Sumber foto: Disnakertrans.bantenprov.go.id
Oleh: T Baihaqi F
Pasca revolusi (1945-1966) masyarakat berbondong-bondong berserikat dan berorganisasi demi kesejahteraan bersama. Berbagai kelas, profesi, keahlian dan keterampilan berlomba-lomba untuk membentuk perkumpulan. Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, masyarakat yang terjajah berabad-abad lalu akhirnya bisa menghirup nafas lega. Kemudian menyiapkan segala kebutuhan untuk mandirinya suatu negara yang baru terlepas dari belenggu imperialis.
Masyarakat Indonesia memberikan respon cepat setelah itu. Berangkat dari pidato Bung Karno pada hari sumpah pemuda tahun 1945 tentang anjurannya untuk membentuk partai politik. Seperti jamur dimusim hujan, tidak hanya partai politik yang bermunculan, banyak juga serikat, organisasi dan perkumpulan yang muncul. Ketika kran rekruitmen partai dibuka, begitu banyak yang bergabung sehingga partai-partai besar dan ternama mulai membuka sayapnya diberbagai sektor.
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menjadi salah satunya. Mereka mengorganisir dan menampung aspirasi dari masa buruh. Menyuarakan gagasan dan ide, mendukung program-program sampai dengan menginisiasi pemogokkan masa buruh. Hal tersebut terjadi karena ketidaklayakan upah dan jam kerja yang panjang pada saat pasca revolusi. Dari SOBSI inilah kemudian aspirasi buruh (Red: serikat buruh) disuarakan ke salah satu partai politik yang kemudian aspirasi mereka dirundingkan di sidang parlemen.
Serikat, organisasi dan perkumpulan menjadi kunci gerakan masyarakat pasca revolusi, yang tentunya didampingi oleh sayap-sayap partai. Dari perundingan-perundingan tersebut muncul ide dan gagasan brilian untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Kesadaran masyarakat akan pentingnya berserikat menjadi modal penting bagi aspirasi, gagasan dan ide untuk kesejahteraan bersama. Selain itu, peran penting sayap partai politik ditingkat akar rumput untuk menampung berbagai aspirasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Dari sayap partai inilah, kemudian aspirasi dari serikat masyarakat disalurkan ke partai politik yang kemudian dirundingkan di sidang parlemen.
Pasca reformasi yang sekarang ini dirasakan dengan semakin terbukanya kran demokrasi, seharusnya masyarakat bisa menyampaikan aspirasi dengan aman dan nyaman. Peran penting partai politik yang seharusnya mewakili aspirasi masyarakat saat ini dipertanyakan. Tahun 2019 masyarakat memprotes RUU KPK yang kemudian disahkan menjadi UU dan tahun 2020 masyarakat kembali melakukan protes terhadap RUU Omnibus Law atau dalam hal ini RUU Cilaka, pada akhirnya tetap disahkan. Dua tahun berdekatan masyarakat melakukan aksi protes besar-besaran diberbagai kota dan demonstrasi tak terelakkan. Protes dan penolakkan besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat tetap tak mengubah sikap DPR (Red: perwakilan partai) sedikitpun. Seolah-olah aspirasi masyarakat hanya sebagai angin lalu. Seharusnya orang-orang Senayan mendengarkan dan merundingkan seksama aspirasi-aspirasi yang dilontarkan masyarakat.
Wakil-wakil partai selayaknya bisa mencontoh dari sejarah perjalanan politik pasca revolusi. Mengolaborasi aspirasi masyarakat dengan seksama serta berani turun ke akar rumput untuk mendengar secara langsung aspirasi yang masyarakat suarakan. Selain itu, masyarakat juga harus kembali untuk berserikat secara lebih masif. Tentunya agar aspirasi, gagasan dan ide bisa tersintesiskan yang kemudian bisa menjadi pegangan untuk arah gerak dan kesejahteraan bersama. Wakil-wakil partai dan masyarakat harus saling berkolaborasi dalam menyikapi permasalahan, walaupun berat dan hanya utopia, paling tidak kesejahteraan bersama sudah diupayakan.