Pelaksanaan pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Moderasi Beragama oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) 2023 lalu (Sumber Foto: uinsalatiga.ac.id)
Oleh: Siti Zulaikah
Mungkin awalnya saya membayangkan bagaimana berkuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) adalah persoalan tentang pengetahuan agama. Atau mungkin, dipenuhi oleh orang-orang kalah yang tidak diterima Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP), Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT), dan Jalur mandiri Perguruan Tinggi favorit. Lalu, sisanya adalah orang-orang bimbang yang memilih kuliah atau bekerja. Pada akhirnya, mereka memutuskan berkuliah dengan beban orang tua di pundak, bersama harapan karier lebih mujur.
Selanjutnya, berlabuhlah kita pada perjalanan perkuliahan dalam masa orientasi atau Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) sebagai gerbang pertama. Setelah baju kita diseragamkan dan melihat kakak tingkat yang gagah-gagahan selama PBAK, kita berekspektasi apa untuk setidak-tidaknya 4 tahun ke depan? Saya sebagai mahasiswa semester 3, mencoba merefleksikan pengalaman berkuliah saya di sini. Alih-alih banyak berekspektasi, saya memilih menjalaninya saja. Sebab, nasib kita ke depan bukan tergantung sepenuhnya pada kampus, melainkan jerih payah diri kita sendiri.
Menginjak semester pertama lalu, saya mendapat 4 mata kuliah yang mencakup pengetahuan agama Islam. Porsi yang cukup untuk mengisi awal semester, terlebih banyak mahasiswa yang bukan dari lulusan madrasah. Saya mengira dengan masuk universitas Islam, mata kuliah tersebut akan lebih ditekankan, tapi sayangnya hanya diajarkan ala kadarnya saja. Semester berikutnya, sudah ada mata kuliah Islam yang sevariabel dengan program studi yang diambil. Namun, lagi-lagi hanya diajarkan apa adanya.
“Setelah gagal masuk PTN, sepertinya mendaftar di UIN tidaklah buruk. Dompet orang tuaku juga tidak akan terkuras.”
Kalimat tersebut merupakan secuil penenang yang sifatnya sementara, sekaligus ekspektasi yang terlintas di pikiran. Benar, itu hanyalah kalimat sementara. Sebagai anak dari seorang pedagang, yang hanya mengandalkan satu tumpuan mata pencaharian, belum lagi kedua orang tua yang harus membiayai sekolah adik yang baru saja masuk Taman Kanak-Kanak, saya rasa tidaklah sedikit nominal yang dikeluarkan. Tetapi, melihat beberapa teman yang mencoba beberapa kali untuk banding Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan berkali-kali ditolak hanya membuat saya semakin pesimis untuk mencoba hal itu.
Kehidupan kuliah yang menyenangkan seperti di film-film itu berlebihan. Kehidupan sosial yang aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi, belum tentu terpenuhi. Realitasnya, sangat minim. Hal yang disuguhkan tiap hari adalah: berita mahasiswa yang harus merasakan beban ganda sembari bekerja, mahasiswa bunuh diri karena tak bisa bayar kuliah, hingga mahasiswa yang di-drop out karena mengkritik sistem kampus yang payah. Apakah itu mengada-ngada? Jawabannya tidak. Hal itu nyata jika kamu sering baca berita. Begitulah wajah lain dunia pendidikan kita. Setelah lulus nanti, saya pun sama; tetap mengantre memakai baju putih seragam itu lagi, lalu menaruh harapan sekali lagi di kertas lamaran pekerjaan.
Jungkir Balik Demi Berkuliah
Menjadi mahasiswa memanglah suatu kebanggaan setelah menyelesaikan bangku sekolah yang sudah dilakoni sepuluh tahun lebih. Banyak dari mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi keinginan tersebut selalu saja terhalangi oleh biaya. Hal itu lumrah karena sebagian orang masih berspekulasi bahwa kuliah bisa mengubah status sosial, bahkan sampai mengentas kemiskinan. Bagi saya, sebagai seorang muslimah, menuntut ilmu bukan sependek pemahaman bisa mengubahmu bekerja apa atau menjadi tajir melintir. Bagi saya, kuliah tidak hanya sekadar belajar di kelas kemudian pulang. Ada banyak ruang-ruang yang harus terpenuhi, seperti bermasyarakat, mengasah skill dasar, networking, dan kerja sama tim. Ruang-ruang inilah yang belum tentu didapatkan di luar perkuliahan.
Satu setengah tahun menjadi mahasiswa mungkin belum mampu benar-benar menjelaskan perjalanan kuliah ini. Tapi, yang jelas, bagi saya kuliah adalah beban ganda ekonomi bagi keluarga saya. Jika pada saat liburan semester orang lain memanfaatkan untuk berlibur di pantai, museum, jalan-jalan dan menghabiskan uang, berbeda denganku yang menghabiskan waktu dua bulan untuk mencetak rupiah demi kelanjutan studi. Hari-hariku bersama orang tuaku bertumpu dalam dagang kaki lima demi menyambung hidup tiga anaknya.
Kala itu, sedang ada penertiban pedagang kaki lima dengan menggusur para pedagang yang masih berjualan di pinggir jalan maupun trotoar. Hal itu menyebabkan sejumlah pedagang kehilangan tempat dan terpaksa untuk pindah. Padahal, tidak mudah untuk mencari pelanggan di tempat baru. Orang tua yang juga seorang pedagang, mau tak mau menyewa kontrakan agar tidak digusur lagi. Harga sewanya tidak sedikit, apalagi tiap tahun bisa naik hingga satu juta. Orang tua mana yang tidak mengupayakan untuk anaknya? Meski harus digencet-gencet untuk membayar kontrakan, menanggung biaya sekolah adikku, dan harus membayar UKT serta biaya kuliah. Orang tua hanya berharap diriku lekas lulus dan segera menyelesaikan bangku kuliah, meski harus dililit hutang bank.
Dengan saya menulis cerita ini, bukan berarti saya merasa lemah dan hanya meratapi nasib. Namun, menyuarakan sosok ‘saya’ yang lain, bahkan yang lebih nestapa dalam jungkir-balik demi berkuliah. Menyandang gelar sarjana saja tidak menjamin untuk memperoleh kehidupan yang unggul dan layak. Meski kuliah digadang-gadang sebagai jembatan menuju masa depan lebih baik, tetapi masih banyak problematika dalam pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Data dari Badan Statistika Nasional, jumlah angkatan kerja berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada awal November 2023, melansir tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2023 sebesar 5,32%. Secara nominal, jumlah pengangguran terbuka per Agustus 2023, tercatat ada 7,86 juta orang. Sementara itu, penurunan pada kelompok yang pendidikan terakhirnya SMA menyentuh angka 0,4%. Sementara pada kelompok pendidikan diploma, pengangguran meningkat 0,2 % dan pada kelompok pendidikan terakhirnya sarjana universitas meningkat 0,38 %. Rendahnya kualitas pendidik, kurangnya fasilitas yang memadai, efektivitas pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, pengangguran terdidik, link and match antara pendidikan tinggi dan kebutuhan SDM di lapangan kerja menjadi serangkaian problematika yang dapat mempengaruhi kualitas lulusan nantinya.
Kuliah (Tak) Seperti di Film-Film
Tidak salah jika kita berekspektasi kehidupan kuliah yang serba berpendidikan, bebas, dan banyak hal menyenangkan. Sebab, kehidupan seperti itu memang diciptakan dan kita konsumsi di berbagai serial dan film-film. Siapa yang tidak tergiur? Jika melihat di film, orang-orang berkuliah hanya duduk santai mendengarkan penjelasan dosen bahkan profesor di kelas. Kemudian, mereka bertukar pikiran, lalu pergi nongkrong dan asyik bergosip masalah percintaan atau situasi politik hari ini.
Nyatanya, kuliah di UIN Salatiga agaknya berbeda. Beberapa dosen masih kedapatan mengajar kelas online dengan berbagai alasan, walaupun pandemi sudah berlalu. Beberapa lainnya dipaksa universitas untuk mengajar, tanpa melihat ranah keilmuannya yang tidak sesuai dengan mata kuliah yang diampu. Hari-hari berikutnya dipenuhi kegiatan kuliah yang membosankan, terpaku dalam siklus kontrak kerja belajar, pembagian kelompok, dan presentasi. Begitu-begitu saja diulangi tiap semester. Pertanyaan saya: mencerdaskan dari mananya kalau kita tidak ditambah cari ilmu di luar perkuliahan?
Hari-hari kita hanya diisi dengan duduk di kelas, dari pagi hingga penghujung hari. Bahkan, seharian kita di kelas, belum tentu kita dapat penjelasan dari dosen. Setiap hari mendengarkan presentasi dari teman-teman template yang copas dari internet. Lalu, setelah kelas selesai, harus mengerjakan tugas-tugas. Mana sempat ngopi cantik? Beberapa dosen menuntut agar mahasiswanya bisa berpikir kritis, akan tetapi tidak mudah bagi seseorang untuk bisa langsung menerapkan hal itu jika tidak pernah dilatih. Lihat saja, di kampus kami tidak ada yang namanya budaya membaca, menulis, dan berdiskusi. Budaya seperti itu dapat menumbuhkan nalar kritis, responsif, serta solutif, namun tidak diterapkan di sini.
Selama satu setengah tahun terakhir, tidak sepenuhnya saya hanya mendapat pengalaman yang pahit. Namun, di sini penulis mencoba merefleksikan dan memberikan catatan kritis tentang bagaimana pendidikan tinggi bukan sekadar barang jualan. Promosi perguruan tinggi harusnya lebih jujur, bahwa tidak semua mahasiswa berkesempatan meraih masa depannya yang gemilang. Sebab, sejujurnya saya hanya menjalani hari-hari berat ini dengan tersenyum, tanpa harus berekspektasi berlebih terhadap dunia perkuliahan.