perantuan untuk mengurangi luka lamanya, Fajar takut jika pulang kerumah ia akan terus teringat bayangan kedua orang tua di rumah itu. Fajar sudah sepakat menjadikan pak Adi sebagai orang tua kedua setelah orang tuanya. Fajar juga berharap Erina akan kembali secepatnya dan menemani kesehariannya.

“Bunga itu aku, tidak perlu kau mencariku di sela-sela daun itu, kau kira aku muat berada di situ, apa kau mengejekku karena badanku yang gempal, hah?” cerocos Erina sebagaimana sikap khasnya.
“Erinaaa, aku merindukanmu,” Fajar berhambur dari balik bunga mawar dan mendekati Erina.
“Keren juga seorang Fajar yang terkenal cool dan cueknya bisa bilang I miss you, yah aku kira bahasa itu lebih baik, agar tidak malu jika ada banyak orang yang sedang menyaksikan pertemuan ini,” bisik Erina.
“Tetaplah di sampingku sebagai kebahagiaanku, tetaplah menjadi Erina yang cerewet sebagai nyanyian terindahku, terindahku dalam segala hal. Dan tetaplah mencintaiku, aku kehilangan orang tuaku, tapi akan kupastikan bahwa aku tidak akan kehilanganmu lagi dalam hidupku. I love you too Erina Karam. Will you mary me, Miss Erina Karam?”
“Yes, I will Fajar Baskoro,” Sahut Irwan sambil membangunkan Fajar dari tidurnya.
“Hai bangunlah, di sini tidak ada Erina, tapi Erina dan kedua orang tuamu ada di hatimu, percayalah kamu manusia terpilih, hamba yang istimewa sehingga kau diberi cobaan di bulan ramadhan yang penuh kesucian ini. Jika aku diberi ujian sedu sepertimu mungkin aku sudah gantung diri di pohon randu itu. Tapi kau tetap gagah dan cakap, bahkan sebentar lagi akan menjadi seorang sarjana dengan predikat nilai yang sempurna. Di perantauan kau akan tumbuh menjadi orang hebat, dan kau akan bertemu banyak hal yang membuatmu berubah di sini, di mana itu? Di perantauan, sedumu biarkan menjadi nyanyian hidupmu, biarkan menjadi pecut kesuksesanmu, dan biarlah ia bersemayam dalam ketulusan hatimu. Karena tanpa sendu di perantauan kau tidak akan pernah tau apa itu cinta dan ketulusan. Cinta yang setiap hari kau anyam dalam sebuah kebiasaan lalu kau rangkai menjadi bintang dan cahaya terang di gelap malam. Dan bintang itu adalah ketulusan yang kau berikan terhadap orang di sekitar. Sedangkan sedumu menjadi dadu kebahagiaan kehidupan sekaligus ramadhan menjadi ketenangan dalam kebisingan.” Nasihat Irwan yang dibalas pelukan oleh Fajar.

Tuhan memilihmu menjadi musafir di perantauan maka kau terpilih menjadi orang istimewa, tak usah kau sedih berlarut sebab Tuhan tau yang terbaik untukmu bukan menuruti keinginanmu tapi kebutuhanmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *