Sumber Foto: KITLV (Pramuka di Jawa tahun 1930)
Oleh: Faiz Alfa
Gerakan pramuka di Indonesia memiliki sejarah panjang. Lebih dari seabad lalu, pemerintah kolonial mendirikan Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO), sebuah organisasi kepanduan Belanda, di Batavia pada tahun 1912.
Berdirinya NPO memicu terbentuknya berbagai gerakan kepanduan pribumi, seperti Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) (1916) dan Krida Muda (1934) yang didirikan di Kadipaten Mangkunegaran.
Namun, dalam perjalanannya, hubungan JPO dan Krida Muda tidak berjalan baik. Konflik sempat terjadi antar dua gerakan kepanduan pribumi tersebut.
Konflik itu dijelaskan oleh Weda Windiarti dalam artikelnya: Gerakan Kepanduan di Mangkunegaran 1916-1942: Akhir Persaingan Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) dengan Krida Muda dalam jurnal Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah, Vol. 11, no. 2 (2020).
Weda menjelaskan awal mula terbentuknya JPO dan Krida Muda, pemicu konflik, resolusi konflik, serta perbedaan dan berakhirnya konflik antar keduanya.
Berdirinya JPO dan Krida Muda
Pemerintah kolonial Belanda meminta agar Mangkunegara VII menitahkan kawula-nya supaya bergabung menjadi anggota NPO, yang kemudian berubah nama menjadi Nederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIPV).
Organisasi tersebut ditujukan untuk anak-anak orang kulit putih dan bertujuan untuk mendidik remaja Nederland-India agar setia terhadap Ratu Belanda, menjadi warga negara yang baik dengan mematuhi dan menghormati otoritas yang sah, bertanggung jawab, berwibawa, penuh kebaikan dan penolong, dan mencintai alam
Mangkunegara VII risau dengan permintaan itu, karena NIPV didirikan untuk tujuan mendidik remaja Hindia Belanda agar setia kepada Ratu Belanda. Selain itu, NIPV bertujuan untuk menjadikan mereka sebagai warga negara yang mematuhi otoritas yang sah, dalam hal ini pemerintah kolonial.
Dikhawatirkan, anak-anak pribumi lebih cinta kepada negeri yang menjajahnya.
Penguasa Kadipaten Mangkunegaran tahun 1916-1944 itu kemudian memprakarsai pembentukan JPO pada September 1916 di Solo. JPO didirikan untuk tujuan mendidik dan mengarahkan anak-anak dalam membentuk kepribadian dan keterampilan olah tubuh, agar menjadi penduduk yang berguna.
Sebelum menjadi anggota JPO, calon anggota harus menguasai berbagai keterampilan kepanduan. Contohnya adalah baris-berbaris, bertahan hidup di alam liar, perawatan orang sakit dan kecelakaan, serta menggunakan alat-alat kemah. Setelah menjadi anggota, keterampilan itu terus diasah dalam kegiatan-kegiatan JPO.
Sementara itu, Krida Muda didirikan oleh Pakempalan Kawula Mangkunegaran (PKMN) pada tahun 1934. Dilatarbelakangi oleh propaganda Pakempalan Kawula Surakarta (PKS) di wilayah Mangkunegaran, PKMN membentuk Krida Muda sebagai gerakan kepanduan untuk menghalaunya.
PKS dicurigai menjadi kepanjangan tangan Kasunanan Surakarta untuk menganeksasi wilayah Mangkunegaran. Setelah konflik PKMN-PKS selesai, Krida Muda mengembangkan organisasinya dengan membentuk cabang di berbagai wilayah Mangkunegaran.
Tujuan organisasinya pun berubah, tidak hanya sebatas menghalau pengaruh PKS. Lebih dari itu, Krida Muda ingin membimbing para pemuda Jawa supaya bisa menjadi masyarakat yang baik dan berguna di Kadipaten Mangkunegaran.
Selain diajari keterampilan kepanduan, anggota Krida Muda dituntun untuk mempelajari berbagai muatan lokal. Contohnya adalah mempelajari Babad Mangkunegaran, Babad Tanah Djawi, Babad Donja; karawitan, pedalangan, tari, dan tembang.
Awal Mula Konflik
Dalam perjalanannya, perkembangan Krida Muda begitu pesat, sehingga perkembangan JPO terlihat tidak terlalu signifikan. Dalam menebarkan pengaruhnya di wilayah Mangkunegaran, JPO dan Krida Muda terlibat persaingan yang berbuntut pada perebutan wilayah.
Pada tahun 1936, JPO mengirim surat kepada Patih Mangkunegaran untuk mengadukan permasalahannya dengan Krida Muda. JPO menginginkan agar Krida Muda tidak mendirikan cabang di kapanewon (daerah di bawah kadipaten) yang sudah ada JPO-nya. Selain itu, Krida Muda diminta menghentikan kegiatan di Tasikmadu, karena di sana sudah berdiri JPO.
Namun, Krida Muda tetap melakukan kegiatan dan bahkan mendirikan cabang di Tasikmadu.
Untuk mengentikan konflik itu, muncul wacana di tengah masyarakat untuk menggabungkan JPO dan Krida Muda menjadi satu organisasi. Patih Mangkunegaran dengan serta-merta menolak wacana itu. Menurutnya, JPO dan Krida muda memiliki banyak perbedaan yang sulit disatukan.
Perbedaan JPO dan Krida Muda
Penolakan itu juga datang dari pihak JPO. Bagi mereka, penggabungan itu akan menurunkan kualitas gerakan kepanduan yang akan dibentuk. Sebab, anggota JPO memikiki kualifikasi pendidikan yang sudah ditentukan, yaitu seorang pandu sekurang-kurangnya sudah bersekolah tingkat 4 dan bisa baca-tulis.
Sedangkan, Krida Muda tidak memiliki kualifikasi semacam itu. Masih banyak anggotanya yang sama sekali tidak bisa baca-tulis, tidak lulus sekolah, dan tidak pernah menjalani pendidikan formal seperti MULO (sekolah menengah pertama di masa kolonial Belanda) atau HIS (setingkat SD).
Perbedaan yang paling mencolok antara keduanya adalah JPO diprakarsai oleh kaum ningrat (bangsawan), sedangkan Krida Muda diprakarsai oleh kaum kromo (rakyat jelata).
Resolusi Konflik
Karena tidak dapat terselesaikan oleh patih, masalah ini pun ditangani langsung oleh Adipati Mangkunegara VII. Adipati bernama asli Raden Mas Soerjosoeparto itu membentuk Hoge Raad dan Mangkunagaransche Jeugd Organisatie Commissie (MNJOC) pada 17 Agustus dan 28 September 1937.
MNJOC merupakan kepanjangan tangan Hoge Raad dalam mengawasi serta mengatur JPO dan Krida Muda. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Centraalbestuur-Mangkunagaransche Jeugd Organisatie (CB-MNJO) pada 25 Juni 1939.
Kali ini, CB-MNJO tidak hanya mengurusi JPO dan Krida Muda saja. Lebih dari itu, lembaga ini bertugas memimpin, mengatur, dan mengawasi seluruh organisasi kepemudaan di Kadipaten Mangkunegaran.
CB-MNJO juga memiliki fungsi ganda. Pertama, menyampaikan segala perintah dari Kadipaten kepada seluruh organisasi kepemudaan di Mangkunegaran. Kedua, menyampaikan segala aspirasi organisasi kepemudaan kepada Pemerintah Kadipaten Mangkunegaran.
Akhir Konflik
Tidak berhenti di situ, CB-MNJO diberi kewenangan oleh Adipati Mangkunegara VII untuk mengambil keputusan dan tindakan atas nama Pemerintah Mangkunegaran. Dengan wewenang ini, perseteruan antara JPO-Krida Muda dapat diredam oleh CB-MNJO, meskipun konflik tidak selesai sepenuhnya.
Konflik JPO-Krida Muda baru benar-benar berakhir pada April tahun 1942. Ketika Jepang menduduki Hindia-Belanda, JPO dan Krida Muda dibubarkan.
Intermezzo: Asal Usul Istilah “Pramuka”
Saat banyak gerakan kepanduan pribumi terbentuk, pemerintah kolonial mengajak mereka untuk menggabungkan diri dengan gerakan kepanduan Belanda. Namun, mereka menolak ajakan itu. Akibatnya, Belanda melarang mereka mengemukakan istilah “padvinders” sebagai nama gerakan. Itu terjadi pada tahun 1920-an.
Agus Salim kemudian mengusulkan agar dipakai istilah “pandu” sebagai pengganti “padvinders”. Usul itu banyak disetujui dan digunakan. Contohnya ada pada perubahan nama gerakan kepanduan bentukan Jong Java cabang Yogyakarta, dari Jong Java Padvinderij (JJP) pada 1922 menjadi Pandu Kebangsaan pada 1928.
Pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno merasa bahwa gerakan kepanduan di Indonesia harus diperbaiki. Kemudian, melalui Keppres No 238/1961, Gerakan Kepanduan Indonesai resmi diubah menjadi Gerakan Praja Muda Karana (Pramuka) dan 14 Agustus ditetapkan sebagai Hari Pramuka Nasional.