Berbicara tentang jalan-jalan sungguh tak lengkap tanpa berbicara tentang kuliner. Seolah-olah jalan-jalan dan kuliner adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Dekat, dan saling memikat.
Malam ini adalah malam kedua kami di Yangon, mantan ibukota Myanmar sebelum pindah ke Nay Pyi Daw. Nay Pyi Daw sebenarnya lebih sepi dari Yangon, hal itulah yang membuatku bertanya-tanya kenapa harus juga dipindah. Kata Pak Joko, salah satu guru Indonesian Internatioanl School Yangon (IISY) itu hanya strategi politik, untuk meminimalisir para demonstran. Kalau mau demo ke Nay Pyi Daw kan harus struggle banget, udah jauh masih jarang toko makanan lagi, begitu katanya.
Namun, belakangan ini aku juga baru tahu bahwa Nay Pyi Daw gagal menjadi ibukota Myanmar lantaran pusat pemerintahan masih dipegang oleh Yangon. Yangon katanya adalah kota termaju di sini. Ya, meskipun Yangon itu masih tergolong sepi menurutku. Sebenarnya banyak juga masyarakat yang beraktivitas di siang maupun malam hari, namun karena penerangan yang kurang memadai membuat Yangon terlihat seperti kota tua di malam hari. Ditambah gedung-gedung tua di sepanjang jalannya. Termasuk Indonesian Diplomatic Compound (IDC) yang kami tinggali. IDC dibangun sekitar tahun 1995, itu berarti usia bangunannya hampir sama dengan usiaku.
Setiap keluar dar IDC, pasti tercium bau-bau aneh yang menyeruak ke hidung. Eh, ternyata di sepanjang jalan menuju IISY banyak sekali tempat makan khas Myanmar. Maksud hati sih pengin coba-coba rasanya tapi saran guru-guru di sini mending jangan. Selain belum terjamin kehalalannya, juga tidak terjamin kebersihannya. Yah, padahal sebagai traveler budiman kan pengin comot sana comot sini.
Kalau makanan pokok di sini, sepertinya sih nasi. Pasalnya, tiap lihat warung-warung makan di sepanjang jalan Baho, yang disantap memang nasi. Pertama kali kami makan nasi di sini itu pas baru sampai. Satu porsi nasi dan fried chicken harganya 2.700 Ks (Kyatt, baca: Chat) atau setara dengan Rp. 27.000. Ayamnya sih enak luarnya, dalemnya kayak nggak dikasih bumbu. Tapi, nasinya legit banget, juga lebih panjang dari nasi di Indonesia. Selain cepat kenyang, nasinya juga bikin cepet laper, jadi bikin pengen makan terus.
Di kantin IISY juga disediakan berbagai makanan yang murah dan terjamin kehalalannya. Ya, maklum sajalah wong muslim di sini jadi minoritas. Harus hati-hati sama makanan. Selain itu, di IISY menyediakan makan siang untuk semua guru. Jadi, kami tidak perlu banyak pusing-pusing untuk mencari makanan.
Untuk makanan khas Yangon, ada sebuah soto yang terbuat dari batang pisang bernama Mohinga (baca: Mohingga). Pertama kali DPL kami tahu, beliau ketawa-ketawa. ‘Ah masa gedebog pisang dimakan,’ begitu katanya. Tapi kami semua belum sempat mencicipi soto itu lantaran bulan agustus adalah bulan yang sibuk bagi para guru dan KBRI. Sehingga mereka selalu ada agenda dan belum sempat mengantar kami. Besok-besok saja, katanya.
Malam kedua, di saat tubuh masih belum fit dan masih butuh adaptasi, kami diajak mengunjungi sebuah restoran Thailand di West Shwe Gone Dine, Yangon. Mai Thai, restoran khas Thailand ini cukup ramai. Menurutku selain termasuk restoran yang halal, juga nampak berkelas. Sebenarnya, tujuan utama kami makan malam di sini adalah untuk menyambut kedatangan kepala sekolah baru yang datang dari Indonesia.
“Wah, ibu masih sangat muda sekali!” tuturnya saat jemari kami bersalaman.
Dalam hati aku ngikik, iya lah bu! Wong kami juga baru semester 7.
Karena banyaknya guru dan anak magang yang hadir, maka sesi makan malam dibagi menjadi 2 meja besar. Yang satu bagian, para guru senior dan kepala sekolah. Sisanya, ada beberapa guru serta anak magang di meja kedua. Di Mai Thai, nasi disajikan terakhir setelah Tomyang dan lauk-pauk. Untuk itu, kami harus bilang bahwa nasinya dimakan secara bersamaan. Sungguh budaya Indonesia yang patut dipertahankan ‘kan?
Sebelum makanan utama datang, kami dijamu dengan makanan pembuka yang entah namanya apa, aku sendiri lupa. Pokoknya, udang yang ditumbuk halus, digoreng dengan tepung dan rasanya itu seperti mendoan tipis yang ada unsur udangnya. Lucunya, makanan pembuka itu disajikan dengan bunga kamboja. Kebayang ‘kan, makan sama bunga!
Selain air mineral yang disiapkan pramusaji, kami juga memesan minuman yang sebagian besar berupa jus. Untuk satu gelas besar jus dibandrol dengan harga 2100 Ks, harga yang cukup lumrah di kalangan menengah atas. Lalu, kami juga diberi Tomyang (semacam sup) di mangkok kecil yang berisi seafood.
Untuk makanan utama, ada ayam pandan (khas Myanmar) yang lembut di mulut. Menurutku sih rasa pandannya nggak begitu ngaruh tapi cukuplah membuat ayamnya nggak bau ayam. Kemudian ada juga sapi lada hitam yang yahud, telur goreng yang empuk, dan ikan asam manis yang mantap. Setelah memakan makanan yang super banyak itu, kami masih diberi dessert semangkuk kecil sup jagung dan buah-buahan. Benar-benar makan malam yang mengejutkan untuk anak kos seperti kami.
Minimnya restoran halal membuat beberapa restoran tertentu menjadi rujukan bagi kami, salah satunya adalah D’ Penyetz. Restoran yang juga ada di Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam ini menyajikan aneka macam menu penyetan. Ya, serasa pulang ke tanah air yang mulai kurindukan. Namun, harganya tentu tak seramah pelayanannya. 4000 Ks untuk seporsi ayam penyet sambal balado dan 2500 Ks untuk tahu tempe penyet yang masing-masing hanya 3 potong itu. Tapi, kami maklumlah wong nongkrongnya di negeri ini.
Wajib diwaspadai juga kalau mau makan di KFC karena ayamnya tidak disembelih, tapi dipotek dan itu membuat darahnya menyumbat sehingga rasanya pun tidak enak. Ya, terlepas dari halal-haramnya tentu ada hal lain yang patut dipertimbangkan. Hal ini juga yang membuatku merasa takjub dengan the power of menyembelih. Rasa syukur sebagai minoritas di negara berkembang ini membuatku semakin mengagumi Indonesia. Keramahannya, kulinernya, udaranya, terutama orang-orang yang ada di dalamnya. Indonesia, 23 days again!
(D1418/Red_)