Membesuk Demokrasi, Zaman Orla dan Orba

Sumber Foto: BBC News Indonesia

Oleh: Fadlan Naufal Rahmat

Demokrasi merupakan sebuah konsep politik yang sudah ada dan diimplementasikan sejak abad ke 6 sebelum masehi, tepatnya di sebuah Kota Yunani Kuno−Kota Athena. Pada masa itu, kota tersebut memberlakukan konsep demokrasi langsung. Menurut konsep demokrasi langsung, rakyat dapat andil secara langsung dalam peristiwa politik atau pengambilan kebijakan.

Pada dasarnya, konsepsi Demokrasi atau Democratia (dari bahasa Yunani) secara etimologis, berarti “rakyat berkuasa” atau “pemerintahan rakyat”. Kata tersebut dapat ditafsir dari 3 kata: Demos (Rakyat), Kratos (Pemerintahan), dan Kratia yang berarti kewenangan (Rule). Gampangnya, istilah Demokrasi bisa diartikan sebagai people’s government atau pemerintah rakyat.

Dalam tulisan The Journey of Democracy in Indonesia and Citizenship Education as a Characteristic Democracy Education, dijelaskan bahwasanya demokrasi ialah salah satu bentuk pemerintahan. Pemerintahan itu ditujukan untuk menegakkan kedaulatan rakyat; rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi—idealnya—dalam penyelenggaraan negara. Rakyat juga memiliki hak yang luas untuk diikutkan dalam pengambilan kebijakan bersama.

Umur dari demokrasi ini sangat tua. Sama halnya seperti keinginan manusia untuk hidup teratur dalam bernegara, disertai rasa aman, nyaman dan selamat sentausa. Gagasan ini pun tumbuh bukan hanya sebagai, tapi juga menjadi salah satu aspirasi dalam sejarah perkembangan rakyat-rakyat dunia.

Selain itu, konsepsi demokrasi mulai ditancapkan ke tubuh Indonesia yang berbentuk republik, tepatnya pasca merdeka pada bulan Agustus 1945. Istilahnya sendiri bermacam bentuk, antara lain; demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi Soviet, dst.

 Dinamika demokrasi di Indonesia sendiri rupanya tidak berjalan begitu mulus sesuai dengan yang dicita-citakan. Mulai dari zaman orde lama (Orla) dengan demokrasi  liberal/parlementernya yang kemudian berganti demokrasi terpimpin; dan orde baru (Orba) dengan demokrasi Pancasilanya. Perjalanan demokratisasi dalam dua periode yang berbeda tersebut, akan penulis uraikan dalam poin-poin selanjutnya.

Perjalanan Demokrasi di Indonesia pada Zaman Orde Lama/Orla (18 Agustus 1945-12 Maret 1967)

Pasca 1945, tepatnya setelah kemerdekaan Indonesia, implementasi konsep demokratisasi mengalami fluktuasi (pasang-surut) dalam pelaksanaannya, bahkan sampai saat ini.

Pada masa Orla diterapkan, awalnya demokrasi parlementer atau dikenal juga demokrasi liberal (1945-1959), dipilih oleh para founding father republik Indonesia untuk menjadi sistem politik government pada 14 November 1945. Namun, konsepsi ini kemudian berakhir saat Soekarno berpikir bahwasanya, konsep tersebut tidak relevan jika dipakai di Indonesia yang memiliki budaya bermusyawarah. Soekarno dengan dalih “Revolusi belum selesai”, merekonsepsi demokrasi dengan interpretasinya sendiri. Ia berpikir bahwasanya konsep demokrasi yang dikembangkan di dunia Barat–berupa parlementer/demokrasi liberal–tidaklah sesuai dengan nilai luhur bangsa Indonesia, yang dikenal dengan sifat gotong royong serta musyawarahnya.

 Kritik pada demokrasi parlemen kemudian melahirkan tesis yang baru dalam pemikiran Soekarno terkait perlunya rekonsepsi (format ulang) demokrasi di Indonesia, untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Menurutnya, konsep politik yang harusnya dibentuk ialah konsep yang senada dengan budaya khas Indonesia.

Awalnya, Soekarno tidak memperlihatkan penolakannya terhadap demokrasi parlementer atau melawan pengusungnya–Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.  Namun, pada 1956, saat kongres persatuan guru, ia melakukan konfrontasi langsung saat berpidato. Ia berorasi memaparkan kekurangan demokrasi parlementer yang ia anggap menjadi sumber utama muncul dan berlarutnya krisis politik di Indonesia pada waktu itu. Ia mengusul sebuah konsep demokrasi yang baru, yakni “demokrasi terpimpin”.

Akhirnya, demokrasi parlementer–yang juga dikenal sebagai demokrasi liberal–berakhir secara formal saat dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Kemudian, demokrasi parlementer rutuh secara materil saat demokrasi terpimpin. Dengan adanya demokrasi terpimpin, kestabilan politik pada masa itu diharapkan dapat terwujud.

Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Saat berpidato pada 21 Februari 1957, Soekarno menyuarakan urgensi demokrasi terpimpin sebagai bentuk antitesis demokrasi liberal. Sebab, menurutnya budaya yang berkembang dari demokrasi parlementer hanya kritik demi kritik, dengan tujuan menumbangkan pemerintah lama untuk digantikan dengan pemerintahan yang baru. Hal tersebut dinilainya sebagai sistem yang tidak patut, menganggap hanya mencari kesalahan-kesalahan pemangku kebijakan dan tidak menimbang keberhasilannya.

Pada April 1959, Soekarno mengutarakan definisi demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin ialah demokrasi seperti dalam UUD 1945, yakni dikatakan demokrasi ‘yang’ dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kemudian pada kesempatan lain, disampaikan pula demokrasi terpimpin merupakan demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme, tanpa otokrasi diktator. Selanjutnya, Front Nasional dibentuk untuk mewujudkan demokrasi terpimpin. Front tersebut menjalankan fungsi partai sebagai satu-satunya alat saluran partisipasi rakyat dalam dunia politik. Proses-proses penyatuan pendapat dibina melalui Front ini, di mana yang “selalu benar” adalah pemerintah, tak ada tawaran lain, tak pula dikenal alternative lain.

Partisipasi atau input dari bawah (red: satu-satunya saluran partisipasi rakyat) tidak berjalan, kecuali yang sifatnya cenderung mendukung elit politik yang duduk di pemerintahan pada masa itu. Dalam keadaan ini, musyawarah dan mufakat telah hilang, yang nyata ialah dorongan mutlak atas apa yang disuarakan melalui forum Front Nasional.

Pada era ini, muncul sikap patronasi personal Soekarno, yang diketahui juga dengan istilah personal cult. Periode ini juga disebut sebagai periode pelaksanaan Undang-Undang Dasar dalam masa ekstra-ordiner. Sebab, ada penyimpangan terhadap UUD 1945; Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum (Pemilu) dan menggantikannya dengan Dewan Perwakilan rakyat Gotong Royong (DPR GR), yang diperuntukkan membantu pemerintah.

Menurut Atom Ginting, paternalisme telah tumbuh dengan sumber dari dalam periode ini, antara lain muncul istilah-istilah, seperti: membuat baba senang/asal bapak Senang (ABS).  Paternalisme ini menjadi hal yang tampaknya berumur panjang sampai ke era-era selanjutnya. Hal ini dapat dilihat melalui kesibukan persiapan penyambutan saat akan ada kunjungan oleh pejabat yang lebih tinggi. Tak jauh beda dengan aroma-aroma feodalistik yang terjadi di masa kolonial, seperti adipati-adipati yang disinggung dalam cerita epik Max Havelaar.

Demokrasi di Indonesia Pada Zaman Orde Baru (Orba) (27 Maret 1968-21 Mei 1998)

Kala pemerintah Orba lahir dan naik ke panggung politik nasional, Indonesia sedang menghadapi krisis dalam bidang politik dan ekonomi. Pada bidang politik ditandai dengan begitu banyak demonstrasi mahasiswa, pelajar, juga ormas underbow partai politik yang hidup dalam tekanan masa demokrasi terpimpin. Sedang, untuk krisis bidang ekonomi sendiri, ditandai dengan sulitnya keperluan sehari-hari dan melonjaknya harga.

Konsepsi demokrasi Pancasila yang pertama kali diberlakukan pada era Soeharto ini, menuai hal-hal kontradiktif, sebab penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Misalnya, pemusatan kekuasaan di tangan presiden yang lebih merepresentasikan otokrasi daripada demokrasi; kebebasan pers tidak berlaku sebagaimana mestinya, pun orang-orang yang mengkritik rezim, akan ditangkap atau lebih parah diculik dan terbunuh; praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) juga mewabah dan menjadi-jadi.

Sejatinya, gagasan yang ada dalam konsepsi “Demokrasi Pancasila”, pada masa Orba, memiliki amanat dan nilai yang ideal. Premisnya adalah nilai dari 5 poin pancasila yang dirasa utuh. Akan tetapi, menurut Purnamawati, dalam tulisannya Perjalanan Demokrasi di Indonesia, demokrasi pancasila pada zaman Orba hanyalah sebagai retorika dan gagasan belaka, yang belum sampai pada tataran praksis. Sebab, dalam implementasinya, rezim satu ini sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi.

Meminjam informasi dari detik.com, gagasan demokrasi di era ini berangkat dari nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Namun, demokratisasi di era ini pun kontradiktif lantaran penyimpangan-penyimpangan malah semakin mewabah, seperti; Sistem peradilan tidak independen; pelaksanaan Pemilu yang sebenarnya belum demokratis; kekuasaan eksekutif lebih besar daripada kekuasaan legislatif dan yudikatif; peran media dibatasi; perlindungan minim terhadap kelompok minoritas; dan banyak pembungkaman aspirasi rakyat serta kasus Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi polemik panjang dalam perjalanan Indonesia di masa Orba.

Berbagai penyimpangan tersebut, bukan tidak mungkin memicu krisis moneter. Pun menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pada waktu itu. Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya berbagai kerusuhan. Aksi massa dan mahasiswa untuk memaksa Presiden Soeharto lengser pun pecah besar-besaran pada tahun 1998. Setelah menelan begitu banyak aktivis dan demonstran, ujung dari gerakan ini adalah saat kurang lebih 15.000 orang berhasil mengambil alih gedung DPR/MPR pada waktu itu. Kondisi tersebut membuat Presiden Soeharto mundur dari tahtanya, kemudian diganti oleh wakilnya, B. J. Habibie.

Menilik dari sejarah perjalanan demokrasi Indonesia, dapat dilihat implementasi demokrasi yang belum sepenuhnya tercapai, dan persoalan demokrasi ideal yang memerlukan jatuh bangun negara untuk mencoba format demokrasi. Demokrasi di masa Orba telah mencapai gagasan ideal (demokrasi Pancasila), hanya saja pelaksanaannya jauh dengan gagasan awalnya. Hal yang harus digarisbawahi bersama, ialah yang seharusnya dipikirkan bukan lagi “demokrasi yang cocok”. Sebab, belajar pada Orba, demokrasi Pancasila sudah menjadi landasan yang ideal. Namun, seideal apa pun, tetap saja hal yang perlu ditekankan selanjutnya adalah implementasi pada setiap gagasan-gagasan ideal tersebut.

Maka dari itu, untuk mencapai kedaulatan rakyat, negara perlu menekankan lembaga-lembaga seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, dan juga rezim untuk menjalankan hak dan kewajiban mereka dengan semantap-mantapnya. Sebab, tidak jarang gagasan-gagasan kerakyatan seperti demokrasi hanya sebatas pada ide dan cita, tanpa dibarengi implementasi yang dijalankan sebagaimana mestinya.

Referensi:

Dewi, T. S. (2021). The Journey of Democracy in Indonesia and Citizenship Education as a Characteristic Democracy Education. 1-7.

Dr. Atom Ginting Munthe, D. M. (2002). Scholar. Retrieved from repository.unpar.ac.id: https://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/281/Orasi_Atom%20Ginting_2002%20Perjalanan_demokrasi-P.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Istiningdias, G. A. (2017). PEMIKIRAN POLITIK SOEKARNO TENTANG DEMOKRASI TERPIMPIN. 1-14.

Purnamawati, E. (2020). PERJALANAN DEMOKRASI DI INDONESIA. 1-14.

Sudrajat, A. (2016). DEMOKRASI PANCASILA dalam PERSPEKTIF SEJARAH. Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah, 1-17.

Rusadi Kantaprawira, (1983, 1985), Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Bandung, Sinar Baru.

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6603491/perkembangan-demokrasi-di-indonesia-masa-orde-lama-reformasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *