Menari, Halalkah Itu?- Part I
Lagi, hal yang membuatku condong berat ke Myanmar adalah apartemen yang akan kami tinggali gratis. Dari seluruh destinasi tempat tersebut, semuanya diperkenankan menyewa apartemen yang tentunya tidak sama dengan harga sewa di Indonesia (kalau di kota besar mungkin hampir sama ya).
Nah! Dengan iming-iming itulah aku bersikukuh mempertahankan Myanmar. Kalau dihitung-hitung, akan sama saja biayanya ke Myanmar. Tiket pesawat seharga Rp. 3.985.000 (termasuk bagasi 20 Kg 4x penerbangan dan meal 1x) akan seimbang dengan tidak adanya biaya sewa apartemen.
Seimbang? Tentu saja tidak! Rasanya aku hampir nangis darah ketika mengetahui harga tiket pesawat yang lebih mahal dari uang kuliahku selama 5 semester. Awalnya sih cuma sekitar Rp. 2.700.000 eh ternyata itu belum sama bagasi, meal, sama seat. Lalu kenapa kita ngambil bagasi 20 Kg yang empat kali penerbangan sejumlah Rp.900.000 itu? begini ceritanya…
Praktik mengajar (apalagi di negeri orang) tidak serta merta bisa dilakukan dengan tangan kosong. Kita butuh laptop (ini jelas!), buku (kalau lagi khilaf sih), baju resmi, baju nari, kebaya, dan baju jalan-jalan (yang terakhir cuma addition, tapi penting banget). Tidak mungkin kesemuanya masuk ransel di kabin kan?
Untuk baju nari, bisa disesuaikan dengan masing-masing destinasi tempat. Di masing-masing destinasi, ada atau tidaknya kostum, ada tidaknya moment untuk menampilkan tarian kami, dan ada tidaknya apresiasi. Untuk masalah apresiasi, aku yakin-yakin saja bahwa konsep mengajar dan memperkenalkan budaya tradisional itu adalah hal yang menyenangkan.
Menari. Hal tersebut sudah diwanti-wanti dari semester satu untuk masing-masing angkatan agar mempunyai tari identitas. Awalnya, kami dikhususkan untuk membawakan tari tradisional jawa sebagai representasi lingkungan kami tinggal. Namun, setelah kami mendapat mata kuliah Traditional dance nusantara, ternyata kami juga harus mampu membawakan tarian dari daerah lainnya.
Sampai detik ini, ketika aku menuliskan sebuah catatan perjalanan (yang tidak menginspirasi), aku masih menyimpan konflik batin dengan yang namanya menari. Iya, menari! Bahayanya melenggak-lenggokkan tubuh yang kerap menghantuiku sebagai calon wanita sholihah. What, sholihah?
Semua berawal dari jambore tingkat kecamatan. Dalam kegiatan tersebut, ada sebuah pentas seni yang harus kami sajikan. Menyanyi? Kami cukup tahu diri bahwa satu regu tidak ada suaranya yang lumayan. Stand up comedy? Aah, ketika itu, (aku masih MTs) belum begitu ngetrend. Dan jatuhlah keputusan kami pada : menari!
Hujan tak turun hanya setitik air saja, begitupun dengan persoalan pentas seni. Ketika kami memutuskan untuk mempersembahkan sebuah tarian, tidak ada dari regu kami yang mau mewakili. Oh Tuhan, inikah suratan? Aku yang sebagai ketua regu (ini terpaksa ya karena waktu itu lagi ngetrend-ngetrendnya virus H5N1 dan semua teman-temanku terserang virus itu secara bergiliran. Karena aku terserang awalan maka, sembuhnya pun termasuk golongan assabiqunal awwalun) akhirnya menyanggupi sebagai volunteer pentas seni.
Selepas sekolah, kami berlatih dengan seorang waria (sebut saja bunga; memang namanya Mbak Bunga) rekomendasi salah satu guru kami. Setelah itu, latihan pramuka dan malam harinya tepar. Sungguh hidup yang indah, bukan?
Mayjuz! Aku ingat benar lagu itu menggema pada malam pentas seni. Tiga orang, menari Islami (namanya saja sudah Islami, apalagi gerakannya ‘kan?), dengan seragam biru langit yang melambungkan harapan kami.
Tapi tidak dengan kejadian sesudah itu. Seorang guru menegurku lantaran aku, anak guru yang berjoget-joget di atas panggung. Jika kuceritakan tentang semua pengorbanan kami, apa beliau masih sanggup mencercaku?
Sudah kuceritakan bahwa saat itu musimnya virus H5N1, setiap hari pasti ada saja teman-teman yang jatuh sakit. Padahal hari H semakin dekat dan segala perlengkapan mulai dari tiang untuk tenda, pasak, karpet, dan peralatan memasak belum ready. Aku tentu yang harus mencari beberapa perlengkapan itu ke desa sebelah lantaran kepala sekolah kami sedang tidak peduli dengan kegiatan semacam ini. Aku sedikit mengerti sebab selama bertahun-tahun sekolah kami mengikuti kegiatan ini tidak pernah membawa pulang piala satupun. Mungkin ia geram, dan menertawakan kami diam-diam.
Cobaan tidak berhenti disitu, sebelum berangkat kami harus terlebih dahulu memerah air mata. Tentang apa sebabnya, aku tak ingin menceritakannya disini. Saat itu adalah ketika aku benar-benar dikucilkan oleh reguku. Toh semua pengorbanan kami terbayar, kami memboyong dua piala sekaligus untuk juara 2, putra dan putri. Dan kami adalah satu-satunya madrasah yang mendapatkan predikat juara (kegiatan itu diikuti oleh hampir seluruh SD/MI dan SMP/MTs se-kecamatan). Dua piala teronggok dengan bangga di etalase kantor sekolah kami, representasi jerih payah yang terbayar rapi.
Namun, teguran guruku malam itu masih bisa kuingat sampai sekarang. Tentang seorang muslimah yang menari, halalkah itu?
(D1418/Red_)
Baca lanjutannya di H-100 Go to Myanmar (Menari, Halalkah Itu?- Part II)