Sosok David Velasco, editor Artforum yang dipecat setelah menerbitkan surat terbuka berisi kecaman atas genosida rakyat Palestina. (Sumber Foto: artandobject.com)
Oleh: Free Palestine Network/Kontributor
“Haruskah seni berpihak? Itu seperti pertanyaan: apakah api itu panas? Atau, apa air itu basah?” kata Didot Klasta—aktivis seni dan politik Salatiga—di sebuah forum diskusi (6/8).
Diskusi Free Palestine Network (FPN) minggu lalu, mengangkat topik tentang keterpihakan seni dan kepentingan-kepentingan yang melingkupinya. Tema ini diangkat sebagai respon atas rencana ditampilkannya karya Marina Abramovic, seorang artis konseptual dan pertunjukan (pro-zionis) di Indonesia Bertutur. Indonesia Bertutur sendiri merupakan sebuah gelaran yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai sarana untuk menjelajahi cagar budaya dan warisan budaya tak benda. Perhelatan ini diselenggarakan di Bali pada 7-18 Agustus 2024. Tentunya, Indonesia Bertutur tahun ini mengundang pertanyaan: mengapa Marina Abramovic yang pro-zionis diundang? Sebagai seorang artis yang pro-zionis, apakah tidak sebaiknya diboikot?
Gus Didot—begitu dia biasa disapa—berpendapat Abramovic berada di tengah-tengah. Pada satu sisi, dia pro Israel, namun di sisi lain, institutnya—Marina Abramovic Institute—menganut pro humanitas. Hal ini senada dengan apa yang tertulis dalam tagline institutnya: “mendorong kolaborasi antara seni, pengetahuan dan humanitas.”
Melihat dari beberapa intervensinya pada isu-isu besar, Abramovic menunjukkan bahwa dia anti perang. Bahkan, Abramovic melawan invasi Russia terhadap Ukraina. Dia menggambarkan mereka sebagai orang yang “kuat” dan “terhormat.”
“Serangan terhadap Ukraina adalah serangan terhadap kita. Serangan terhadap humanitas dan harus dihentikan.” –Abramovic.
Lain halnya dengan intervensi Abramovic dalam konflik Israel dan Palestina, dirinya memutuskan pro Israel. Hal itu terlihat saat Abramovic bersama beberapa artis lainnya dan pemilik galeri seni, menulis sebuah surat terbuka. Surat terbuka tersebut berisi sanggahan kepada surat terbuka David Velasco—editor Artforum, yang merupakan sebuah majalah seni dan website bulanan internasional atas genosida Israel terhadap rakyat Palestina.
Velasco, dalam surat terbukanya yang dimuat di website seni tersebut, menyerukan agar gencatan senjata segera terjadi dan menghentikan genosida rakyat Palestina. Alih-alih mendukung surat terbuka ini, penerbit majalah malah memecat Velasco pada 26 Oktober 2023, setelah dia menolak untuk membuat media release dan meminta maaf atas surat terbuka yang dia tulis. Surat terbuka ini mengundang beberapa surat sanggahan—yang salah satunya ditandatangani oleh Abramovic.
Dalam surat sanggahan atas surat terbuka yang pertama, Abramovic mengaburkan siapa sebenarnya pelaku kejahatan genosida. Surat tanggapan ini menyerukan empati dan persatuan untuk semua masyarakat sipil yang tidak berdosa. Dalam hal ini, masyarakat sipil dari kedua pihak, baik itu dari Israel atau Palestina—yang menurutnya terkena dampak atas aksi kejam yang dilakukan oleh Hamas pada 7 Oktober 2023.
Surat sanggahan tersebut jelas menunjukkan bahwa Abramovic berpihak pada Israel—pelaku genosida—yang sekarang telah membunuh 39.700 penduduk Palestina dan melukai 91.722 rakyat Palestina lainnya. Pengaburan tentang pelaku kejahatan genosida dan seruan berempati pada masyarakat sipil yang menjadi korban atas serangan Hamas, memberikan pemahaman bahwa rakyat Palestina nilainya rendah (non-peopled) dibandingkan dengan rakyat Ukraina, yang nilainya sama seperti Abramovic.
Surat sanggahan yang ditandatangani oleh para artis ini menunjukkan ketergantungan mereka terhadap para kolektor seni dan pemilik galeri—yang mayoritas pro Israel. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pembatalan sponsor ke majalah Artforum usai surat Velasco terbit. Surat sanggahan ini juga berfungsi sebagai alat penekan kepada para artis, agar tidak bersimpati terhadap perjuangan rakyat Palestina dalam mendapatkan kemerdekaan.
Polemik akan keberpihakan seni juga pernah terjadi di Indonesia. Sebagai pemantik diskusi, Gus Didot mengajak peserta kembali ke era awal 1960-an—saat konsep seni realis-sosialis yang diusung oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), mendapatkan tantangan dari kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung konsep sastra universal. Pada sastra universal sendiri menganut paham keindahan seni/kesusastraan terlepas dari realitas sosial. Polemik ini dilatarbelakangi perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet (Rusia), sekaligus pertarungan ide besar antara kapitalisme dan komunisme.
Peristiwa dikudetanya Soekarno—yang pro blok Uni Soviet—pada tahun 1965 oleh Suharto—yang pro Amerika—secara merangkak, berakhir dengan dihancurkannya Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibatnya, ribuan aktivis kebudayaan nasionalis dan kiri yang tergabung dalam Lekra, dibuang ke Pulau Buru. Saat ini, pengaruh kelompok Manikebu semakin kuat di Indonesia. Sementara itu, sastra universal menjadi hegemoni literasi dan kebudayaan Indonesia sejak 1966 sampai sekarang.
Menurut Wijaya Herlambang, penulis Kekerasan Budaya pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, fungsi kebudayaan pasca dihancurkannya PKI adalah untuk melegitimasi pembantaian para anggota beserta simpatisan PKI dan nasional kiri. Para anggota Manikebu melakukan hal tersebut dengan mempromosikan ide-ide anti komunis, baik itu lewat sastra, film, dan seni lainnya.
Dampak dari kekerasan budaya dapat dirasakan di Indonesia hingga saat ini. Dalam sebuah wawancara, Herlambang mengatakan bahwa kekerasan budaya mengakibatkan anti-komunisme masih menjadi mainstream discourse dalam masyarakat. Hal tersebut juga berpengaruh pada seni di Indonesia, yang digiring untuk mengekalkan kekerasan budaya.
Referensi: