Tulisan ini kupersembahkan pada Mbak Endang dan perempuan lain yang harus tahu bahwa perempuan semacam Mbak Endang itu benar-benar ada.
Biasa, setiap makan sore sebisa mungkin seluruh anggota kamar harus makan bersama-sama. Tidak ada peraturan tertulis tentang itu semua, tapi demi menjaga keromantisan dan keharmonisan dalam kehidupan bernegara yang damai dan sentosa (katanya).
Mbak Endang masih lama?
Kuketikkan sms ke nomor Mbak Endang, akhirnya.
Senja yang malu-malu. Ia rupanya telah lama mengintip lewat jendela depan kamar ini dengan sayu. Pelan-pelan ia rebah memunguti remah malam yang datang tanpa resah. Aku, Ka Vina, dan Iqoh sudah menyiapkan nasi di piring, semangkuk terong balado favorit kami, juga sepiring tahu crispy sebagai pegangan. Pegangan?
“Itu kayaknya Mbak Endang,” tebak Iqoh.
Karena kamar kami adalah kamar yang paling dekat dengan gerbang, maka siapapun yang masuk pasti terdengar.
Ka Vina menggeleng sok elegan, “Bukan! Style Mbak Endang nggak kayak gitu.”
Aku mafhum kalau Ka Vina lebih familiar dengan suara dan style Mbak Endang saat mengendarai Beat hitamnya.
“…Mbak Endang itu, kalau sampai depan gerbang berhenti dulu. Gerbangnya dibuka, baru masuk. Nggak kayak anak-anak yang lain. Mendorong gerbang seenaknya meskipun masih di atas motor,” tambahnya.
Mungkin yang dimaksud ‘anak-anak’ itu adalah aku kali ya?
Maaf, dek. Mbak Endang lagi rembugan sama kepala sekolah. Bahas nikah. Hehehe…
Sms khas dari Mbak Endang yang selalu berujung ‘hehehe’ itu mengomando aku, Ka Vina, dan Iqoh untuk segera makan. Pasalnya, adzan maghrib mulai meraung-raung di tengah kota Salatiga yang eksotis akan perbedaan ini. Juga, karena sesaat setelah itu kami bertiga harus ikut dalam garda terdepan dalam rangka sholat maghrib berjamaah.
°°°
“Mbak Endang, ntar aku jadi pengapit nya Mbak Endang pokoknya,” sahut salah satu dari kami, malam itu.
“Mbak Endang nanti nggak ada apa-apa di rumah, Nduk!”
Aku berhenti memainkan pita organza merah yang (rencananya bakalan) jadi bunga mawar. Kutatap kedua alis Mbak Endang yang pekat dan hampir bersitatap. Ia serius! Tapi kenapa?
“Kenapa, Mbak?”
Gaun mewah, pesta meriah, dan cantik merekah adalah impian semua wanita di hari pernikahannya. Ia ingin terlihat cantik seutuhnya dan hanya tersenyum mesra bersama Sang Pangeran yang dicintainya sepanjang waktu yang ia punya.
Tapi Mbak Endang tidak. Kenapa?
“Mbak Endang sadar, orang tua Mbak Endang orang biasa aja. Daripada nanti dibuat hura-hura ngerayain nikahan Mbak Endang, mending dibuat yang lain. Kehidupan tidak berhenti sampai di pernikahan, Nduk. Kebutuhan setelah menikah itulah yang lebih penting…”
Kedua bola matanya berpagut dalam remang-remang masa depannya. Remang? Ya, habis remang terbitlah terang.
Aku kembali memainkan pita organza merah mawar yang ternyata masih berputar-putar pada step kedua itu. Ini tidak adil! Seorang Mbak Endang gitu hlo!!!
Seorang Mbak Endang. Ya, siapa sih anak Ma’had yang tidak kenal dengan Mbak Endang. Wanita berumur 24 tahun dengan mata yang cantik itu dikenal semua penghuni Ma’had. Hampir semua angkatan. Dari angkatannya hingga angkatan dua tahun di bawahku. Hampir tujuh tahun lamanya. Suara dan aksennya yang khas membuat tidak seorangpun sempat menampakkan rasa meremehkan. Urusan gerbang dan pulang, Mbak Endang pula lah yang turun tangan.
Satu hal yang membuatku merasa bersalah. Waktu itu, dingin sudah menusuk badan yang tengah pulas dalam selimut, namun aku pulas dalam dingin yang mematut. Dini hari, aku menyentuh gagang gerbang terluar setelah menghadiri acara anniversary LPM Amanat di Semarang. Kakak seniorku yang juga sebagai delegasi LPM kami berencana untuk menginap, tapi aku memaksa pulang. Ya nggak nyaman aja wong semuanya cowok gitu.
“Mbak… Mbak Endang….”
Itu aku yang kedinginan sambil memanggil Sang Juru Kunci Ma’had kami. Aku ingin maklum, dini hari berbalut sepi. Tapi, tubuhku tak lagi bisa dimaklumi. Jalanan Semarang-Salatiga jauh lebih menggigit di malam hari.
“Darimana dek?”
Waktu itu Mbak Endang masih memanggilku ‘dek’ pertanda kita belum begitu akrab.
“Em.. itu mbak, acara kampus. Di Semarang,” jawabku tergagap.
Masih dalam mata yang terkantuk-kantuk, Mbak Endang membukakan gembok gerbang itu dengan sabar. Untuk beberapa tahun lamanya… Mbak Endang melakukan itu semua tanpa ada balasan yang berarti!
“Yang penting, Mbak Endang didoain biar sakinah, Mawaddah, wa Rohmah ya, Nduk!”
Mbak Endang membuyarkan lamunanku tentangnya masa itu.
“Pasti to, Mbak Endang….”
Setelah menikah nanti, tentu Mbak Endang akan tinggal bersama suaminya. Ya iyalah! Dan itu berarti Ma’had kehilangan sosok Mbak Endang yang selama ini mengabdi disini. Pasti kangen nunggu suara motornya Mbak Endang yang datang hampir maghrib, suara khas Mbak Endang saat membangunkan kami untuk jama’ah Subuh, kangen juga dinasehati sama sesepuh Ma’had yang telah bertahan selama bertahun-tahun lamanya itu.
Aku ingat sekali ketika Mbak Endang bercerita tentang kehidupannya dulu. Itu adalah malam setelah tadarus pada bulan puasa. Hanya ada aku, Mbak Endang, dan beberapa santriwati yang masih stay di aula bawah.
“Mbak Endang kenapa kok kuliah disini?”
Menurutku itu adalah pertanyaan standar kepada seseorang yang memutuskan untuk kuliah. Iya, ‘kan?
“Dulu, Bapak Mbak Endang nggak tahu kalau Mbak Endang nerusin kuliah.”
Kami yang kira-kira berjumlah tiga orang itu kaget. Terutama aku. Ya, anggep aja gitu!
“Terus… yang ngebiayain siapa, mbak?”
“Dulu pas daftar ya pake uang Pak Lek dulu, Mbak Endang minjem. Mbak Endang juga nggak tahu musti bayar pake apa. Tapi Mbak Endang pede aja. Tentu ya minta sama Allah”
“Mbak Endang nggak dibolehin kuliah ya?”
“Bapak Mbak Endang cuma orang desa, dek. Disana kalau habis SMA atau MA kalau nggak mondok ya kerja. Bapak setuju kalau Mbak Endang mondok, Mbak Endang juga setuju, tapi tetep aja kalo mondok ujung-ujungnya tetep nikah. Mbak Endang belum siap untuk itu.”
Satu perasaanku jatuh mengalir ke sebuah ruangan semu biru laut. Ada dimana generasi muda ‘takut’ untuk menikah muda, tapi ada juga yang ‘takut’ untuk menikah agak tua. Indonesia memang rame rasanya!
“…Makanya Mbak Endang nekat buat kuliah. Mbak Endang tahu, kemampuan bapak itu seberapa. Mbak Endang minta sama Allah, baca Waqi’ah sama Tabarok tiap habis maghrib biar dikasih jalan.”
“Terus mbak?”
“Terus, pas ospek itu Mbak Endang dipanggil sama lembaga. Bayangkan! Mbak Endang yang cuma gadis desa dan nggak tahu apa-apa itu dipanggil. Mbak Endang mikir-mikir dong salah Mbak Endang apa!”
Kami semua tersenyum dengan logat Mbak Endang yang yahud itu.
“…Eh ternyata, Mbak Endang dapet beasiswa santri berprestasi. Alhamdulillah kuliah Mbak Endang gratis sampe semester empat. Allah itu baiiik banget!”
Aku tahu kok mbak kalo Allah itu udah lama baiknya.
Kehidupan aku, Mbak Endang, dan keluarga besar ma’had angkatan ke-7 tetap berlanjut. Tentang jemuran, tadarus, sholat jama’ah, bimbel, hingga urusan ayam-ayam yang suka berkeliaran di dalam ma’had. Peraturan demi peraturan tetap berjalan, tahkim mulai berkurang, tapi santri yang melanggar semakin bertambah.
“Tau nggak, tadi pagi yang jamaah subuh berapa shof?” tanya Bu Lurah Ma’had agak emosi. Bukan emosi sih, hanya mengeluarkan domain afektif yang disertai rasa jengkel. Sama aja ya?
Otomatis para santri plingak-plinguk sambil bertanya-tanya, “Berapa ya? Kamu ngitung nggak?”
“Masa yang jamaah Cuma dua shof. Yang lainnya masbuk semua,” ia memberi penekanan pata kata ‘semua’.
Para santri yang sempat bertanya-tanya tadi mesem, sambil mringis juga sih. Minggu lalu sudah disepakati bahwa untuk urusan jamaah tidak tersentuh ta’ziran. Biar niatnya murni dari hati, bukan niat terhindar dari ta’ziran Mbak Keamanan. Makanya, tidak ada sesi gedor-menggedor pintu tiap jam empat pagi, seperti yang Mbak Endang lakukan dulu.
“Kenapa tadi maghrib nggak jamaah?” sesi tahkim dimulai.
“Baru pulang kuliah, kak! Capek…”
Dulu Mbak Endang selain kuliah juga ngelesi, sering berangkat ke TPA juga tiap sore. Tapi jamaah maghrib, isya’, sama subuh nggak pernah absen. Itu suara hatiku yang diam-diam mendebat.
“Kamu lagi. Kenapa tiap subuh nggak jamaah?” tanya salah satu Mbak Keamanan.
“Maaf, mbak. Saya tuh berangkat kuliah tiap pagi. Jadi mandi dulu, baru sholat. Takut nggak dapet kamar mandi.”
Dulu Mbak Endang sering bangun jam tiga pagi, mandi, nyuci, terus juga jamaah subuh kok. Ah, anak zaman sekarang suka banyak alesan! Yang kupertanyakan, aku ini anak zaman sekarang atau anak di era zaman Mbak Endang? Entah.
Tahkim beralih kepada devisi kebersihan.
“Piket kan cuma seminggu sekali. Kenapa nggak ada satu anak pun yang piket? Memangnya satu kamar sibuk semua?”
“iya, mbak! Kita berangkat jam tujuh semua. Apalagi ‘kan sekarang kampusnya jauh.”
Ah, ngeles! Tak kasih tau ya. Tiap habis makan, Mbak Endang langsung nyuci piring wa akhwatuha, nyapu, ngepel. Bahkan bersih-bersih halaman tiap pagi.
Ah! Lama-lama aku jadi pusing. Terlalu membanding-bandingkan Mbak Endang dan anak-anak. Tapi setidaknya sekarang kita harus bersyukur. Air sudah lancar, kamar mandi banyak yang berfungsi, dan sudah dibuatkan tempat jemuran yang rapi. Bukankah ketika kita bersyukur Allah akan menambah nikmat kita?
Dalam dekapan malam, sambil tengadah ke langit-langit kamar aku kembali lagi berpikir. Seorang wanita semacam Mbak Endang memang ada ya? Ah jangan-jangan aku hanya mimpi.
Buru-buru aku ingin terbangun, memastikan Mbak Endang dan eksistensinya memanglah tokoh nyata. Ya, dia memang ada. Ada untuk perbandingan kah? Ah, untuk apa…
Bukankah manusia telah diciptakan dengan sebegitu sempurnanya, tapi kitanya yang belum pintar betul menganalisa. Mbak Endang hanya melengkapi kesempurnaan kita yang kurang. Kesempurnaan para perempuan yang harus tahu bahwa perempuan semacam Mbak Endang itu benar-benar ada.
(D1418/red_)