Figur Sinoeng Noegroho, mantan PJ Wali Kota Salatiga yang maju dalam Pilwalkot Salatiga 2024 (Sumber Foto: Gatra.com)
Klikdinamika.com–Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia akan digelar secara serentak pada 27 November 2024. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah, dengan rincian: 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Kota Salatiga termasuk dalam salah satu penyelenggara gelaran pesta demokrasi daerah tersebut. Klikdinamika.com berkesempatan wawancarai salah satu Calon Wali Kota Salatiga Sinoeng Noegroho Racmadi pada Minggu (22/9/2024) di kediamannya.
Bagaimana Bapak melihat penyelenggaraan sektor pendidikan yang inklusif dan sektor kesehatan di Kota Salatiga hari ini? Lalu, bagaimana pandangan ke depan terkait sektor tersebut?
Ya, tentu pendidikan inklusif itu adalah pendidikan yang mengikuti kondisi seiring dengan peradaban manusia. Kesetaraan adalah kunci, perlakuan yang adil dan sama adalah marwah atau ruhnya. Oleh karena itu, dalam konteks seperti ini, kami memiliki komitmen untuk menerjemahkan itu di dalam pembangunan karakter.
Sehingga di dalam visi kami, kami masukkan antara lain di dalam visi tertulis tiga hal: yang adil berkarakter, berdaya saing global, dan berbasis budaya. Maka, komitmen kami terhadap dunia pendidikan ini bukan hanya berpihak terhadap anak peserta didik saja, tetapi juga menjadi bagian dari pengajar atau pendidik itu sendiri–-termasuk sekolahnya sebagai sebuah institusi. Kesimpulannya, dunia pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Orang tua murid, pemerintah daerah, guru, dan murid itu sendiri menjadi satu kesatuan entitas yang tidak bisa dipisahkan.
Bagaimana komitmen Bapak mengenai kolaborasi antara universitas dengan pemerintah kota dalam pemberdayaan masyarakat? Apa upaya konkretnya?
Satu kata untuk mewakili jawaban itu adalah inisiatif. Inisiatif bisa datang dari universitas, lembaga organisasi kemasyarakatan, atau dari pemerintah. Maka, ketika kami nanti dipercaya memperdalam itu, inisiatif itu akan saya ambil.
Peran universitas harus menjadi salah satu pilar peningkatan peradaban manusia. Maka, kalau sebuah karya ilmiah, apakah itu tesis disertasi, boleh enggak kalau ditulis begini, tesis atau disertasi ini bukan hanya disusun untuk memenuhi syarat kelulusan S2, S3, tapi diganti untuk ‘kemaslahatan umat’.
Maksud saya, ini akan menjadi bahan rujukan dalam pengembangan masyarakat. Jadi, kalau ada permasalahan di masyarakat, kami mudah untuk mengidentifikasikan dan dapat menangani melalui hasil tiap-tiap hasil disertasi. Sehingga, hasil-hasil disertasi dan penelitian lainnya dapat dipraktikkan secara langsung, perihal dana nanti dari saya. Maka, inisiatif komunikasi itu adalah kunci.
Hasil temuan kami di lapangan dan beberapa keluhan dari masyarakat, permasalahan pengelolaan sampah serta kapasitas TPA Ngronggo jadi permasalahan krusial. Bagaimana komitmen Bapak mengenai permasalahan tersebut?
Ya, salah satu hal yang saya tawarkan adalah penerapan teknologi tinggi. Itu tentunya membutuhkan investasi. Dalam konteks ini, tidak mungkin mengandalkan peran APBN, harus menerapkan kerja sama dengan pihak swasta. Alhamdulillah, kami sudah banyak berdiskusi dengan para pelaku, terhadap orang yang consent terhadap masalah sampah dan juga para investor yang mau menanamkan modalnya di dalam pengelolaan sampah dan teknologi.
Teknologi tinggi di Kota Jelegon, Banyumas, sebagai contoh penerapannya. Teknologi itu bisa diterapkan apabila kapasitas sampah satu kota, minimal satu hari itu satu ton. Nah, Ngronggo itu kapasitas sampahnya 9,4 ton. Sehingga memenuhi syarat untuk bisa diterapkan teknologi ini.
Menurut Bapak, bagaimana tentang kesadaran literasi? Lalu, bagaimana upaya Bapak dalam peningkatan kesadaran tersebut?
Penting, betul. Perlu diketahui bahwa indeks literasi publik yang dilakukan oleh pemerintah itu sudah maksimal. Tetapi indeks literasi masyarakat rendah.
Jadi, fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, lembaga pendidikan, institusi pemerintah terhadap fasilitas baca itu sudah cukup. Bahkan lebih standar. Tetapi indeks keberminatan membaca itu yang kurang. Nah, PR kita hari ini dan lima tahun ke depan adalah meningkatkan minat baca masyarakat.
Di Kota Salatiga mulai menjamur bisnis hunian properti, namun beberapa tempat mulai melahap lahan hijau sehingga kesediaan lahan hijau berkurang. Bagaimana komitmen Bapak melihat permasalahan tersebut?
Kepatuhan terhadap tata ruang kota. Kepatuhan dan ketegasan kita untuk menegakkan aturan tentang tata ruang kota dan bukan tata uang. Maka, dalam konteks ini, integritas di dalam berpemerintah untuk memberikan izin baru terhadap pendirian properti maupun real estate harus diberikan.
Kecuali kalau memang ada lahan-lahan yang memang sudah dibebaskan dari lahan hijau menjadi lahan perumahan atau pemukiman, silakan. Tapi, sepanjang itu menjadi lahan hijau, harus betul-betul diterapkan.
Lalu, terkait ketersediaan air di perkotaan, terutama di daerah-daerah yang sempit seperti belakang Pasar Raya, bagaimana pemerintah kota menjaga ketersediaan air baku?
Tentu kita melakukan beberapa tingkat perbaikan drainase, terutama saluran air. Pencegahan banjir menjadi salah satu hal pokok yang ada di masyarakat dengan lahan yang sangat sempit, yaitu membuka semacam ruang-ruang serapan air, di beberapa tempat itu sudah ada, tinggal diperbaiki dan dirawat. Sementara untuk kebutuhan air baku, fasilitas air bersih adalah membuka saluran-saluran pelayanan kapasitas PDAM.
Mengenai pembangunan proyek daerah yang mangkrak, seperti Gedung Olahraga yang terbengkalai di samping Stadion Kridanggo dan Taman Wisata Religi, bagaimana Bapak menanggapi hal tersebut?
Mengenai Gedung Olahraga Kridanggo
Yang jelas, itu secara teknik harus dibuat berita acara seorang konsultan. Sebagai orang yang bukan berlatarbelakang teknik, melihat kondisi seperti itu, tidak ada kata lain: harus dirobohkan. Tapi, untuk merobohkan itu harus ada berita acara, tinjauan teknis dulu yang mengatakan ini tidak layak. Baru setelah itu, akan kami revitalisasi menjadi sebuah gedung yang bermanfaat bagi masyarakat, yang nanti kami arahkan bagi kemaslahatan masyarakat kota.
Mengenai Taman Wisata Religi
Persis, itu menjadi salah satu bagian dari program obsesi kami untuk 5 tahun ke depan–Taman Wisata Religi maupun Taman Wisata Sejarah. Kapasitas keuangan Pemda tidak memungkinkan untuk melakukan itu. Maka, harapan kami berdua–dengan Pak Beri Santoso–kami akan memasukkan dan mengusulkan itu ke dalam program strategi nasional pemerintah pusat.
Jika itu tidak bisa, maka kami ingin menawarkan itu kepada investor untuk menyelesaikan pembangunannya. Untuk Taman Wisata Religi dibutuhkan dana kurang lebih 200 miliar, sementara Taman Wisata Sejarah kurang lebih juga sama. Maka dari itu, tidak mungkin pengelolaan Taman Wisata Sejarah itu dikelola oleh dinas.
Mengapa Bapak selalu berpikir soal investor?
Tidak ada kata lain, karena kapasitas kelolaan daerah kita unik. Sementara, kebutuhan, sarana-prasarannya sudah ada. Apakah itu tidak menyalahi aturan? Justru itu diatur di dalam regulasi yang disebut dengan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2016, tentang build over transfer atau tata kelola kerja sama dengan swasta.
Jadi, swasta menginvestasikan terhadap sebuah sarana-prasarana milik pemerintah, tapi diberikan hak tata kelola 5 tahun atau 10 tahun, sesuai dengan regulasinya. Swasta di dalam mengelola itu, tentu berpikir profit, pasti. Tetapi paling tidak, pemerintah mendapatkan fasilitas infrastruktur masyarakat yang lebih baik, yang terawat, bisa digunakan, tapi kita tidak hilang aset.
Menyambung soal gedung olahraga tadi, bagaimana soal rencana pembangunan Gedung Serba Guna (GSG)?
Kenapa tidak? Tapi ini diruntuhkan dulu, ditawarkan dulu, yang mau membangun siapa dulu? Kalau bilang dibangunkan pemerintah, itu cukup besar untuk uangnya. Pemerintah harus mengambil keputusan yang tidak popular. Kalau diberdayakan, saya setuju. Pertanyaannya: bagaimana kia bisa mengeksekusi itu dengan membutuhkan 30-40 m untuk jadi gedung serbaguna?
Kalau terpaku pada APBD, itu tidak cukup. Kita membutuhkan kerja sama operasional swasta. Saya setuju kalau gedung itu dimanfaatkan, tapi kalau dipaksakan untuk diteruskan, saya tidak setuju.
Banyak permasalahan revitalisasi beberapa pasar di kota Salatiga, seperti pembangunan pasar di Rejosari. Pasca pembangunan, banyak kendala seperti kurang peminat dan harga sewa yang mahal. Bagaimana cara Bapak menyikapi hal tersebut?
Sudah saya turunkan, lho, tarifnya. Boleh dicek sama paguyuban. Sudah saya turunkan sebelum kembali ke provinsi, kurang lebih diturunkan 30%.
Bagaimana itu supaya bisa ramai? Tidak ada kata lain; pengizinan pemerintah untuk mengarahkan kepada event-event di sana. Tapi tolong dicek, orang yang sudah menyewa dengan harga murah tidak dibuka setiap hari, kita tidak bisa memaksakan, karena sudah dibeli dan disewakan.
Mengenai Pasar lain, seperti Pasar Jetis dan Pasar Raya, bagaimana tanggapan Bapak?
Oke, setuju. Kalau untuk Pasar Jetis, itu akan menjadi salah satu perintah bagi kami untuk revitalisasi. Tapi untuk Pasar Raya, harus dengan investor. Pasar raya I, karena itu terlalu besar. Hal-hal itu semua memang tanggung jawab pemerintah. Tapi, kalau kemudian hal-hal itu semua itu membutuhkan dana besar, sementara uang kita sedikit, kita harus melakukan langkah-langkah terobosan inovatif, yang tidak melanggar aturan. Kita tetap menegakkan integritas sebagai pelaksana pemerintah, supaya investor nyaman di sini, tidak merasa diperas. Dengan investasi dibuka di sini, itu juga akan membuka lapangan kerja.
Beberapa lahan parkir dengan setoran ke Dinas Perhubungan (Dishub) berbeda tarif di beberapa tempat. Bagaimana tanggapan Bapak soal hal tersebut?
Saya belum pernah memperoleh laporan soal itu. Tapi kalau itu yang terjadi, saya akan cek kalau saya menjadi wali kota. Mestinya, di dalam peraturan, yang namanya wilayah itu di mana pun parkir, sama. Rencana saya ke depan, saya akan membuat satu jalur pilot project memperlakukan parkir digital.
Bukan seluruh ruas parkir, tapi saya akan dicobakan pada jalur tertentu. Kalau itu efektif, akan kami pilih secara bertahap. Lalu, bagaimana dengan tukang parkir lainnya? Dia bisa diangkat menjadi operatornya. Bukan lagi tukang parkir, operator.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai infrastruktur transportasi umum yang terkoneksi antar universitas dan sekolah-sekolah di Kota Salatiga?
Itu transportasi, Trans Jateng yang hanya sampai berhenti sampai Bawen itu minta diteruskan sampai ke Tingkir, supaya bisa melewati jalur di situ. Pada waktu saya menjabat sebagai PJ Wali Kota, sudah saya usulkan kepada Gubernur Jawa Tengah lewat Dinas Perhubungan supaya diperpanjang. Alhamdulillah, tidak dijawab. Tapi, kalau nanti saya jadi Wali Kota, saya akan membayangkan soal itu.
Lagi-lagi, akan saya kerja sama dengan beberapa investor, siapa yang mau membuka jalur? Supaya layanan transportasi giat, Trans Jateng, kan, hanya satu opsi. Kalau itu tidak tembus, kita mau berhenti? Enggak. Kita harus cari opsi lain.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai situasi sosial politik hari ini? mengenai isu koalisi gemuk dan bagaimana Bapak menanggapi politik oposisi penting dalam tatanan birokrasi yang demokratis?
Sangat setuju. Karena check and balances itu adalah bagian dari nilai demokrasi. Bahwa koalisi gemuk atau tidak gemuk itu tergantung kepada manajemen efektivitas dari seorang pemimpin. Kalau pemimpin itu melakukan manajemen yang sangat efektif akan berlangsung efektif.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai Kota Salatiga sebagai Kota Toleransi? Apakah hanya sebagai legitimasi jargon belaka dan beruju profit? Atau toleransi sebagai pembangunan sumber daya manusia yang majemuk?
Melihat itu harus secara proporsional, dan pentingnya keberlanjutan upaya kita, supaya tidak berhenti kepada reward atau awarding saja. Kita menjaga dan merawat kota toleransi bukan karena kita ingin dapat penghargaan, tetapi bagaimana kita meletakkan perlakuan manusia secara setara tanpa perbedaan. Penanaman nilai-nilai toleransi dan kondisi existing bahwa kita hidup dalam keberagaman harus dimulai sejak dini.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai isu kesejahteraan sektor pekerja buruh dan permasalahan UMR-nya? Bagaimana komitmen bapak atas itu?
Tentu kepatuhan kita terhadap regulasi. Regulasi dari Menteri Tenaga Kerja sudah bagus. Mempertimbangkan faktor pertumbuhan ekonomi, meningkatkan faktor inflasi, mempertimbangkan faktor biaya hidup, dan mempertimbangkan faktor kondisi daerah. Itu semua dibahas antara perwakilan guru, perwakilan pengusaha, dan perwakilan pemerintah. Saya kira prasangka itu masih rendah.
Jangan hanya meletupkan prasangka, tapi harus berbasis data dan informasi yang akurat. Penetapan UMR, terutama di Kota Salatiga, selama ini berdasarkan pengalaman saya menjabat sebagai PJ Wali Kota di sini, itu dilakukan dengan sangat cermat dan melibatkan semua pihak. Perhitungan-perhitungan itu bukan berdasarkan pada prasangka, bukan berdasarkan pada asumsi, tapi pada analisis data. (Tim Liputan Khusus “Menggugat Walikota Salatiga”/red)