Abad 21 ditandai semakin kukuhnya filsafat hidup positivisme-materialisme dan gaya hidup ekonomi-kapitalistik. Artinya, tingkah laku manusia memiliki kecenderungan memperoleh kekayaan material semaksimal mungkin. Demi membuat ambisinya terealisasi, setiap individu rela menghalalkan segala cara. Hal ini mengakibatkan marak terjadi krisis moral dan krisis kejujuran di negeri ini. Krisis moral contohnya gaya hidup hedonisme yang tanpa disadari banyak terjadi di lingkungan kaum terpelajar.
Dampak positif dan negatif tentu tak dapat terlepas dari masalah ini. Gaya hidup hedonisme, misalnya. Gaya hidup ini telah ada sejak ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Meskipun dalam perkembangannya, terdapat pula efek positif dari gaya hidup hedonisme. Tetapi, gaya hidup ini tentu dipengaruhi oleh individu yang mengaplikasikannya.
Kata hedonisme diambil dari bahasa Yunani yaitu hedonismos dari akar kata hedone, artinya kesenangan (Napel, 2009: 158). Paham ini berusaha menjelaskan apa yang memuaskan kenginan manusia dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu sendiri. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan (Suseno, 1987: 114). Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia (Bagus, 2000: 282). Biasanya, budaya hedonisme ditandai dengan konsumerisme yang meningkat.
Gaya hidup hedonisme kini mulai merebak hingga di kalangan pelajar. Bahkan gaya hidup ini seakan membudaya di wilayah perkotaan di Indonesia. Salah satu contoh, berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik, tercatat selama 5 tahun sejak 2007 hingga 2017 (Januari) penjualan kendaraan bermotor meningkat hingga 200%. Pada tahun 2007, penjualan kendaraan bermotor hanya menyentuh 4,5 juta unit, sedangkan pada Januari 2017, telah tercatat sebanyak 2,1 juta unit terjual. Gaya hidup ini semakin terlihat dari tim peneliti Kepolisian Republik Indonesia, sebanyak 43% dari 100 orang anak usia dibawah umur, sudah diperbolehkan mengendarai kendaraan bermotor. Sebagian besar sumber yang diteliti mengatakan bahwa menggunakan kendaraan bermotor merupakan pemenuhan atas gensi penggunanya.
Munculnya hedonisme di kalangan pelajar juga dipengaruhi oleh arus media yang tidak terkendali. Tayangan di televisi yang selalu menampakkan kehidupan dengan gaya hidup tinggi, sedikit banyak memengaruhi psikologi remaja usia belajar. Hasil penelitian Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah tahun 2016, lebih dari 12 sinetron di Indonesia tidak layak ditonton oleh kalangan pelajar. Efek dari sinetron tersebut salah satunya adalah mempertontonkan gaya hidup mewah kepada remaja usia pelajar dan mempengaruhi mereka untuk mengikuti hal tersebut.
Menanggapi krisis moral diatas maka perlu pendidikan berbasis karakter sebagai solusi dalam pemenuhannya. Pendidikan karakter dalam Islam dapat dipahami sebagai bentuk penanaman kecerdasan anak dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Hal ini merupakan penyesuaian terhadap jatidiri dan perwujudan interaksi sifat ketuhanan yang tersimpan dalam naluri manusia. Interaksi sifat ketuhanan dalam diri manusia juga berimbas terhadap terbentuknya hubungan baik antar sesama, lingkungan, dan makhuk lain. Tujuan pendidikan karakter adalah menjadikan anak didik sebagai hamba dan khalifah Allah yang berkualitas taqwa. Kualitas taqwa meliputi semua bidang mulai dari keyakinan hidup, ibadah, moralitas, aktifitas interaksi sosial, cara berfikir hingga gaya hidup. Pendidikan karakter dapat merefleksikan tingkah laku kaum pelajar seberapa jauh pola hidupnya sehingga dapat menjadi tolak ukur untuk menanggulangi gaya hidup hedonisme. Semakin bagus pola pendidikan karakter maka akan semakin kecil terjadinya gaya hidup hedonisme di lingkungan masyarakat.
Penulis: Anisa Septiana (Bendahara Umum LPM DinamikA 2017)
Masyaallah, bagus sekali artikelnya. Alhamdulillah saya di Gontor yang model pendidikannya adalah pendidikan karakter dan akhlak. Di gontor sampai tidak terlihat mana anak menteri dan mana anak petani, maksudnya adalah identitas sama sekali tidak menjadi pembeda. Tolak ukurnya hanya satu “Ketaqwaan”, seperti yg tertulis dlm Al-Qur’an bahwa yg membedakan manusi hanyal ketaqwaannya. derajatnya semua sama, “Penuntut Ilmu”, yang derajatnya, keselamatannya Allah yang menjamin. sesuai dengan upayanya dalam menuntut ilmu, bukan karena nasabnya, kedudukan orang tuanya. tanpa melihat siapa orangnya, kami saling membantu, menyemangati dalam kesulitan, agar dapat menjadi alumni yang bermanfaat bagi umat.
masyaallah, bacaan yang sangat bermanfaat sekali
Artikel yang sangat menarik, sangat berterima kasih telah berbagi. IDProperti.com | Pasang Iklan Properti Gratis
Artikel ini adalah contoh luar biasa dari penulisan berkualitas. Kedalaman analisis dan cara Anda menjelaskan informasi membuat bacaan ini sangat menarik dan bermanfaat. Saya merasa lebih berpengetahuan setelah membaca ini. Terima kasih telah membagikan konten yang begitu informatif. Hormat kami, Pasang Iklan Properti Gratis