Ribuan mahasiswa UIN Salatiga dalam acara pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN), Selasa (9/1/2024) (Sumber Foto: Uinsalatiga.ac.id).
Klikdinamika.com– Lebih dari 400 mahasiswa semester sembilan ke atas menandatangani “Petisi Penolakan Membayar UKT dengan Harga Normal bagi Mahasiswa Penghujung Semester” di Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga, Senin (22/7/2024).
Petisi itu diedarkan oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Tua (Alamatua). Mereka menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa semester delapan ke atas, yang hanya memiliki tanggungan menyelesaikan skripsi.
Kehadiran petisi bermula dari sebuah ide yang diusulkan oleh Fatah Akrom, salah satu mahasiswa semester sembilan. Fatah menilai, para mahasiswa yang kini menginjak semester sembilan ke atas tidak lagi mengikuti mata kuliah dan tidak banyak memerlukan fasilitas kampus. Akan tetapi, mereka harus membayar biaya perkuliahan dengan nomial yang sama, selayaknya mahasiswa yang masih aktif mengunakan semua fasilitas kampus.
Mereka datang ke kampus hanya beberapa kali selama seminggu sepanjang masa bimbingan. Lebih dari itu, kemungkinan mereka datang untuk urusan akademik atau sekadar mengunjungi perpustakaan saja.
“Setelah semester delapan, tidak semua mahasiswa punya kadar ekonomi yang tinggi. Aku melihat dari alasan tadi, dengan tidak menikmati fasilitas kampus maka kita menuntut ke bagian terkait, tentang berapa jumlah ideal pembayaran UKT untuk mahasiswa tua,” ujar Fatah, Senin (22/7/2024).
Fatah menjelaskan, jika kampus tidak mengindahkan letupan-letupan kecil yang bersumber dari mahasiswa, terhadap penurunan UKT bagi mahasiswa tua, maka hal tersebut akan kembali muncul setiap tahunnya.
“Menurut saya, memang perlu menjadi bahan pertimbangan kampus, untuk memberikan keadilan bagi beberapa mahasiswa tua, terutama yang sudah tidak mengulang mata kuliah,” tegasnya.
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Salatiga, Miftah, menyatakan bahwa Dema mengapresiasi inisiator maupun mahasiswa UIN Salatiga yang telah berkontribusi dalam menandatangani petisi. Petisi ini merupakan saluran penampungan aspirasi mengenai keringanan UKT untuk mahasiswa semester tua.
“Untuk tindak lanjut dari Dema, mengenai aspirasi keringanan UKT, kita sudah sampaikan sejak jauh hari. Bahkan, sudah dari awal periode, melalui Wakil Rektor (Warek) 2 atau 3. Kemarin sebelum petisi ini ada, kita sudah menyampaikan kembali untuk keringanan UKT 50% bagi yang sedang skripsian,” tutur Miftah, Senin (22/7/24).
Namun, sistem penentuan UKT di UIN Salatiga mengacu melalui keputusan Menteri Agama. UKT di seluruh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) Indonesia, tanpa terkecuali UIN Salatiga sendiri, ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan rekomendasi dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
“Jawaban dari Warek 2 waktu itu, untuk keringanan 50% bagi yang sedang skripsian belum memungkinkan untuk diterapkan, karena tidak ada dasar hukum yang kuat dan status UIN Salatiga belum sepenuhnya Badan Layanan Umum (BLU), masih masa transisi sehingga belum bisa membuat kebijakan tersebut,” terangnya.
Miftah memaparkan bahwa data tanda tangan petisi penurunan UKT, oleh kontributor, telah diserahkan kepada pihak Dema UIN Salatiga. Nantinya, aspirasi tersebut akan segera disampaikan kepada rektorat.
Sampai saat ini, keringanan pembayaran UKT sebesar 50% di UIN Salatiga hanya berlaku bagi mahasiswa semester 13 ke atas. Kebijakan itu tertuang dalam Diktum Keempat dan Kelima Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 498 Tahun 2024 tentang Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri Tahun Akademik 2024-2025.
Salah satu penandatangan petisi, Ida, mengungkap bahwa hadirnya petisi tersebut berfungsi sebagai data yang mendukung adanya gerakan penurunan UKT bagi mahasiswa semester tua.
“Petisi itu sebagai bukti data yang menjadi pendukung gerakan ini,” jelas mahasiswa Program Studi (Prodi) Sejarah Peradaban Islam (SPI) itu ketika diwawancarai via WhatsApp, Sabtu (27/7/2024).
Ida juga berpendapat, mahasiswa semester tua sudah tidak banyak menggunakan fasilitas kampus seperti ruang kelas. Perpustakaan yang terdapat di kampus juga sangat jarang dikunjungi karena tidak terdapat berbagai jenis buku yang tengah dicari sebagai penunjang proses pembuatan skripsi.
“Di sisi lain, mahasiswa semeter tua ini sudah tidak terlalu banyak memanfaatkan fasilitas kampus. Contohnya ruang kelas, wifi kampus, mentok-mentok paling perpus kampus, itu pun kadang nggak kesitu, karena buku yang dicari nggak ada,” tambahnya.
Semester tua membuat biaya yang dikeluarkan oleh Ida menjadi lebih bertambah dari biasanya, seperti untuk ujian English Proficiency Examination (EPE) sebagai salah satu syarat kelulusan di UIN Salatiga. Peserta ujian ini diharuskan mengulang kembali tes tersebut jika belum lolos. Selain itu, biaya tambahan juga dibutuhkan untuk cetak berkas sertifikat, cetak skripsi serta power point masing-masing empat eksemplar dan belum termasuk UKT yang harus dibayarkan secara penuh.
“Contoh, skripsi sudah jadi tetapi belum bisa daftar sidang sebab belum ada uang untuk bayar EPE atau belum ada uang untuk cetak skripsi. Kelihatannya sepele, tapi jika EPE mengulang hingga 3x itu biayanya bisa sekitar 150 ribu, 4 eksemplar skripsi bisa sekitar 200 ribuan. Menurut saya jika tidak terpotong UKT 50% pun akan tetap berdampak kepada mahasiswa, entah hanya potongan 20-30%,” tuturnya.
“Bagi saya, petisi ini adalah sebuah usaha kita bersama, berhasil atau tidaknya saya akan siap,” tegasnya. (Asa/Hilwa/Joysi/Red)
no aksi kah, bung