Voice of Myanmar (IISY)

Taman bermain IISY
Taman bermain IISY

Indonesian International Schol Yangon (IISY) adalah satu-satunya sekolah Indonesia di luar negeri yang berstatus internasional. Sehingga, murid-muridnya banyak juga yang non Indonesia. Murid Indonesia hanya sekitar 20 % dari 500 siswa yang terdiri dari TK, SD, SMP, dan SMA. Untuk itulah, bahasa sehari-hari yang dipakai adalah Bahasa Inggris. 
Hal tersebut tentu sudah kami ketahui jauh-jauh hari, sehingga kami dapat mempersiapkan mental sebaik-baiknya. Namun, hal yang begitu mengejutkan adalah dialek yang digunakan masing-masing negara asal berbeda. Salah satu orang Myanmar contohnya, mengucapkan Colour jadi Kala. Rasanya aku hampir stres tiap berbicara dengan mereka. Padahal, yang di sekolah ini tidak hanya orang Myanmar, tapi banyak juga dari negara tetangga. Hal tersebut kadang menjadi lucu ketika kami terlibat dalam conversation dan ujung-ujungnya misunderstanding. Kan nggak asik!
Minggu pertama, kami observasi di beberapa kelas. Di sini ada yang namanya moving class, mereka terkadang menjadi satu kelas dalam grade (kelas) yang sama, namun ada juga kelas yang berbeda. Contohnya grade 1, untuk pelajaran Matematika bisa jadi satu kelas. Namun, untuk agama, ia akan bergabung dengan grade 2 ataupun grade 3. Agak membingungkan memang, tapi ya sekolah harus realistis juga ketika menerima murid yang non Indonesia dan kebanyakan non muslim. Nggak mungkin ‘kan mereka mempelajari agama orang lain?
Hal ini mengingatkanku dengan PKKI, program yang 3 tahun ini telah kuikuti. Dulu kami merasa bersemangat sekali menyongsong masa depan dengan slogan go international. Lama-lama kami nglokro karena sistem kredit semester (SKS) yang harus diambil overload, maksimal 40 SKS/semester. Waktu pribadi dan organisasi berkurang, tugas menumpuk dan harus diselesaikan, belum lagi beban mental dengan mindset mereka yang katanya anak PKKI itu smart abis.
Kehidupan mahasiswa PKKI serasa tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Mereka yang stay dari jam 07.55-15.00 setiap hari menghadapi perbedaan yang jelas. Moving class sudah biasa mereka jalani sehingga hanya tersisa sedikit murid dalam satu kelas. Lingkungan? Tentu mereka tidak banyak yang merasakan bagaimana indahnya bermain dengan mainan tradisional, mempunyai tetangga yang bisa bercanda dengan bahasa daerah, atau jajanan khas anak-anak sekolah.
Tapi kukira itu sebanding dengan full day english yang mereka dapatkan serta bagaimana cara bersikap dan bergaul di ranah internasional. Bersyukurlah bahwa anak bangsa yang tinggal di sini mendapatkan itu semua di IISY. Selain bahasa inggris, mereka tentu mempelajari bahasa Indonesia dan budaya.
Untuk murid non Indonesia, juga diwajibkan belajar bahasa kita. Kami mengetahuinya ketika observasi di kelas Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Meskipun terlihat pelajaran yang ringan, tapi bahasa pengantarnya itu hlo yang mengerikan. Murid-muridnya juga tak kalah mengerikan, membuat kami bertiga ingin tertawa dan menangis bersamaan.
Waktu itu temanya adalah family. Bu Septina memberi tugas kelompok dengan metode role play (bermain peran). Dalam satu kelompok itu, masing-masing murid harus berperan menjadi anggota keluarga.
“Kamu menjadi siapa?” tanyaku kepada murid Myanmar yang dari tadi bicara terus.
“Aku anak laki-laki, ini teman laki-laki saya.”
Spontan aku tertawa, kamu memang anak laki-laki, nak! Saya juga tahu itu. Teman-temannya ikut tertawa. Seolah-olah kami adalah bagian yang telah bertahun-tahun bersama. So sweet ya?
Tentang budaya, tidak usah mengkhawatirkannya. Ada Pak Joko, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) yang kece badai. Mulai dari belajar gamelan, nembang, nari, sampai koreografi beliau masternya. Jadwalnya padat banget seperti lalulintas Jakarta yang tidak ada jedanya.
Pernah juga kami diminta mengajar kelas seni budaya oleh Pak Joko dengan materi gamelan. Karena tahunya Pak Joko, selain capable in english kami juga dibekali dengan pengetahuan kebudayaan. Maka dari itu, kami benar-benar tidak bisa menolak tawaran tersebut. Beruntungnya, kelas itu hanya 1 period (40 menit) dan itu cukup membuat Pak Joko harus memberikan materi kepada anak-anak tanpa ba-bi-bu. Implikasinya? Ya, cukup membuat kami duduk manis di pojok depan kelas sambil mangap-mangap karena takjub sangat.
Sungguh beliau tak bisa dibandingkan dengan kita yang hanya mempelajari gamelan selama satu semester. Dan selama satu semester itu baru kita rasakan semester yang penting. Namun, apa dayalah, namanya juga nafsu anak kuliahan. Jadi, kalau belajar sesuatu (apalagi budaya) janganlah setengah-setengah. Biar kalau mau dipamerin ke luar negeri nggak nanggung karena di sini respect banget yang namanya budaya. Belakangan ini aku mendengar dari Bu Septina kalau mau jadi guru di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) harus punya ability di bidang budaya. Kalau kita nggak bisa apa-apa (di bidang budaya) langsung nggak lulus seleksilah, begitu katanya. Nah loh!
Awalnya kami terheran-heran dengan anak-anak IISY yang rempong setiap berangkat sekolah. Di punggung mereka menggendong tas, tangan kanan membawa payung, dan tangan kiri menjinjing keranjang makanan. Sekarang adalah agustus, itu artinya sedang musim hujan di Myanmar. Dan itu juga mempunyai pesan instant bahwa kemana-mana harus sedia payung. Karena musim hujannya sini dan Indonesia agak berbeda maka kami juga ikut-ikutan budaya membawa payung kemana-mana.
Untuk bekal makanan, kukira kalian juga sudah faham ‘kan? Ya, sistem full day school membuat murid-murid IISY membawa bekal makanan ke sekolah. Meskipun sudah disediakan kantin, tapi mereka tetap membawa makanan dari rumah. Bahkan, di koridor-koridor sekolah banyak juga wastafel dan tempat makan. Sungguh kinerja dua pihak yang apik.

tempat makan
tempat makan

IISY mempunyai jadwal sekolah dari hari senin sampai jum’at (hanya setengah hari). Setiap hari memakai seragam sekolah, kecuali hari jum’at yang diperkenankan memakai baju tradisional. Tentu aku sendiri merasa geli ketika melihat beberapa murid yang memakai hem putih dan dipadukan dengan sarung dalam kegiatan belajar mengajar. Mau jum’atan ya mas? Senyumku dalam hati.

(D1418/Red_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *