Zakiyuddin Vs Zakiyuddin

Potret Rektor UIN Salatiga dua periode, Zakiyuddin Bhaidhawy. (Sumber Foto: Jawa Pos).


Oleh: Ahmad Ramzy

“Semasa muda, mungkin saya lebih berani daripada sampeyan.” – Zakiyuddin Bhaidhawy.

Demikian ucapan Anda saat menanggapi pertanyaan saya, pada perhelatan Duduk Bareng Rektorat (31/5), mengenai sikap politik secara individu dan lembaga terkait putra sulung Presiden Jokowi yang mendapatkan karpet merah akibat perubahan batas usia bakal calon presiden dan wakil presiden.
Itu adalah momen yang cocok untuk mempertanyakan kerja-kerja Anda selama menjabat sebagai Rektor UIN Salatiga.

Idealnya, Anda profesional dalam menanggapi segala macam pertanyaan. Walaupun harus ditemani oleh jajaran rektorat lainnya, bukan berarti Anda boleh banyak mengabaikan dan membiarkan wakil-wakil rektor Anda menjawab pertanyaan audiens. Anda seakan memberikan gap yang jauh kepada rakyatnya (red: mahasiswa) dengan sedikit berbicara. Sehingga, para wakil rektor harus turun tangan dan bertindak asal bapak senang (ABS) kepada Anda.

Sejak ucapan itu disampaikan kepada saya—yang kebetulan menanyakan beberapa hal lain—saya menilai Anda begitu arogan. Anda tidak memberi teladan baik sebagai seorang akademisi, yang seharusnya rendah hati dan ramah terhadap civitas akademika, wabil khusus mahasiswa Anda sendiri.

Padahal, kampus adalah ruang belajar demokrasi melalui kalangan terpelajar. Menurut Henry Giroux, universitas adalah ruang demokratis yang mendidik warga negara (citizens), bukan hanya ruang proses birokratis yang nyatanya cuma sekadar bergelut dengan administrasi dan jabatan.

Peristiwa tersebut perlu di-capture, melihat nama Anda yang cukup mentereng di kancah intelektual Indonesia. Sebagai intelektual, yang diutamakan adalah sikap intelegensia karena dialektikanya, bukan bersikap seperti seorang teknokrat yang berujar menyudutkan lawan bicaranya karena relasi kuasa.

Meskipun relasi saya dengan Anda berbeda, bukan berarti saya kalah pengalaman dengan Anda. Semasa muda ini, saya tidak sedikit menghabiskan buku-buku. Bahkan, saya melalui susah-payahnya membersamai warga di wilayah konflik. Apakah Anda pernah melakukan advokasi terhadap mereka yang ditindas oleh sistem?

Tulisan ini adalah catatan penting, sebagai kritik dan masukan untuk Anda—juga tidak ada larangan bagi Anda untuk membuat tulisan tandingan atau kritikan—serta merupakan bentuk dialektika sebagai sesama kalangan intelektual dan sama-sama meyakini “Kitalah cendekiawan berpribadi”.

Antara Birokrat dan Intelektual

Bukan cuma sekali Anda berlagak birokrat dengan terlihat berjarak dengan mahasiswa. Serangkaian aktivitas formal membuat Anda sulit srawung dengan mahasiswa. Bahkan, untuk sekadar diwawancarai di ruangan harus berkirim surat lebih dulu kepada humas rektorat. Apakah Anda takut dengan kerja-kerja jurnalistik LPM DinamikA? Saya khawatir, residu mentalitas priayi masa lampau, masa-masa feodal, Anda benarkan.
Catatan-catatan kehidupan KH. Ahmad Dahlan seharusnya menjadi teladan Anda untuk bersikap kepada mahasiswa—sebagaimana Mbah Dahlan mendidik murid-muridnya. Anda tidak dekat dengan mahasiswa. Anda juga tidak pernah berstatemen tegas terhadap kediktatoran rezim hari ini—yang sarat akan ketimpangan dan ketidakbenaran.

Anda berujar bahwa momen Anwar Usman yang memuluskan jalan Gibran itu riskan untuk dibicarakan di ruang kampus. Saya jadi teringat betul dengan pesan Moh. Hatta mengenai tanggung jawab moral kaum intelegensia. Semoga Anda ingat. Hatta meyakini, “Tanggung jawab seorang akademikus adalah intelektual dan moral! Ini terbawa oleh tabiat ilmu itu sendiri, yang wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.”

Salah satu teman Anda bercerita, Anda dulunya adalah mahasiswa dengan taraf perekonomian menengah, dalam artian tidak kaya, tidak pula miskin. Dia menyayangkan sikap Anda yang sekarang. Baginya, Anda adalah sosok intelektual yang cerdas di masa mudanya. Meskipun begitu, Anda tetaplah seorang pemikir semata, bukan pemikir sekaligus pejuang pada masa Orde Baru. Setali tiga uang dengan saya, dia menilai bahwa Anda hanyalah seorang kutu buku yang banyak menghabiskan waktu di kamar.

Ketika Orde Baru masih mencengkeram rakyat, Anda pernah menulis buku Wacana Teologi Feminis dan terbit di Pustaka Pelajar. Bahkan, Anda pernah menulis buku Islam Melawan Kapitalisme dan terbit di Resist Book. Anda juga telah menerbitkan berbagai karya ilmiah dalam bentuk tulisan lainnya. Pun memegang kendali Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS), jurnal berreputasi dalam kancah akademik internasional. Anda cukup prestise dalam kancah intelektual, saya mengakui dan salut dengan itu. Namun, apabila intelektualitas itu terbutakan oleh jabatan, maka jelaslah bahwa Anda melawan diri sendiri dan begitu nyata memiliki ambivalensi.

Periode Pertama, Menghasilkan Apa?

Kabar baik bagi Anda karena melanjutkan pelayaran sebagai seorang rektor untuk periode kedua. Tetapi, hal ini belum tentu menjadi kabar baik bagi saya dan mahasiswa lainnya. Sebab, perjalanan Anda sebagai rektor tidaklah berjalan mulus. Bahkan, tidak sedikit Anda mengabaikan beberapa momen penting yang dialami oleh mahasiswa. Mari kita akumulasikan momen-momen tersebut.

Awal masuk sebagai mahasiswa angkatan 2021, saya terkejut mendengar kabar bahwa mahasiswa angkatan 2020 belum mendapatkan jas almamaternya selama berkuliah. Ternyata, saya menjadi angkatan yang bernasib serupa, meskipun tidak selama yang dirasakan angkatan 2020 ketika menunggu jasnya diberikan.

Kejadian-kejadian mengenai jas almamater dapat dicek di tiga berita LPM DinamikA: Masuk Semester 3, Mahasiswa Angkatan 2020 Belum Terima Jas Almamater; Gagal Tender, Jas Almamater Angkatan 2020 dan 2021 Belum Ada Kejelasan; dan Buntut Gagal Tender Jas Almamater, Konveksi Kurniawan Merugi. Sayangnya, Anda tidak secara terbuka menanggapi peristiwa tersebut.

Dua tahun berselang, pada acara Duduk Bareng Rektorat, terdapat satu mahasiswi yang mengeluhkan tiadanya titik terang soal keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ia sudah mengajukan, namun selalu pupus harapan. Ukuran diterimanya pengajuan keringanan UKT pun tidak sesuai dengan keadaan riil perekonomian mahasiswa, khususnya orang tuanya.

Jujur, saya khawatir dengan keadaan khazanah keilmuan di kampus. Sebab, masih terdapat dosen yang mengajar tidak sesuai dengan rumpun keilmuannya. Misal, seorang Guru Besar di bidang Sejarah dan Pemikiran Islam. Bukannya mengajar sesuai rumpunnya, dia malah mengajar mata kuliah kewirausahaan. Dalih yang digunakan—seperti apa yang disampaikan Wakil Rektor I, Saerozi—bahwa aspek yang dipertimbangkan bukan hanya rumpun keilmuan, tapi juga pengalaman sebagai praktisi. Tentu, saya masih belum bisa menerima alasan itu. Seharusnya, kampus menempatkan dosen-dosen sesuai bidangnya, bukan memaksakan akibat kurangnya tenaga pengajar.

Kemudian, labelisasi diri bahwa UIN Salatiga adalah Green Wasathiyah Campus (GWC) belum sepenuhnya tepat. Anda belum mampu mengimplementasikan masterplan GWC secara menyeluruh. Awal tahun 2024 saja, saya masih melihat proses pembakaran sampah di sebelah barat Gedung KH. Ahmad Dahlan, di sekitar rumput-rumput tanah lapang.

Buruknya lagi, tanah luas di barat Auditorium Students Center (ASC) sempat dibuatkan sirkuit temporal untuk KASAL CUP SUPERTRACK pada 22-23 Juli 2023. Anda bergagah-gagahan mengatakan, UIN Salatiga satu-satunya kampus yang memiliki sirkuit. Saya tahu, ini adalah bentuk dari Badan Layanan Umum (BLU), di mana kampus perlu menghasilkan pemasukan ekonomi secara mandiri. Namun, saya sempat terpikirkan, mengapa tidak menanam pohon di kawasan tersebut untuk mewujudkan cita-cita GWC dengan wilayah hijau? Padahal, penyewaan gedung ASC masih menjadi pemasukan juga untuk kampus ketika pihak luar ada yang mau menggunakannya.

Kampus 3 khususnya, menurut saya bisa dijadikan sentra wilayah hijau UIN Salatiga. Mengapa kita tidak mengadakan penanaman 1001 pohon di kawasan barat Gedung KH. Hasyim Ashari dan Gedung KH. Ahmad Dahlan yang terdapat tanah lapang? Tentunya, saya akan sangat senang bila Anda terpikirkan hal serupa, sebagai bentuk pengejawantahan nilai-nilai GWC sekaligus pelestarian alam–hablum minal alam.

Salah satu Ketua UKM tahun lalu bercerita, Anda menginginkan adanya penanaman pohon durian di dekat lapangan Kampus 3. Semoga saja Anda tidak terpikirkan untuk menjadikan UIN Salatiga sebagai Kampung Durian Runtuh. Perlu ada aksi nyata untuk mewujudkan GWC secara serius dengan kajian komprehensif, bukan melontarkan lelucon yang receh tak berguna.

Masalah lainnya yang harus Anda hadapi adalah isu pelecehan seksual. Isu ini bukan kabar burung belaka. Ingatlah, Anda adalah penulis buku Wacana Teologi Feminis. Kesadaran untuk berpihak terhadap perempuan—yang rentan menjadi korban—seharusnya menjadi common sense di benak Anda. Sikap Anda menemui sejumlah demonstran, ketika mendengar terjadi pelecehan seksual oleh dosen, bukanlah sebagai ajang heroisme—tapi mesti diselesaikan hingga tuntas. Perlu sama-sama kita ketahui, bahwa pelaku pelecehan tidak akan pernah mengenal waktu dan situasi. Akuilah bahwa penyelesaian masalah pelecehan seksual bukan lagi perihal menjaga nama baik kampus. Selesaikanlah apa yang seharusnya diselesaikan.

Sebagai puncaknya, BLU adalah tanda pendidikan mulai merambah ke arah komersil. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 202 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum merupakan dasar adanya transisi sistem dari Satuan Kerja (Satker) menjadi BLU. Aturan tersebut diteken bersamaan dengan alihstatus IAIN ke UIN. Pelayanan BLU tidak terlepas dari penyewaan.

Aturan ini juga tertuang di SK Tarif UIN Salatiga. Menilik laporan Majalah DinamikA Edisi XXXIII, wilayah yang terkena BLU adalah penyewaan auditorium, tempat Anjungan Tunai Mandiri (ATM), sewa kantin, sewa lapangan, sewa halaman—seperti di Kampus 1 saat paguyuban kuliner, dan sewa halaman kampus 3—yang salah satunya pernah digunakan untuk Festival Indonesia Raya.

Pengadopsian sistem BLU juga dirasakan langsung oleh mahasiswa yang bertempat tinggal di Ma’had. Pembayaran bulanan yang semula Rp.100.000 dan dapat dibayar per bulannya, kini menjadi Rp.200.000 dan dibayarkan langsung di muka dengan nominal Rp.2.400.000.

Meskipun lonjakan pembayaran itu terjadi begitu cepat, penghuni Ma’had mengakui bahwa kebijakan baru dari BLU ini memudahkan santri dalam pemanfaatan fasilitas. Namun, sebagai mahasiswa, kita tetap harus kritis dalam melihat dinamika pendidikan hari ini. Apakah UIN Salatiga nantinya menjadi kampus yang mementingkan core values atau semata-mata hanya demi corporate values? Ditambah, Rencana dan Strategi (Renstra) UIN Salatiga tahun 2022-2024 akan diperbarui lagi di periode kedua Anda.

Saya, mewakili seluruh mahasiswa UIN Salatiga, menyatakan bahwa Anda harus merakyat terhadap para mahasiswa. Jabatan hanyalah jabatan. Jadilah sosok egaliter bagi kami di kalangan mahasiswa. Ingatlah, Anda adalah seorang intelektual, bukan birokrat yang berkecenderungan anti-kritik. Apabila tulisan ini menyinggung perasaan Anda, balaslah dengan tulisan, bukan ancaman. Saya meyakini, Anda adalah intelektual yang hormat—bukan alergi—terhadap kritik dan masukan.

2 thoughts on “Zakiyuddin Vs Zakiyuddin

  1. Mengutip kata konfusius bahwa manusia adalah makhluk dinamis, nampaknya harus dimaknai dengan sudut pandang positif dan negatif.
    Mahasiswa terus tumbuh berkembang, dan berubah (jika belajar) menjadi makhluk terpelajar. Rektor akan terus tumbuh dan berkembang (dengan jabatan dan kepentingannya), menjadi makhluk yang begitulah.
    Menyebutkannya saja malas, karena akan terbaca tidak pantas, setidak pantas jabatan banyak digenggam orang yang tidak tepat.
    Upsi

  2. Anda tidak mewakili seluruh mahasiswa UIN Salatiga, karena nyatanya saya tidak merasa diwakili oleh anda. Memang betul bahwa semakin terang cahaya maka semakin gelap bayangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *