Ancak-ancak yang digiring menuju dermaga perahu. (Sumber Foto: Mada/DinamikA)
Oleh: Joysi Rain Rosadi
Tiap malam 21 Suro, warga sekitar Danau Rawa Pening tak pernah lupa menggelar ritual larungan. Ungkapan syukur kepada Tuhan sekaligus terima kasih kepada Rawa.
***
Konon, Muharam—atau kerap disebut Suro oleh masyarakat Jawa—adalah bulan sakral sekaligus ditakuti dalam kalender Jawa. Biasanya, masyarakat muslim Jawa merayakan bulan yang dianggap penuh energi spiritual ini dengan berbagai tradisi dan ritual khusus, seperti slametan, ruwatan, dan larungan.
Tak ingin melewatkan momen bulan Suro ini, sejenak di tengah liburan perkuliahan yang cukup panjang, bersama teman-teman, saya mendatangi tempat wisata Bukit Cinta di Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Sabtu (27/7/2024).
Bukan dengan maksud untuk berwisata-ria, saya menerjang hawa dingin malam hari yang belakangan mendiami Kota Salatiga dan sekitarnya, untuk dapat menyaksikan Tradisi Sedekah Rawa Pening atau Larungan. Tradisi yang dilakukan setiap malam 21 Suro ini, digelar dengan melarungkan nasi tumpeng dan sesaji ke tengah Rawa Pening. Warga setempat percaya, dengan melakukan tradisi ini, mereka dapat terhindar dari musibah dan bahaya selama setahun ke depan.
Senada dalam buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa, sakralitas peringatan malam satu Suro erat hubungannya dengan budaya keraton. Pada masa lampau, keraton kerap melakukan upacara dan ritual yang diwariskan turun-temurun. Begitu pula ritual ini, kehadirannya erat dengan kepercayaan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening pada masa lampau.
“Karena ini peninggalan, ya, kita hanya melanjutkan para leluhur dulu. Budaya ini sudah ada di zaman nenek moyang. Kita hanya meneruskan dan mengembangkan budaya ini setiap setahun sekali,” ucap Salewang, seorang pria paruh baya, yang sudah mengikuti tradisi ini ke sekian kali, selama 25 tahun.
Sesampainya di Bukit Cinta, kami segera mengayunkan langkah menuju tempat berlangsungnya acara. Patung ular naga yang berdiri di sana, seketika mengingatkan saya pada legenda Baru Klinthing yang hidup dalam cerita rakyat setempat. Tangga-tangga batu yang basah oleh embun malam memandu langkah kami menuju tempat prosesi ritual. Sontak, aroma dupa menyengat, menusuk, hingga mengganggu indra penciuman saya sesaat; menandakan kami sudah berada di pusat prosesi, yaitu salah satu pendopo.
Di Tengah Sesajen, Wangi Dupa, Lantunan Kidung, dan Alunan Gamelan
Dua ancak berbeda ukuran berisi berbagai bahan makanan dari warga terlihat berdiri di tengah pendopo (Sumber Foto: Mada/DinamikA)
Sementara itu, warga telah berkumpul membentuk lingkaran di luar pendopo, mengelilingi suatu wadah berbentuk persegi yang terbuat dari anyaman bambu, lengkap dengan hiasan khas tradisional di dalam pendopo. “Kalau orang sini bilang, itu dinamain ancak,” saut Salewang. Ancak merupakan media ritual, berupa wadah untuk menaruh sesajen atau persembahan bagi roh leluhur dan alam semesta.
Dua ancak berbeda ukuran—yang berisi sesaji lengkap dengan nasi tumpeng, pisang, ketan, ingkung bebek, jajanan pasar, ikan, dan bunga—berdiri di tengah pendopo. “Menu utama tidak boleh diganti,” tegas Salewang. “Itu perintah dari sini (red: Rawa Pening) sejak dulu,” jelasnya saat saya temui.
Saya menanyakan makna simbolik dari makanan-makanan itu. Salewang menjelaskan, menu-menu khusus, seperti ketan dan ingkung, memiliki makna-makna tersendiri. “Ada ketan item ada ketan putih, antara manusia hitam dan putih. Tapi, antara hitam putih jangan dilihat dari hitamnya. Hitam itu belum tentu kotor dan putih belum tentu bersih. Ketan keraketo limarang karo seng gawe, minta sesuatu di mana pun boleh dengan keyakinan masing-masing” jelasnya. “Kenapa bebek? Karena sejarah dulu katanya meliwis putih, itu juga bebeknya harus dikucir,” tambah Salewang.
Ancak tidak hanya berisi makanan khusus, tetapi juga beberapa makanan dari warga setempat yang sengaja ditaruh di sana. ”Jadi gini, saya punya bahan dari bumi dan mau melemparkan ke sana (red: Rawa Pening), boleh. Saya njaring ikan, ya, sudah kasih aja. Secara jumlah tidak dibatasi, itu hanya sarana,” ungkap Salewang, menjelaskan bahwa makanan apa saja boleh ditaruh di ancak, yang penting hasil bumi.
Sekejap usai berdoa untuk mengawali tradisi larungan, lingkungan sekitar yang semula penuh warna kini menyatu dengan gelapnya malam. Sorotan lampu diganti dengan api yang membara kecil, berasal dari arang yang terbakar di atas anglo.
Saya pun merapat ke asal penerangan itu, menjumpai warga yang ditegur oleh seseorang di dalam pendopo agar diam. Asap pembakaran arang menyatu dengan dupa yang dibakar di ancak besar yang berada persis di depan anglo. Satu lilin mungil menyala, menerangi naskah kidung yang dibawa salah satu warga. Suara lantunan kidung Jawa dan iringan gamelan menyatu dengan elok, kian menciptakan suasana yang benar-benar sakral.
Pembaca naskah kidung Jawa dengan pencahayaan yang minim. (Sumber Foto: Mada/DinamikA)
“Sebelum larungan itu memang ada kidung,” saut Salewang. “Kidung itu juga doa dari sini, jadi tidak sembarangan,” imbuhnya..
Lampu kembali dihidupkan. Prosesi ritual berlanjut dengan menghidupkan 11 obor dari ancak besar dan enam obor dari ancak kecil. Satu per satu obor dihidupkan bergiliran. Nantinya, dua ancak tadi akan dilarungkan di Rawa Pening dan satunya akan dimakan bersama-sama.
Saya pun turun lebih dahulu menuju tepi Rawa Pening yang nantinya akan menjadi tempat ancak dilarungkan. Begitu turun, saya melihat sekeliling armada perahu sudah siap mengantarkan ancak-ancak berisi tumpeng dan bahan makanan lain tadi ‘ditumbalkan’ ke tengah Rawa Pening.
Melarungkan Doa dan Harapan
Ancak yang sudah di atas perahu akan dilarungkan ke tengah Rawa Pening. (Sumber Foto: Mada/DinamikA)
Gerombolan warga sudah mulai ikut turun, ancak-ancak yang diterangi oleh obor saatnya dibawa ke Dermaga Bukit Cinta. Setenggok bunga mawar—yang dibawa warga, maju lebih depan mengawali perpisahan. Seketika, saya dan para warga—yang masih di jalan menuju dermaga, diteriaki oleh petugas keamanan. “Beri jalan!” serunya. Mereka memberi perintah untuk segera menepi, demi membuka jalan ancak-ancak yang sudah digotong warga tadi.
Nahas, pada saat kami hendak ikut mengantar ancak dilarungkan, petugas yang berjaga di dermaga memberitahu bahwa perahu-perahu yang berada di sana sudah dipesan. Jika kami ingin mengikuti prosesi pelarungan, maka kami harus memberitahu panitia terlebih dahulu. Perasaan kecewa menyelimuti kami, tetapi perjuangan kami demi memberi selamat tinggal kepada ancak di tengah Rawa Pening tidak berhenti di situ.
Kami mendengar ada perahu kloter kedua akan datang. Sehingga, kami langsung bersiap diri mengambil pelampung dan berbaris untuk mendapat kesempatan melihat prosesi larungan dalam jarak dekat. Akhirnya benar, meskipun sempat kecewa, kami beruntung mendapatkan tempat di perahu kloter kedua yang membawa ancak ke tengah Rawa Pening.
Perahu-perahu kecil mulai mengarungi danau, membawa sesaji dan harapan. Perasaan cemas bercampur-aduk, merasakan perahu yang terus terombang-ambing kian tak tenang. Di tengah perjalanan, kami melihat seorang ibu-ibu yang menumpangi perahu kami, melemparkan bunga dan koin ke air. “Buat buang sial, Mas,” jawab singkat Tri Hartini, warga Desa Rowoboni, ketika kami bertanya alasan tindakannya itu.
Tri, yang telah mengikuti tradisi ini selama 18 tahun, berharap mendapatkan kebaikan bagi dirinya dan keluarganya. “Yang penting baik-baik, minta dapat kebaikan buat saya dan keluarga. Rezeki lancar, sehat-sehat semua,” harapnya. Ketegangan sirna saat pandangan saya tertuju pada sinar lembut obor yang berada di ancak, berkilau di tengah kegelapan rawa memancarkan harapan, menghapus rasa cemas dengan pemandangan yang tak terlukiskan.
Salewang mengatakan, tindakan Tri sendiri memang simbol dari harapan-harapan warga sekitar. “Misal, kalau kita mengambil hasil dari sana, kalau dijual, jadi duit. Makanya, kita harus ada timbal balik, meskipun hanya 500 rupiah, mungkin dari kita tidak berarti apa-apa, tapi dari beliaunya (red: Rawa Pening) sangat berarti. Nak pengen dapat, ya, kamu harus ngasih,” terangnya.
Saat berlangsung prosesi di tengah danau, suasana berubah menjadi hening, selaras dengan penamaan Rawa Pening. “Dinamakan Rawa Pening, orang kalau bilang Pening itu pusing. Tapi jangan diartikan seperti itu, melainkan pening menjadi hening. Cari nafkah tapi dengan dasar hening atau diam,” ujar Salewang.
Di tengah perbincangan kami, nakhoda perahu seketika menyerukan, “Raup! Raup!” tanda bagi kami untuk membasuh muka tiga kali dengan air Danau Rawa Pening sambil berdoa. Makanan di ancak kemudian dibagikan, menandakan berakhirnya serangkaian upacara sakral malam itu
Lebih dari Sekadar Melestarikan Budaya
Ancak yang sudah berada di tengah Rawa Pening dan siap dilarungkan. (Sumber Foto: Mada/DinamikA)
Kembali ke Salewang—yang juga salah satu sesepuh tradisi ini, ia menjelaskan bahwa larungan ini merupakan ungkapan terima kasih kepada Rawa Pening. “Kami memberi sesuatu sebagai tanda terima kasih karena telah memberi rezeki dan keselamatan rumah tangga kami. Jadi, ada timbal baliknya,” ujarnya.
Tradisi ini, menurutnya, bukanlah bentuk penyembahan, tetapi ungkapan syukur kepada alam yang telah menghidupi mereka. “Bukan kita menyembah dia (red: Rawa Pening), tidak. Tapi, Rawa Pening menghidupi ribuan orang. Jadi, kita hanya memberi sesuatu sebagai wujud syukur,” tambahnya.
Di tengah perairan yang tenang, Rawa Pening mengajarkan banyak hal, menyimpan cerita tentang perjuangan, kehilangan, dan harapan. “Rawa Pening itu jangan dilihat dari danaunya, tapi maknanya apa,” ujar Salewang memberi wejangan. Baginya, tak keliru jika menganggap larungan ini sebagai penghubung manusia, makhluk halus, dan alam.
Menurut Salewang, tradisi ini tidak hanya melestarikan budaya leluhur, tetapi juga sebagai wujud syukur dan penghormatan kepada alam yang telah memberikan banyak kebaikan kepada warga sekitar. Larungan mengingatkan kita akan pentingnya menjaga harmoni dengan alam dan berterima kasih atas segala rezeki yang diberikan.
“Jadi, wujud syukur kita memberi sesaji itu apa, itu kita hanya memberi sesuatu dan dia memberi sesuatu ke kita, jadi ada timbal baliknya,” pungkasnya di salah satu pendopo, menutup obrolan dengan kami yang berlangsung hingga larut malam.