H-100 Go to Myanmar (Evisa)

IMG20160809114021

Evisa

Semangat selfie di Myanmar.

Sungguh nama grup Whattsapp yang aneh plus alay. Seperti anggota grupnya: aku, Nabila, dan Indana. Di sini kami membahas banyak isu yang gak penting maupun yang gak penting banget. Namun, yang aku lebih dari suka kita saling menyemangati tanpa merasa lebih dari yang lainnya.

 

                Gengs, aku udah mulai intensif sama Bu Rini.

                Ini baru seminggu setelah lebaran. Kata-kata intensif menunjukkan ada hal yang harus segera diurusi.

                Kenapa, punya anak lagi?

              Iya, kucingnya yang punya anak.

 

Aku ngakak. Sepertinya kami salah asuhan.

 

          Serius, beh…

          What happen, dear?

          Mau kabar baik apa kabar buruk dulu?

          Menurutmu?

          Aku menurut sama kamu.

         Yaelah!!! Nggak kuat ah.

Ahaha. Gini ya, kabar baiknya kita bakalan tinggal di Compound for free, gratis!

Yeiy! Kan emang gratis kan?

Hehe. Kabar buruknya, kita harus buat Visa.

Loh!

Loh! (2)

Loh! (3)

 

Jemariku gemetar. Kata-kata Visa sukses membuat impian Myanmar yang nyaris sempurna itu tercoreng di satu sisinya.

 

Kita kaan cuma 28 hari?

Itu regulasi baru, beh! Baru awal juli kemarin.

Habis berapa?

Sekitar USD 70.000 atau kalau dibulatkan sekitar 1 juta.

 

Hening.

Aku hanya seorang mahasiswi yang tak ingin terlalu membebani orang tua. Kebutuhan mereka banyak, begitu juga dengan kebutuhan adik-adikku. Untuk itu, aku rela memberi les privat setiap sore sepulang kuliah, ketika kondisi badanku yang sedang capek-capeknya. Belum lagi tugas yang membuatku harus begadang hingga tengah malam.

Hasil dari les privat itu alhamdulillah sih cukup kalau untuk kehidupan sehari-hari. Yah, namanya juga ngajar. Sesuatu yang tidak kasat mata sebenarnya. Jadi, tidak perlu juga aku terlalu berharap pada hal itu.

Untuk tiket pesawat, jelas aku sudah minta pada orang tua. Untuk uang saku besok, pastinya ya minta lagi ke orang tua. Sekarang ada juga biaya visa? Dan aku hampir melupakan registrasi!

 

Gengs?

Aku nggak enak minta ke ortu lagi, beh.

Belum lagi bayar registrasi.

Registrasi semester 7, kapan?

Besok senin kan?

Lengkaplah sudah.

Ya, gimana aku juga ga enak sama ibukku. Habis minta hape baru lagih.

Ah, kamu mah masih punya uang yang di ATM mu itu, beh!

 

Waktu itu, kami bertiga sudah fix mau booking tiket di sebuah agen travel yang deket Kodim itu. Nah, segeralah aku sama Nabila ngambil uang di ATM. Karena bank kita berbeda maka Nabila terpaksa mengambil uang di dekat Pasaraya.

Setelah sekian lama menanti, Nabila datang dengan wajah yang kusut. Ada apa?

“ATM ku nggak bisa dibuka. Udah tiga kali masukin PIN dan sekarang keblokir.”

Itu adalah jum’at siang menjelang sore, pertengahan ramadan. Sebenarnya aku ada acara Ngaji Jurnalistik yang narasumbernya Kang Abik, tapi demi booking tiket akhirnya pun kubatalkan.

“Yaudah, diurus ke bank nya aja. Kamu bawa buku rekening ‘kan?”

“Buku rekeningnya di rumah.”

Akhirnya kami memutuskan untuk menunda booking tiket hari itu. Nabila pulang mengurus buku rekeningnya, kemudian diberi ibunya uang cash untuk membeli tiket.

 

Aku ada ide, gimana kalau bayar visanya pake uang Nabila yang ada di ATM itu.

 

Sebuah ide parasit. Tapi sungguh, aku cuma bercanda.

 

Iya, beh. Nanti bayarnya sekalian pas kita minta uang saku. Kan nggak enak kalau minta-minta terus.

Ya udah, tak bilang ibukku dulu.

 

Singkat cerita mereka bertiga setuju, juga ibuknya Nabila yang baik hati dan sedang menjahit itu. Lalu mereka hidup bahagia selamanya.

Revisi, selama detik itu saja.

(D1418/Red_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *