Sumber foto: sindonews.com
Oleh: M. Saiful Rohman
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. UU Cipta Kerja dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Karena itu, MK memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan jangka waktu dua tahun ke depan. Jika tidak diperbaiki UU Cipta Kerja dianggap tidak akan berlaku kembali. Tidak hanya itu, MK pun menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. MK juga tidak membenarkan akan adanya penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Dalam putusan perkara 91/PUU-XVII/2020 ini MK menilai alasan Pemerintah melakukan revisi terhadap beberapa Undang-Undang untuk memangkas waktu adalah tidak dapat dibenarkan. Pemerintah tidak boleh mengambil jalan pintas yang tidak sesuai dengan UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan turunan dari UUD 1945. MK juga membatalkan dalih Pemerintah bahwa UU Cipta Kerja sebanding dengan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum maupun UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
MK menemukan perubahan secara materi muatan RUU Cipta Kerja. Seperti pada halaman 151-152 RUU Cipta Kerja hasil pengesahan DPR dengan Pemerintah yang membahas perubahan pada Pasal 46 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Akan tetapi Pasal 46 ini tidak termuat dalam UU Cipta Kerja.
Selain itu, ada juga perubahan substansi di halaman 338 RUU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 7 ayat 8 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang semula berbunyi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf (e) merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil dan menengah”. Setelah UU Cipta Kerja disahkan menjadi UU, ketentuan Pasal 7 ayat 8 diubah dengan menghilangkan kata “menengah” pada halaman 610.
MK juga menemukan kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal yakni Pasal 6 UU Cipta Kerja yang mengacu pada Pasal 5 ayat 1 huruf (a). Sementara muatan materi Pasal 5 mengarah ke Pasal 4. Berdasarkan hal tersebutlah MK menyatakan jika pembuatan UU Cipta Kerja cacat akan formil dan tidak memenuhi syarat Pasal 5 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Keputusan MK ini menjelaskan jika tuntutan rakyat untuk mencabut UU Cipta Kerja selama ini adalah benar, karena memang UU tersebut benar-benar melanggar UUD 1945 dan proses perumusanya pun buruk. Ini bukti bahwa ke-ngeyelan Pemerintah dan DPR untuk menerbitkan UU Cipta Kerja itu salah.
Meski keputusan terhadap UU tersebut telah mengkonfirmasi akan cacatnya proses. MK menyatakan jika UU Cipta kerja masih bisa berlaku selama dua tahun kedepan.
Selama dua tahun tersebut juga menjadi ruang agar pemerintah dan DPR memperbaiki UU Cipta Kerja. Dengan hal ini UU Cipta Kerja masih bisa dijalankan selama dua tahun ke depan.
Masih diperbolehkanya UU Cipta Kerja untuk dijalankan menciptakan kebingungan di tengah masyarakat.
Bagaimana bisa dijalankan jika produk hukumnya cacat ?
Padahal sebuah produk hukum yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional maka inkonstitusional juga produk hukumnya, sehingga produk hukum tersebut seharusnya tidak bisa diberlakukan. Ditambah tidak diperkenankanya penerbitan peraturan pelaksana, maka ketentuan-ketentuan dalam UU Cipta Kerja secara langsung tidak berfungsi. Apalagi MK sendiri memutuskan jika UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Coba jelaskan, bagaimana produk hukum yang bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum bisa dijalankan?
Melihat keputusan MK seakan-akan menggantung dan tidak berani secara tegas berdasarkan logika hukum dan UU MK. Seharusnya MK berani membuat keputusan dengan menyatakan pembatalan terhadap UU Cipta Kerja. Supaya MK tidak terlihat jelas jika ia sedang memberikan toleransi terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Jika saja toleransi itu mudah untuk diberikan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR maka potensi toleransi atau pemakluman kesalahan Pemerintah dan DPR akan mudah diberikan MK ke depannya.
Masyarakat sipil berhak khawatir menyikapi putusan MK yang dirasa tunduk terhadap Pemerintah. Sebab MK merupakan lembaga yang mempunyai peran untuk mengawal konstitusi dan menjamin akan tidak adanya ketentuan dalam suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan UU 1945.
Karena itu MK harus menunjukan diri jika ia adalah lembaga yang benar-benar bisa mengawal konstitusi dan menjamin tidak ada ketentuan yang melanggar UU 1945. Jangan sampai kekhawatiran apalagi ketidakpercayaan hadir di tengah masyarakat.