Carut-marut Dominasi, Kapitalisme dan Cengkeraman Sampah

Sumber Foto: Greenpeace.org

Oleh: Ahmad Ramzy

Betapa risihnya melihat tulisan opini yang terpampang jelas dalam website klikdinamika.com belakangan ini. Mulai dari kehidupan hedonisme manusia yang berakibat pada food waste hingga pada pembahasan efektivitas kapitalisme di dunia ini. Barangkali sudah cukup muak dengan pertikaian tersebut, penulis beranggapan bahwa kedua tulisan tersebut belum membuat paradigma baru untuk menyikapi budaya manusia yang dengan sendirinya membius kesadaran kita bersama.

Semua berawal hanya karena kesalahpahaman yang disampaikan pada tulisan pertama, menyalahartikan anti-kapitalisme sebagai anti kepemilikan pribadi, bahkan menganalogikannya dengan serampangan tanpa mempertimbangkan makna esensialnya.

Ketika masalah food waste atau sampah kita jauhkan dari dampak adanya kapitalisme, maka perlu kita pertanyakan lagi gagasan tersebut. Pada dasarnya permasalahan sampah merupakan satu dari sekian banyaknya hasil dominasi yang sudah dilakukan oleh orang yang berkuasa, entah penguasa atau pengusaha yang memegang kendali penuh atas modal.

Bukan tanpa alasan penulis berpendapat seperti itu, seperti yang dikatakan oleh Murray Bookchin bahwa dominasi manusia terhadap alam berdasar pada dominasi yang nyata dari manusia terhadap sesama manusia. Kemudian, jika dikatakan bahwa sampah yang cenderung merusak alam tersebut, lalu dianggap terpisah dari kapitalisme, tentu kecacatan berpikir jelas kentara.

Masalah Sampah, Tanggung Jawab Bersama

Melalui kanal Greenpeace dijelaskan hasil penelitian World Economic Forum pada tahun 2021, Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton setiap tahunnya dan sebagian besar tidak dibuang dengan benar. Bahkan, jika melihat penelitian lain dari National Plastic Action Partnership di tahun 2020, sampah-sampah tersebut hanya 10% sampah plastik yang terdaur ulang.

Para pembaca yang budiman, sedikit data yang penulis beberkan di tulisan ini bertujuan untuk menyadari urgensi yang tengah terjadi, mungkin yang akan berdampak besar juga pada kemudian hari. Selain dari pada itu, masalah perihal sampah ditambah pula dengan kebiasaan manusia yang melakukan food waste seperti yang disampaikan juga oleh Fatah Akrom dalam tulisannya terkait hal itu.

Namun, amat disayangkan jika masalah ini hanya dikaitkan kepada para konsumen saja. Memangnya yang menciptakan makanan-makanan itu adalah konsumennya sendiri, tidak menutup kemungkinan diproduksi dan diperjualbelikan, bukan? Di sinilah poin dari kritikan penulis terhadap tulisan Fatah Akrom, tentu kemasan-kemasan yang menyelimuti makanan yang biasa kita konsumsi banyak mengandung unsur plastik.

Barangkali pembaca sudah mengetahui dengan jelas bahwa sampah plastik akan sulit terurai, bahkan melalui kanal Tempo.co dijelaskan bahwa penguraian sampah plastik akan menghabiskan waktu selama 50 hingga 80 tahun jika itu kemasan sachet, lalu 450 tahun untuk sampah botol plastik dan sampah sterofom tidak akan dapat terurai sama sekali.

Ketiga sampah di atas, merupakan salah satu benda yang diproduksi oleh produsen atau pabrik. Tanpa ragu-ragu dapat diketahui bahwa ketiga sampah tersebut merupakan buatan dari pabrik yang di sini berkaitan erat dengan kepemilikan modal kapital.

Ketika penumpukan sampah dan food waste terjadi, kapitalisme kita lepaskan begitu saja darinya? Tentu seharusnya tidak. Bahkan, para pemodal atau produsen sendiri cenderung abai dengan masalah sampah yang mereka hasilkan, untung adalah yang utama daripada mengurusi hal seperti itu.

Kecacatan berpikir terulang kembali ketika memaknai kapitalisme dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dalam berdagang. Apakah mungkin Nabi Muhammad berdagang menggunakan plastik? Padahal, plastik baru ditemukan dan dipergunakan di tahun 1862. Sangat tidak masuk akal sekali menyamakannya dengan gamblang seperti itu.

Tanggung jawab kita terhadap penumpukan sampah dan food waste adalah milik kita bersama, bukan hanya konsumen saja tetapi produsen harus memiliki andil untuk menangkalnya. Food waste sendiri terbagi ke dalam dua kategori, antara sampah organik dan non-organik.

Sampah-sampah bekas buah-buahan atau dengan kata lain merupakan jenis sampah organik yang dapat kita alihfungsikan dan dimanfaatkan limbahnya untuk suplemen tanaman, seperti halnya penggunaan eco-enzyme untuk tanaman. Manfaat dari penggunaannya pun mampu menjadi filter udara, pupuk alami tanaman serta lebih baiknya lagi adalah mampu mengurangi efek rumah kaca yang menjadi puncak masalah sampah sendiri.

Permasalahan sampah yang berkelanjutan dari masa ke masa hingga di masa mendatang ini perlu kita sadari. Jangan sampai penumpukan sampah yang ada, mengakibatkan adanya korban jiwa kembali seperti yang telah terjadi di TPA Leuwigajah pada Februari 2005 yang menenggelamkan 143 orang hingga tewas karena sampah. 

Menurut penulis sampah merupakan dampak dari adanya kapitalisme itu sendiri, kini kita telah terkungkung oleh kapitalisme, bukan? Kemudian, ditambah dengan dominasi yang tidak mampu lepas mengikat seluruh tubuh kita.

Lubang Neraka Kapitalisme

Agaknya rumit apabila kita membahas kapitalisme dan memikirkan perlawanan untuk menumpas kekuatannya. Semua orang mengetahui, kapitalisme adalah kepemilikan modal lebih yang akan menghisap siapapun mereka yang secara stuktur ekonomi berada pada level bawah. Ketika melihat tulisan yang disampaikan oleh Thoriq, penulis beranggapan tulisan yang dibuat tidak mengarah pada wujud perlawanan apa yang perlu dilakukan oleh kelas pekerja.

Meskipun kita tahu, mimpi Marx yang sejati ialah revolusi untuk mewujudkan kehidupan yang baik serta menyamaratakan kepemilikan menjadi milik bersama tanpa adanya berat yang lebih dari satu kelompok tertentu. Secara teoritis Marx menyatakan “…off al instruments of production the greatest force of production is the revolutionary class itself.” Dengan begitu instrumen yang memiliki kekuatan terbesar dalam produksi seharusnya adalah kelas revolusioner itu sendiri. (Dahrendorf, 1959)

Dari Lowith dalam Max Webber dan Karl Marx (1993) ketika kelas proletariat (pekerja) memiliki kesadaran kritis akan ketertindasannya yang di mana proses akumulasi berada di tangan kelas pemodal, maka kesadaran ini menciptakan suatu masyarakat tanpa kelas yang dijalankan oleh kelas pekerja melalui revolusi yang dicita-citakan.

Sedangkan konsepsi pemikiran Marx ini disangkal oleh Franz Magnis Suseno yang di mana Franz Magnis Suseno mempertanyakan konsep masyarakat tanpa kelas tersebut. Bahkan, besar kemungkinan suatu sistem baru akan terbentuk ketika masyarakat tanpa kelas itu diwujudkan. (Suseno, 1999) Secara tidak langsung proyek revolusi yang disuguhkan oleh Marx hanya untuk mengganti topeng lama dengan wajah yang sama.

Jika membahas kepemilikan dan revolusi yang diajarkan oleh Marx, perlu secara vis-à-vis kita adukan gagasan Karl Marx dengan Max Stirner. Mungkin sosok Stirner tidak lebih besar dari Karl Marx yang masyhur, juga karena Marx sendiri pernah melakukan kritik terhadap karya terbaik milik Stirner, yaitu Der Einzige und Sein Eigentum sebagai “Kitab Suci” yang harus dihapuskan dan dilawan dengan kritik keras. (Ludueña, 2021)

Barangkali Marx bermimpi menjadi sosok tersohor bersanding dengan para Nabi, yang tentu diamini pula oleh beberapa kaum Marxis yang tidak dewasa. Menyambung dari kritik Franz Magnis Suseno, Stirner dalam karyanya mengatakan bahwa kepemilikan pribadi tidak dapat diselesaikan begitu saja dengan yang diusulkan oleh Komunisme ala Marx.

Kemudian, Stirner mengusulkan bahwa ketimpangan dapat diselesaikan dengan “perang permanen”, bukan “revolusi permanen.” Dirinya sama sekali tidak menginginkan hak individu dijadikan alasan untuk direnggut dengan dalih agama, negara (society) maupun kemanusiaan.

Sekali lagi dalam Der Einzige und Sein Eigentum (1844) yang diterjemahkan ke bahasa Inggris menjelaskan. “The craving for a particular freedom always includes the purpose of a new dominion, as it was with the Revolution, which indeed “could give its defenders the uplifting feeling that they were fighting for freedom,” but in truth only because they were after a particular freedom, therefore a new dominion, the “dominion of the law.””

Dengan jelas Stirner menyimpulkan bahwa keinginan untuk bebas tidak akan pernah dapat dipisahkan dari dominasi baru, seperti halnya revolusi yang membangkitkan semangat temporer untuk menciptakan dominasi baru yang lain berupa dominasi melalui hukum.

Penilaian Stirner ini didasarkan pada gerakan-gerakan revolusi yang di masa tersebut sedang marak-maraknya terjadi, terutama di tanah Eropa, seperti halnya revolusi di Prancis tahun 1799. Melalui revolusi tersebut, terbentuklah suatu sistem pemerintahan baru dengan sistem republik demokratis setelah menumbangkan sistem monarki.

Dalam Aksi Massa Tan Malaka dijelaskan, bahwa gerakan revolusi yang terjadi di Prancis di tahun itu hanyalah revolusi yang dijalankan oleh para Borjuis (pengusaha), bukan semata-mata murni gerakan pekerja. (Malaka, 2016)

Sampai akhirnya kita semua berada di posisi saling melempar gagasan, entah kapitalisme dan dominasi mampu diruntuhkan oleh tangan-tangan kita atau tidak. Kapitalisme sendiri seperti memiliki pondasi yang terbuat dari baja, yang agaknya tidak mampu kita hancurkan melalui pukulan tangan kosong saja.

Meskipun dilanda oleh ketidakpastian, setidaknya nyala api perlu kita jaga, nyala api perlu kita besarkan untuk menyikapi ketimpangan-ketimpangan yang ada. Sebagaimana mestinya perlu kita fokuskan, bahwa kita semua hidup untuk memihak kepada mereka yang tertindas oleh apapun bentuk dominasi yang menduduki badan mereka, oleh apapun masalah yang kita hadapi bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *