First Flight
AK 329, seat no. 21B, KLIA
Aku tersedak ketika mengetahui jadwal keberangkatan DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) kami yang berbeda. Beliau berjanji akan bertemu kami setibanya di Yangon nanti. Dan itu artinya apa? Kami akan melakukan penerbangan pertama ini sendiri. Sendiri dalam artian menyedihkan.
Tahap awal, pemeriksaan barang. Semua barang yang kami bawa harus diperiksa dulu. Tak hanya barang, orangnya juga sih. Jangan cupu-cupu, begitu wasiat para orang tua yang mengantarkan anak perempuannya yang akan terbang.
Di bandara Ahmad Yani, pemeriksaan barang dilakukan sekitar tiga kali. Capek juga, apalagi tiap akan diperiksa, semua barang harus dimasukkan detektor. Bisa dibayangkan kan betapa ribetnya para petualang cantik ini.
Setelah melakukan pemeriksaan barang yang cukup melelahkan, kami duduk di ruang tunggu. Di sini kami bertemu dengan sesosok manusia yang familiar di sekitar sivitas akademika kampus kami. Ya, Pak Olan, kami dipertemukan dengan Pak Olan yang ternyata satu pesawat dalam penerbangan nanti.
Meskipun di dalam ruang tunggu tidak diperbolehkan membawa cairan di atas 100 ml, jangan khawatir karena pihak bandara sudah menyediakan air minum. Bukan hanya itu, banyak juga stopkontak untuk men-charge handphone. Kamar mandi di bandara ini juga bersih, modern dan cukup wangi. Fasilitas yang memuaskan dapat menjadi pengalih perhatian dari bandara yang menurutku kecil itu.
Kecil? Ya, dibanding dengan Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA) memang tidak ada apa-apanya. Namun tetap saja ada plus minusnya, seperti toilet KLIA yang bau pesing. Meskipun begitu, KLIA mempunyai infrastruktur yang sangat bagus. Mulai dari desain arsitekturnya, fasilitas umum yang memuaskan, dan gerai-gerai yang menambah kesan glamour.
Meskipun dari landasan pesawat dimana penumpang turun sangat jauh dengan tempat pengambilan koper, kami dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas yang memadai seperti beberapa elevator di sepanjang jalan.
Untungnya, kami dibimbing Pak Olan yang sampai rela memindahkan koper-koper kami ke troli. Kami juga diajari bagaimana mengantri di bagian imigrasi, mencari tempat pengambilan koper, dan check in di KLIA. Capek itu pasti, pasalnya KLIA yang berada di daerah Sepang ini benar-benar besar. Dengan mendorong dua troli besar dan perut yang lapar, kami rehat sejenak di ruang tunggu.
Jam dinding menunjukkan pukul 14.30 waktu setempat, sekitar satu jam lebih awal dari WIB. Waktu check in kami baru dibuka sekitar pukul 17.00, sehingga mencari mushola adalah pilihan yang tepat setelah menghabiskan sebagian besar bekal yang sudah ibunya Indana siapkan.
Banyak dari petugas wanita di bandara yang memakai kerudung, kalaupun tidak, pasti bajunya tertutup. Itu membuatku sedikit trenyuh dan adem. Di tengah hiruk-pikuknya KLIA, masih juga kita menemui saudara seiman dan seagama.
Seperti yang sudah-sudah, kami menelusuri sisi-sisi KLIA. Selain mushola, toilet, tempat perawatan bayi, juga disediakan fasilitas-fasilitas untuk orang berkebutuhan khusus. Keterangan yang terpampang menggunakan beberapa bahasa dapat mempermudah para pengunjung.
Untuk mushola, dipersiapkan secara terpisah antara putra dan putri. Di dalam mushola dilengkapi tempat wudhu yang connecting dengan tempat sholat, mukena, sajadah, alqur’an, dan beberapa buku bacaan. Sungguh nikmat KLIA yang tak bisa kami dustakan. Eits, tapi ada satu yang urgent dan tidak tersedia, jadwal sholat. Aku sih maklum karena aku tidak sempat memastikan bahwa yang berurusan dengan perlengkapan mushola juga butuh sholat atau tidak. Hem, who body knows?
Bandara Internasional Yangon yang merupakan bekas lapangan terbang sisa Perang Dunia II itu juga tidak kalah mewah, karpet-karpet indah menyambut badan kami yang sudah pegal-pegal dari ujung kaki hingga ujung jilbab. Beberapa tempat lost & found point tersedia di sini meski suasananya tak seramai KLIA.
Banyak warga sekitar yang menjemput sanak saudaranya dapat kami lihat lewat kaca bening di tempat pengambilan bagasi. Hampir semua orang mengenakan sarung dengan cara memakainya yang khas, ada semacam simpul di depan. Aku berusaha sok tegar ketika melihat sosok masyarakat yang sebelumnya sudah kulihat lewat internet. Namun, sepanjang perjalanan bandara-compound kok ternyata dari sopir taxi, tukang parkir, kuli bangunan, sampai pedagang juga semuanya pakai sarung. Duh, suasannya jadi kayak mau ke pengajian aja! Dan itulah yang menyadarkanku bahwa kami benar-benar telah sampai di Myanmar.
(D1418/Red_)