Kuliah (Tak) Seperti di Film-Film, Apalagi di UIN? Bagian: Kedua

Wisuda perdana usai menyandang label UIN (Sumber Foto: uinsalatiga.ac.id)

Oleh: Fatah Akrom

Tulisan Kuliah (Tak) Seperti di Film-Film, Apalagi di UIN? Bukan bagian dari narasi pesimistis dan kebencian. Justru, narasi alternatif dan kritik harus terus digulirkan di tengah persepsi arus utama. Alih fungsi status UIN bukan hanya diartikan dengan gencarnya pembangunan gedung bertingkat, melainkan membangun fungsi mahasiswa yang sebenar-benarnya insan cendekia. Melanjutkan keresahan tulisan sebelumnya, saya sebagai mahasiswa akhir, mewakili beberapa keresahan yang menumpuk beberapa tahun yang lalu. Tahun terakhir duduk di bangku kuliah, tepatnya selama skripsi dan menuju wisuda, mungkin jadi babak pertaruhan selama berkuliah. Hal paling menakutkan dari skripsi, bagi saya bukan tidak lulus tepat waktu, namun mahasiswa kehilangan konteks perkuliahannya.

Bayangkan jika 140 lebih SKS yang ditempuh selama 4 tahun itu belum tentu bisa membantu mahasiswa bisa melakukan penelitian skripsi dengan baik dan benar. Syukur-syukur mahasiswa bisa menulis dengan EYD dan metodologi itu sudah Alhamdullilah. Sebuah sistem akademisi yang longgar, menciptakan bumerang bagi kampus sendiri, jika yang dikejar hanya akreditasi, bukan upaya pemulihan kualitas penelitian mahasiswanya. Alhasil, budaya joki skripsi jadi primadona mahasiswa yang sudah patah arang. Pemahaman pragmatisme ”Asal Skripsi Selesai“ mungkin jadi salah satu langkah mundur wajah pendidikan tinggi. Selanjutnya, alih-alih kita malu, malahan merayakan penelitian kosong tanpa nilai itu dengan menyewa fotografer andalan, serta baju toga dan bunga terbaik di wisuda. Seakan-akan bahwa kita benar-benar belajar sungguhan.

Habis Lulus Sepah dibuang

Pikiran ”Asal Skripsi Selesai“, selain mengambil etika dan nilai dalam sistem pendidikan, ada konsekuensi yang mungkin jauh lebih terasa bagi mahasiswa setelah lulus nantinya. Hal yang saya maksud adalah kualitas lulusan kampus itu sendiri. Kampus tidak boleh mengimajinasikan, sama halnya dengan produk kemasan pabrik dari bahan mentah, menjadi sarjana tanggung yang kebingungan. Pendidikan yang disandarkan dalam profit, akan jatuh dalam kubangan sistem kapitalisme teknokratik. Sistem tersebut membalut mahasiswanya untuk beradaptasi dengan masyarakat industri, dengan analogi sederhananya bahwa saya berkuliah hanya untuk menjadi buruh di setiap pabrik-pabrik yang sudah disiapkan.

Bagi saya, hal ini sangat terasa dampaknya sebagai mahasiswa akhir. Saya melakukan survei kecil-kecilan, dengan menanyakan 1 dari 10 mahasiswa Prodi Sejarah Peradaban Islam semester akhir dengan pertanyaan: apa yang kamu lakukan setelah ini? Rata-rata jawabannya adalah kebingungan, bahkan tidak ada dari separuhnya yang berminat untuk bekerja atau melanjutkan studi secara linier dengan ilmu pengetahuan yang mereka pelajari selama 4 tahun. Alangkah sia-sianya, jika kuliah hanya dilakukan sambil lalu begitu saja. Memang ini pekerjaan rumah yang selesai sehari jadi bagi universitas. Namun, selemah-lemahnya iman kita menyadari, menurut saya, sebuah keharusan bagi universitas membuat lulusannya dapat memahami esensi pendidikan tinggi secara luhur.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.3 Tahun 2020 menetapkan, mahasiswa dinyatakan lulus dengan predikat pujian apabila mencapai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lebih dari 3,50. Aturan ini justru jadi alasan banyak dosen memberi nilai tinggi dengan gampangnya. Hal yang paling menakutkan adalah ketidakjujuran penilaian terhadap mahasiswa yang memang tidak layak mendapatkan nilai sesuai dengan kapasitasnya. Budaya ini jika dibiarkan akan memperparah kualitas lulusan kampusnya.

Segala carut marut pekerjaan rumah, sebenarnya bukan hanya pada integrasi universitas memandang pendidikan tinggi seperti apa? Namun, akibatnya justru kembali ke mahasiswa yang kehilangan kepercayaan diri untuk bersaing dalam pendaftaran pekerjaan di sebuah perusahaan yang berkualitas. Bahkan, merasa tidak mampu secara kapasitas, jika melanjutkan studi ke universitas ternama.

Krisis Iklim Intelektual

Kita mungkin tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Fenomena ini bukan hanya masalah etika dan nilai, melainkan masalah struktural yang secara hegemoni mereduksi kultur akademiknya, sebagai wajah lain dari neoliberalisme pendidikan tinggi. Pendidikan mengalami delegitimasi sebagai hak bagi warga negara. Proses pembelajaran dan produksi pengetahuan yang demokratis dengan semangat nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan, kepentingan umum menjadi orientasinya. Kampus berada dalam musim paceklik iklim intelektual, ya, selain seminar-seminar berbayar dengan harapan mendapatkan sertifikat, itu saja.

Saya menyadari satu-satunya hal yang saya syukuri berkuliah di UIN Salatiga, hanya karena semua orang masih punya kesempatan yang sama untuk merasakan pendidikan tinggi. Mulai dari anak petani, pedagang asongan, dan tukang parkir masih mampu membayar akomodasi perkuliahan yang relatif murah. Justru karena rata-rata mahasiswa dari status sosial menengah ke bawah harusnya kampus mampu menciptakan ”Iklim Intelektual Wong Cilik“. Sebuah harapan yang tidak ambisius, karena selain berharap kuliah mampu mengubah nasib, Wong Cilik perlu keluar dari masalah sehari-harinya.

Kampus harus kembali turun di tengah masyarakat untuk mengabdikan diri, merespons kompleksitas dan akumulasi permasalahan yang dihadapinya. Bagaimana harga kebutuhan pokok yang semakin mahal dan tidak terjangkau, sehingga memaksa Wong Cilik hidup dalam kebingungan mengepulkan dapur untuk makan. Infrastruktur yang setiap tahun mereka bayar lewat pajak, dengan harapan ada perubahan, masih diliputi kebobrokan. Sirkulasi kapital yang tidak merata, yang mulai menjangkiti desa juga membuat ketimpangan sosial semakin nyata. Sebab, jika Wong Cilik hanya berharap bantuan pemerintah, rasanya kita akan semakin kecil karena menjadikan masyarakat ketergantungan. Intelektual Wong Cilik harus menjawab dengan terobosan-terobosan dan mampu menyampaikan suara-suara sumbang. Mengutip dengan apa yang dikatakan oleh Tan Malaka sebagai Bapak Republik dalam buku Madilog.

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”

Akhir kata, dibaca atau pun tidak oleh pihak universitas, penulis berusaha membaca realitas yang ada. Saya yakin, di setiap kehidupan yang senjang akan hadir sekelompok atau individu yang mencoba keluar keterpurukan itu. Publik kampus harus menyadari bahwa pemilik hak, berhak bersuara lebih keras. Mekanisme protes adalah bagian dari jantung demokrasi itu sendiri. Sebab, yang utama bukan menang atau kalah, namun melawan dan menyadari ketertindasan. Sikap itu lebih mulia daripada harus dikangkangi nasib sial setiap harinya dengan tangan menengadah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *