Kematian dan Hal-Hal Lain dalam Memori Album “Woh” Sisir Tanah

Sumber Foto: Laras.or.id.

Oleh: Fatah Akrom

Dari album ini saya belajar bahwa hidup masih layak kita upayakan dengan memori dan perasaan-perasaan lainnya.

Semua dimulai dari tak kesengajaanku membuka beberapa kenangan di ponsel Samsung J2 Prime yang pernah berjaya itu, beberapa manusia memang suka tertinggal dalam kehidupan masa lalunya. Berkas file dengan format MP.3 mengunduh full album “Woh” Sisir Tanah. Pernah jadi playlist andalan akhir 2019 sampai tahun 2020, itu pun mungkin sudah mulai terkubur beserta bangkai kisah hidup yang sudah mengering.

Sisir Tanah dinamai dari salah satu jenis perkakas pertanian, Garu. Sebuah kayu yang menyerupai garpu yang menancap pada tanah lalu disandarkan pada sapi untuk membajak sawah saat sebelum di tanami padi. Proyek Sisir Tanah yang mewadahi karya Bagus Dwi Danto membagikan karyanya sejak 2010, unit Folk asal Yogyakarta ini akhirnya memutuskan untuk merekam album pertama pada usianya yang ketujuh pada tahun 2017.

Entah bagaimana, Sisir Tanah bagi saya adalah salah satu mantra yang merubah diri dalam pemaknaan hidup. Musik yang sederhana dengan petik gitar seperlunya, suara vokal yang jujur seolah menjadi medium cerita dan berkumpul bagi orang-orang kalah. “Woh” yang dalam bahasa Jawa berarti ‘buah’ menjadi simbol hasil dari kerja keras akar dan daun dalam upaya meneruskan hidup yang memang layak untuk diteruskan. Sisir Tanah seolah membawa bejana berisi kemarahan, Jatuh cinta, kemuakan atas keserakahan, Harapan dengan narasi sarkasme, simbol-simbol sederhana dan termasuk pada berbagai masalah sosial terasa dekat dengan kalbu pendengarnya.

Akhir 2019 saat semua kekacauan dimulai, pandemi Covid-19 mengetarkan lebih dari separuh penduduk bumi dan mengobral lebih dari 16 juta nyawa manusia lalu merubah persepsi orang tentang dunia yang mereka agung-agungkan selama ini. Walau terpaut telat 2 tahun mendengarkan album “Woh”, Sisir Tanah benar-benar menemani saya diwaktu yang tepat di saat nyawa tak tau habis nanti atau besok pagi.

Hidup terisolasi dalam kamar kost ukuran 3×4 meter, dengan diagnosis positif Covid-19 tanpa orang-orang rumah mengetahui hal itu bagi saya adalah penderitaan.  Berbulan-bulan manusia teraleniasi dari kebiasaannya, semua serba terbatas. Batuk menahun, tunggakan kost, tangungan kuliah dan orangtua. Rasa-rasanya mengakhiri hidup saat itu rasanya sudah punya cukup alasan.

Untungnya keinginan itu hanya pada perasaan saja, rasa-rasanya saya masih benar-benar mencintai orang-orang terdekatku. Demi melanjutkan hidup seperti sediakala walau meski ditemani tangis, kesedihan, dan kesendirian, saya mulai menyibukan diri mulai dari membaca beberapa buku, menulis, menonton, dan mendengarkan musik. 

Semenjak itulah sisir tanah mengambil alih dalam pemaknaan hidupku.

Menyemai kebangkitan Hidup

Album “Woh” berisikan 10 lagu dan ditulis seluruhnya oleh Bagus Dwi Danto Sedangkan aransemen seluruh lagu tersebut disusun dengan arahan musikal dari Doni Kurniawan (Alldint, Risky Summerbee and the Honeythief, Music For Everyone) dan Bagus Dwi Danto bersama para musisi: Ragipta Utama (gitar), Nadya Hatta (keyboard), Faizal Aditya Rachman (bass), Indra Agung Hanifah (drum), Erson Padapiran (terompet), Justitias Jelita Zulkarnain (cello), Asrie Tresnady (sitar), Yussan Ahmad Fauzi (tanpura), dan Jasmine Alvinia Savitri (penyanyi latar). 

Kita mulai dari lagu Hidup, lirik yang tidak neko-neko namun kompleks, mengambil unsur-unsur kehidupan yang tanpanya kita bukan apa-apa (tanah, air dan udara). Tangga lagu pertama ini menyuguhkan bagaimana kita manusia wajib menjaga ruang hidup dalam carut marut pembangunan dengan dalih modernitas dan keberlanjutan.

Jika kau masih cinta kawan dan saudara // Jika kau masih cinta kampung halamanmu

// Jika kau cinta jiwa raga yang merdeka // Tetap saling melindungi

 Membawa perasaan welas asih pada sesama dan kampung halamannya, dan setelahnya kita wajib marah kepada keserakahan dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Toh, menjaga ruang hidup adalah menjaga keberlanjutan yang sesungguhnya.

Kedua Obituari Air Mata. Bagian ini, Sisir Tanah berhasil merekam bagaimana setiap manusia menjadikan tangis bagian dari sebuah perjuangan hidup. Alih-alih saya mengingat bahwa dunia sesak dan tak layak huni, harusnya kita juga lebih mengingatkan sejauh tangis-tangis yang lalu kita sudah mengupayakannya sampai saat ini.

Kita tuan pada masing-masing // Pengorbanan-pengorbanan

// Kita tuan pada masing-masing // Penyesalan-penyesalan

// Air mata kenapa kau harus menangis // Lihat di hati kita di hati kita di hati kita // Lihat siapa yang mati siapa yang mati siapa yang mati

Official Music Video Sisir Tanah – Obituari Air Mata di YouTube, https://youtu.be/IXwStXDmmFE?si=jEZDt7yg29jhfBAk

Lalu Lagu Wajib. Walau terdengar hanya seperti tanya jawab, saya memaknai ini sesuatu yang fundalmental. Mendegarkan Sisir Tanah berarti menjadi diri sendiri, kapan kita terakhir mengobrol dengan dirimu sendiri? Cinta tak benar-benar dapat memperdayamu jika kamu tau bahwa mengambil cinta berarti sama halnya memesan paket komplit nasi cinta dan sayur luka, lagu itu menjawab.

Yang wajib dari tanya adalah kita // Yang wajib dari kita adalah cinta

// Yang wajib dari cinta adalah mesra // Yang wajib dari mesra adalah rasa

// Yang tak wajib dari rasa adalah luka // Adalah luka, adalah luka, adalah luka

Selanjutnya Kita Mungkin, lagu yang lebih cocok di dengarkan di sore lelah yang menjemput paksa. Tangga keempat album ini memberikan waktu dirimu menyeka peluh, dan membawa pada peneriaan diri.

Kita mungkin bertemunya mata air // Mungkin pula sungai yang mengalir

Kita mungkin hanya jejak luka // Yang letakkan letih sebentar

Saya kira lagu ini mewakili kebingungan diri atas situasi zaman, preassure membuat beberapa orang tunggang langgang mengejar standarisasi hidup orang lain dan justru kita kehilangan diri sendiri, sosok pertama, jujur dan paling tau tentang kapasitas diri. Lagu ini cukup kuat menarasikan gejolak perbedaan diri, merajam dosa atau merawat doa.

Lagu Bahagia, Mendengarkan ini saya menjadi anak muda lagi. Mabuk dalam lautan cinta yang naif, lalu berenang makna dalam pengandaian fungsi tubuh.

Jika aku adalah cinta // Aku hanya ingin mencinta //

Menjadi kupu-kupu (menjadi kupu-kupu) // Menjadi kupu-kupu di perutmu //

Menjadi bunga-bunga di benakmu

Barangkali mabuk yang satu ini mungkin paling diminati oleh manusia, di mana kita bisa jadi remaja lebih lama dan boleh galau karena cinta.

Lagu Pejalan, dari keseluruhan Lagu Pejalan mengambil semua energi sedih. Ambiance membawa memori-memori pahit dihidup saya. Lagu ini menggambarkan perasaan kelelahan dan kebingungan, memotret jelas manusia modern dengan laju hidup yang cepat. Hidup memaksa kita tetap dan selalu berjalan dengan segala kondisinya, manusia dalam riuh, ragu dan tak mampu atau riang, ringkih, rumit dan terhimpit. Pengambilan diksi lagu pejalan menjadi terasa sangat reflektif bagi sebagian orang yang kalah sebelum memulai menjemput masa depannya, namun semua itu harus kita pertahankan.

Siapakah kita ini, manusia // Yang dalam diam, riuh, ragu, dan tak mampu

// Ada rahasia, tidak rahasia // Ada di sini ada di situ // Diseret-seret waktu

Selain itu Lagu Pejalan membawa pada pengalaman spirutual, menanyakan kembali siapa dan apa peran manusia di muka bumi ini? Merekam jelas bahwa manusia modern tanpa rasa dan ego pribadi tanpa mengenali sekitar bahkan dirinya sendiri. Memandang langit-langit kamar dengan lampu yang sayup-sayup atau dalam perjalanan sepulang beraktivitas mendengar lagu pejalan sama-sama magisnya. 

Lagu Romantis, perasaan pada lagu ini adalah kehangatan. Lagu ini sama rasanya dengan saat-saat jatuh cinta dengan seseorang namun tidak alay, secukupnya.

Kasih melangkah denganku // Lalui luka hadapi gelap

// Kasih pegang erat tanganku // Nikmati kita tanpa air mata

Walaupun terasa romantis Lagu Romantis masih meninggalkan kesan laku cinta yang absurd yang kita alami sehari-hari.

Konservasi Konflik adalah akmulasi keterwakilan kemarahan. Walaupun beberapa lirik masih meninggalkan kesan sarkasme dan absurditas, namun secara sikap jelas Sisir Tanah menpresentasikan siapa yang patut kita marahi atas carut marut kehidupan sosial budaya di negara ini. Lagu dengan durasi 11.34 menit ini rasanya kamu didengarkan identifikasi tata sosial dan identitas masyarakat dengan realitas fenomena, simbol-simbol, benda dan pekerjaan masyarakat kecil.  Meski panjang dengan pengalaman mendengarkan musikalisasi puisinya saya masih merasa liriknya padat dan harus disimak sampai akhir.

Coblos Brengosnya! // Kata spanduk di atas bengkel sepeda motor

// Jangan kaget dengan akrobat // Hidup memang dijejali antivirus dan mini market

// Seakan-akan tak pernah ada dingklik bambu reot

 // Yang menyangga tubuh-tubuh tua di pasar Bringharjo

// Senyum mereka yang paling ujung cuma harga sebuah kuas seorang pelukis

Walau berjudul Lagu Lelah malahan pendengar kembali menemukan beberapa lirik yang sederhana namun manis, mewakili ekspresi lelah dengan senyum simpul.  Dari keselurah lirik ini menurtku yang paling puitis dan kuat.

Berjumpa jejakmu // Curiga sia-sia di punggung ragu

// Lega dipandang telah hadir lelah // Sesat hidup kesunyian sampah bicara

// Bahasa kita sembunyi benar // Bunyi bohong

Terakhir, Sisir Tanah bercerita tentang keberanian menjelmakan mimpi jadi kenyataan dalam Lagu Baik. Bagi Sisir Tanah, hidup adalah keadaan terberi yang mau tak mau harus dijalani. Seumpama sedih, katanya, hidup memang tugas manusia. Kelelahan akan datang sesekali, namun jika kamu lelah, janganlah terlalu putus asa karena setidaknya kamu masih punya banyak waktu.

Seumpama sedih // Hidup memang tugas manusia

// Dan jangan ada benar // Tak akan pernah ada

// Tempat yang sungguh merdeka // Seumpama lelah masih tersisa banyak waktu

// Menjelmakan mimpi // Menggerakan kawan

// Hadirkan perubahan

Esensi keberadaan manusia adalah perjalanan terus menerus untuk menjajaki setiap pintu yang terbuka dan tertutup. Hidup menjadi punya nilai dan arti ketika ia disusun oleh ketidaktahuan serta keingintahuan. Untuk hidup yang baik dan bersemangat itu, Sisir Tanah memberikan pesan agar kita membakar peta hidup yang sudah dan terus kita buat. Dan untuk membakar peta(-peta) itu, kita butuh keberanian.

Sisir Tanah Adalah Monumen

Rabu, 9 September 2020. Sisir Tanah mengumumkan bahwa proyek musik yang sudah dijalani lebih kurang 10 tahun ini dinyatakan telah selesai. Sedih sudah pasti, karena saya masih setia menantikan karya terbarunya. Namun bagaimanapun, saya tidak memiliki hak untuk menganggu keputusan perihal jalan yang sudah diputuskan oleh Sisir Tanah.

Beberapa bulan kemudian ada kabar baik, dengan format solo, Sisir Tanah bertranformasi dengan namanya sendiri, Bagus Dwi Danto. Menyusul kabar dengan album perdananya yang berjudul ‘Kudu’ disajikan dengan konsep kaya unsur nature ambience seperti bunyi-bunyi di pesawahan, pantai, perpustakaan, dan kebun di Bali yang direkam pertengahan Febuari 2021. Sempat merilis tour album kudu namun tiba-tiba dibatalkan tanpa saya tau alasannya dan sempat hiatus di sosial media beberapa saat. Tahun 2023, Bagus Dwi Danto tatiba merilis single dengan nama Lagu Sadar, menjadi tanda atau apalah itu aku sangat menunggunya.

Satu hal yang menjadi kekurangan Sisir Tanah, mendengarkan Sisir Tanah secara langsung bagi saya tak semudah mendengarkannya di paltform digital. Sisir Tanah punya regulasinya sendiri Mereka sangat menolak untuk bermain atau tampil di acara yang disponsori ataupun diundang oleh korporasi yang tidak ramah lingkungan. Karena itu akan sama saja dengan mendukung aksi perusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Menurut saya, hal ini sesuai dengan semangat yang dibawa oleh Sisir Tanah yang memang banyak bicara perihal alam dan isu lingkungan.

Pertemuan pertama saya pada pertengahan tahun 2021 disebuah acara amal penanaman pohon di Gunung Telomoyo, lalu juga sempat mengisi dalam pameran foto dan diskusi tentang konservasi lingkungan Danau Rawa Pening. Selanjutnya beberapa kali melihat Mas Danto berjalan kaki membawa tas ransel menyusuri trotoar di jalan jetis, Salatiga.

Bisa dibilang saya fans amatiran, entah karena merasa malu atau ragu disetip kesempatan saya takut menghampiri untuk bersua foto atau bahkan mengobrol. Saya berfikir mungkin semua bisa jadi tak begitu istimewa jika saya harus tau semuannya. Tapi saya berkesimpulan menjadi pendengar yang baik bagi saya mencukupkan berkomunikasi dengan karyanya dan menanifestasikan dalam kehidupan, itu sudah mencukupi.

Terima kasih Sisir Tanah,

Terima Kasih Mas Danto.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *