Tuduhan Tak Berdasar “Dosa Kita Terhadap Kapitalisme”

Sumber Foto: kompas.com

Oleh: Thoriq Baihaqi

Artikel yang dimuat DinamikA baru-baru ini begitu menggelitik perut pembaca, yang ditulis oleh Akrom. Membahas tentang budaya konsumtif dan kapitalisme. Tulisan tersebut membingungkan agaknya, disatu sisi mencoba menyandingkan antara budaya konsumtif dan kapitalisme sebagai bentuk kausalitas serta mempertentangkan keduanya disisi yang lain. Ditambah dengan kata yang menuding “kapitalisme” dan “anti-kapitalisme” yang membuat pembaca semakin tergelitik sekaligus kebingungan dalam waktu yang sama.

Artikel yang ditulis Akrom agaknya ingin memberikan elaborasi mendalam terkait dengan problem waste food di bulan suci Ramadhan ini. Akan tetapi pengandaian yang diberikan bukan malah menjadikan pembaca semakin memahami problem tersebut, yang terjadi justru pembaca dibawa berputar dan terus berputar. Apalagi konsep kapitalisme yang dibangun dalam tulisan tersebut, yang tidak memberikan pengertian secara sederhana.

Tulisan ini tidak akan membahas problem waste food di bulan suci Ramadhan, karena hal tersebut lebih layak disampaikan Akrom. Akan tetapi tulisan ini mencoba melihat konsep kapitalisme yang dibangun dalam ruang imajiner dalam artikel yang ditulis Akrom.

Tulisan Akrom berangkat dari kapitalisme menurut pandangan Ellen Meiksins yang menganggap bahwa kapitalisme sering disalah artikan dalam kaitannya dengan keniscayaan sejarah. Tidak ada penjelasan dari pernyataan dalam tulisan tersebut yang ada hanya tuduhan bahwa kita berdosa terhadap kapitalisme dengan selalu berburuk sangka.

Pandangan Ellen Meiksins sendiri begitu rancu dan menjebak, sedangkan Akrom yang langsung menuduh ‘kita berdosa pada kapitalisme’ tidak berdasar. Walaupun mencoba mengandaikannya dengan perbandingan antara budaya konsumtif dan kapitalisme, pengandaian tersebut tetap berada di angan-angan tidak sedikit pun jatuh ke tanah.

Sedikit tentang Kapitalisme

Untuk memahami kapitalisme saya meminjam analisis Karl Marx yang masyhur. Pandandan Marx terbagi menjadi dua: Marx muda yang memiliki ciri khas humanistik seperti yang tercantum dalam Paris Manuscript dan Marx tua yang memiliki ciri determinis ekonomi seperti dalam karya monumentalnya Das Kapital (F. Budi Hardiman, 2019). Marx muda dengan gaya pemikiran yang dipengaruhi idealisme Hegel yang humanistik mampu melahirkan gagasan tentang filsafat pekerjaan, hak milik pribadi, alienasi dan sistem kelas. Saya tidak akan menyentuh Marx muda, karena hal tersebut sudah banyak diketahui bersama.

Gaya pemikiran Marx tua dengan determinis ekonomi yang begitu kentara mampu membedah sistem kapitalis. Pertama, kapitalisme lahir dari keniscayaan sejarah. Marx dengan materialisme sejarah merumuskan, bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan, tetapi keadaan sosial yang menentukan kesadaran (Franz Magnis Suseno, 1999). Perjalanan sejarah menjadikan manusia selalu mengupgrade diri dan pikiran. Gambaran sederhananya penggilingan dengan tangan (petani, nelayan, pengrajin, dsb) menghasilkan masyarakat feodal, penggilingan dengan uap (pabrik) menghasilkan masyarakat kapitalis industrial.

Kedua, mengartikan anti-kapitalisme dengan serampangan menjadi ‘anti-kepemilikan pribadi’ merupakan kata yang diterjemahkan secara pendek pikir. Anti-kapitalisme menjadi counter terhadap eksploitasi kaum pekerja (buruh)—walaupun tidak hanya anti-kapitalisme. Kapitalisme menjadi sistem ekonomi bebas, bebas dari pembatasan produksi, bebas dari pembatasan tenaga kerja, bebas dari pembatasan penguasa, yang tentunya dari sistem bebas itu eksploitasi menjadi akibatnya (Franz Magnis Suseno, 1999).

­Ketiga, tentang nilai lebih, tulisan Akrom secara satir menganjurkan kita untuk tidak menggubris penghisapan nilai lebih dari pemilik modal kepada buruh yang didasarkan pada pandangan Ellen Meiksins, pandangan itu sendiri saya nilai masih rancu dan menjebak. Tak ayal kiranya bila banyak orang terjebak dalam pandangan tersebut, yang pada akhirnya mengamini adanya kapitalisme.

Nilai lebih menurut Marx berasal dari waktu kerja buruh. Hukum ekonomi kapitalis adalah ekuivalen. Jadi harga bahan baku + harga tenaga kerja = harga komoditas. Nilai lebih diambil oleh sang kapitalis dari waktu kerja yang melampaui waktu yang wajar, kelebihan waktu itu disebut kerja tanpa upah (F. Budi Hardiman, 2019).  Rumusan Marx terkait nilai lebih secara kompleks dijabarkan dengan M1 – K (=BK1 + BK2 + BV) -M2. M1 sebagai modal awal, K sebagai komoditas, BK1 sebagai alat produksi, BK2 sebagai bahan baku, BV sebagai tenaga kerja, dan M2 sebagai modal akhir atau hasil.

Pastinya hasil akhir atau keuntungan (M2) lebih besar dari pada modal awal (M1), karena keuntungan yang didapat sang kapitalis (M2) berasal dari tenaga kerja buruh (BV). Hal tersebut terjadi karena tenaga kerja buruh (BV) sebagai hal yang istimewa, secara sederhana nilainya bisa terus berubah—upah dan jam kerja. Berbeda dengan alat produksi (BK1) dan bahan baku (BK2) merupakan benda mati yang nilainya tetap. Maka dari itu harga komoditas (K) yang ditentukan dari BK1+BK2+BV, menjadikan BV sebagai hal yang mudah untuk dieksploitasi oleh sang kapitalis karena sifatnya bisa berubah—upah dan jam kerja.

Dari rumusan tersebut terlihat adanya celah besar bagi kaum kapitalis untuk melakukan eksploitasi kepada kaum buruh. Maka aneh bila penghisapan nilai lebih dibiarkan begitu saja untuk dilakukan. Itulah sedikit tanggapan terhadap perspektif kapitalisme yang akrom jabarkan secara tergesa-gesa. 

Logika Tupai

Beberapa aspek dari tulisan Akrom amat mengganggu saya, salah satunya logika tupai—melompat-lompat dengan riang gembira, dipakai. Sulit menarik korelasi dari tiga aspek mendasar yang dipaparkan: waste food, budaya konsumtif dan kapitalisme. Penjelasan yang diberikan hanya berputar-putar.

Satu sisi menggambarkan tentang perlunya kita memperhatikan hubungan saling berkaitan antara waste food, budaya konsumtif dan kapitalisme yang olehnya dianggap sebagai permasalahan kompleks. Sedangkan disisi lain secara gamblang waste food, budaya konsumtif dan kapitalisme menyatakan ketiga hal tersebut berbeda.

Selain itu, pengandaian tentang kapitalisme dan anti-kapitalisme masih begitu samar. Dengan pengandaian yang masih di angan-angandan belum turun ke tanah orang hanya akan berutopia belaka. Ditambah dengan tuduhannya yang menyatakan bahwa kita berdosa pada kapitalisme. Tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat, hanya didasarkan pada pandangan Ellen Meiksins yang begitu rancu dan menjebak. Pada intinya kita tidak berdosa sama sekali kepada kapitalisme.

Ellen Meiksins dalam artikel yang ditulis Akrom menyatakan bahwa kapitalisme sering dipahami secara keliru sebagai sebuah sistem politik-ekonomi yang lahir dari keniscayaan sejarah. Argumen tersebut tanpa dasar penguat, sedangkan Marx melalui materialisme sejarah jelas berargumen bahwa kapitalisme lahir dari keniscayaan sejarah. Dari hal tersebut melahirkan pandangan selanjutnya tentang nilai lebih yang menjadi dasar pembuktian adanya eksploitasi pekerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *