Generasi Penerus Bangsa: Banyak Gaya Kosong Isinya?

Sumber Foto: Pinterest

Oleh: Destian Wirda

Sistem pendidikan di Indonesia yang disajikan dalam bentuk kurikulum telah mengalami banyak perubahan. Mulai dari Kurikulum 2013 sampai terbentuknya program Merdeka Belajar, Indonesia sudah melakukan pendekatan top down dan buttom up. Ternyata keduanya saling berikatan dan memiliki orientasi yang sama dalam mencerdaskan bangsa.

 Dilansir dari kompas.com, pendekatan top down adalah pendekatan dari atas ke bawah. Dimana guru sebagai subjek utama suatu proses pembelajaran. Sedangkan murid hanya sebatas pengamat dan melakukan analisis tanpa didorong dengan daya kritis yang tinggi. Selain itu, pendekatan buttom up sendiri memang belum sepenuhnya berjalan. Sebab, pendekatan buttom up memiliki waktu yang lama dan beberapa resiko yang harus siap dihadapi bersama-sama.

Merdeka belajar yang diberlakukan oleh Nadiem Makarim, sebagai bentuk revolusi nyata dunia pendidikan menuai kontra yang tidak signifikan. Bahkan sampai saaat ini, merdeka belajar masih diperdebatkan bagi kelangsungan sistematika pendidikan di Indonesia. Melalui program ini, Nadiem Makarim ingin kualitas sumber daya manusia dapat meningkat dan bersaing dengan negara lain. Gagasan serta ide-ide lain yang muncul dari mantan CEO Gojek ini, bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan tanpa adanya suatu tujuan yang jelas.

Menurut worldtop20.org, sistem pendidikan di Indonesia masih menetap pada peringkat ke-67 dan dengan julukannya sebagai negara berliterasi rendah. Untuk mencapai konstruksi belajar yang bermutu, Indonesia juga memerlukan budidaya pemahaman mengenai urgensi belajar beserta kontennya. Namun, bukan hanya sebatas bagaimana sistem pendidikan itu disajikan, tetapi juga bagaimana seluruh pihak yang menjadi sasarannya dapat melaksanakannya secara profesional.

Segala bentuk cita-cita bangsa termasuk orientasi negara di masa depan, bukan hanya mengandalkan suatu teori yang berkelas. Untuk itu, peran masyarakat dalam berkontribusi membangun kesepemahaman Tut Wuri Handayani perlu diolah kembali. Kesepemahaman dan peran yang dimaksud adalah dimana guru atau tenaga pendidik yang terus menerus mendorong, menopang, serta mengarahkan bentuk implementasi pendidikan terhadap anak.

Bagaimanapun Indonesia memberikan sebuah solusi dan revolusi tanpa adanya sumber daya manusia yang mumpuni, pendidikan akan selalu menjadi urutan terbawah mencapai konstitusi. Benarkah kita juga harus mengorbankan satu generasi bodoh dengan adanya program Nadiem Makarim? Jawabannya tentu saja tidak.

Pemikiran yang sempit membuat masyarakat tidak berkembang dan menahan diri. Dari sini, pendidikan yang sumbernya bukan hanya pada bangku sekolah juga perlu ditelaah kembali. Masa depan Indonesia tergantung kepada masyarakat terutama generasi muda saat ini yang memang diorientasikan menuju Indonesia Emas 2045.

Pemahaman mengenai sistem pendidikan yang diberikan dianggap tidak dapat memanusiakan manusia dengan semestinya. Mereka bercondong pada kebutuhan industri, dimana masyarakat dituntut untuk memenuhi kebutuhan zaman, bukan masyarakat yang memberikan kebutuhan pada zaman. Dalam hal ini, sistem pendidikan dan segala kaitannya, termasuk pendidik serta sumber daya manusianya selalu berstandar pada “proses perbaikan”.

Koalisi pendidikan berkisar tentang mindset, bagaimana seseorang berpendidikan dapat berkontribusi penuh mengubah mindset bukan sebatas memperoleh ijazah dan validasi dari orang lain. Apabila hanya ingin mencapai bentuk konkret hitam di atas kertas saja, tidak perlu berpendidikan tinggi. Semua bisa dibeli dengan mudahnya.

Namun pendidikan bukan berporos hanya pada uang dan kekuasaan. Melainkan membentuk personal yang berkualitas dan berpihak pada kendali diri. Sekarang bukan saatnya menyalahkan dari mana sisi yang perlu bebenah, baik itu sistem pendidikan, sumber daya manusia, tenaga pendidik, fasilitas publik, dan segala hal didalamnya. Sebab, waktu terus berjalan dan Indonesia terus mengalami perubahan.

Menurut Karlina Supelli, mindset masyarakat terhadap urgensi pendidikan hanya dipromosikan agar mampu memiliki daya saing. Padahal daya asing merupakan hasil dari sebuah kompetisi dari orang-orang dengan daya kritis yang tinggi. Sehingga, eksistensi pendidikan harus berfokus pada kualitas masyarakat dengan daya pikir tinggi sehingga dapat menciptakan kompetisi terhadap dunia pendidikan. Dalam menciptakan sitem pendidikan dan pelajar yang bermutu, diperlukan tenaga pendidik yang memiliki kreativitas dan bersifat membangun. Sebab, guru merupakan komponen terpenting dalam dunia pendidikan meskipun memiliki kurikulum yang baik.

Pembentuk generasi emas yang disebut sebagai guru ini, memiliki banyak tuntutan dalam proses belajar mengajar. Seperti adanya tuntutan birokratis yang rumit dan tidak mengedepankan potensi pengembangan kreativitas untuk mengajar. Sedangkan untuk membentuk pelajar yang responsif, diperlukan guru yang kompetitif serta profesional. Di Indonesia sendiri, keseimbangan tenaga pendidik dengan infrastruktur dalam bidang pendidikan telah mengalami peningkatan. Akan tetapi, hanya berjalan pada beberapa sekolah yang menyediakan akses untuk membukanya. Sebagian wilayah di Indonesia belum bisa mengejar ketertinggalan maupun membersamai makna keadilan sosial dalam ranah yang terdidik.

 Mirisnya tenaga pendidik, sumber daya manusia yang rendah, serta kualitas sistem pendidikan Indonesia memunculkan pertanyaan. Lantas sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya untuk siapa? Untuk negarakah? Atau untuk siswa? Dan apalah ini akan berlanjut?

Seperti yang kita tahu, bentuk konkret dari sebuah kegagalannya adalah Indonesia akan terancam pada tahun 2045 karena bonus demografi. Jumlah anak muda banyak tetapi mereka tidak menyandang sebagai pemuda yang berkualitas. Banyak dari mereka yang tidak bersekolah atau putus sekolah, nikah muda, dan menganggap bahwa pendidikan bukan sebagai urgensi utama dalam meningkatkan taraf diri.

 Hal tersebut sudah menjadi sebuah kebudayaan yang mengakar di masyarakat. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara lain yang jauh melampaui Indonesia, peran pemuda sudah pudar bagi keberlanjutan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Masalahnya, sekarang masyarakat Indonesia lebih memilih menempuh pendidikan di luar negeri, daripada bekerjasama menciptakan suatu pencapaian di negeri sendiri. Mereka yang mendapat apresiasi penuh dan memiliki peluang pekerjaan yang jelas. Maka dari itu, tidak hanya sistem pendidikan saja yang harus diubah, melainkan bagaimana menyatukan segala elemen pendidikan agar tercipta suatu tatanan yang logis. Jadi, tidak salah jika kualitas sumber daya tidak memenuhi standar keberhasilan. Sebab input terhadap pendidikan juga tidak sebanding dengan perspektif pendidikan selanjutnya.

Hilangnya minat pada pendidikan termasuk program belajar yang monoton juga  merupakan tanggung jawab bersama bukan personalitas. Usaha dengan memberikan motivasi belajar kepada generasi muda tanpa adanya induk berkelanjutan hanya akan menjadi omong kosong belaka. Ketika masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang baik, mereka tidak akan mendapat kompetisi untuk menghadapi tantangan apapun di masa depan.

Apresiasi pemerintah dalam hal ini, tidak sepenuhnya memberikan ruang pada tenaga didik maupun pelajar untuk berkontribusi penuh dalam konstruksi pendidikan. Taraf pendidikan tidak melulu mengenai sistematika, dan output atau subjek sasaran dari pendidikan itu. Tetapi juga faktor pendukung terbentuknya pendidikan yang ideal. Mindset dan pemaknaan pendidikan oleh masyarakat perlu diubah walaupun presentasi keberhasilannya membutuhkan masa.

Arah pendidikan juga bukan sebagai ajang berbisnis atau unjuk gigi para elite politik. Mindset yang diterapkan bukan lagi pemikiran kolot dan tak berdasar. Kekuatan hukum yang menaungi hal tersebut dibutuhkan sebagai bentuk penyelarasan terhadap peningkatan mutu masyarakat Indonesia. Sehingga eksistensi dasar negara memang bekerja dengan semestinya.

Dikutip dari an-nur.ac.id, pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan tersebut, dapat menggunakan solusi teknis maupun solusi sistemik. Sistem teknis merupakan solusi berkaitan dengan hal-hal teknis, seperti tenaga pendidik. Sistematikanya adalah memberikan kesempatan bagi pendidik dalam meningkatkan kualitasnya dengan pendanaan lebih, pemerataan gaji pada tenaga pendidik, serta kualitas hidup yang terjamin. Bagi seorang murid, dapat diberlakukan pelatihan dan memperbanyak tindakan di lapangan, bukan hanya secara akademis.

Sedangkan solusi sistematik adalah mengesampingkan sifat kapitalisme mengejar keuntungan pribadi dan mengedepankan nilai kesejahteraan demi kebaikan bersama. Hal ini juga dimaksudkan untuk meminimalisir peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik termasuk pendanaan pendidikan. Menurut indonesiabaik.id, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah sekolah di Indonesia mencapai 399.376 unit sekolah pada tahun ajaran 2022/2023. Infrastruktur sekolah yang meningkat tidak menjamin eksistensi progam pendidikan berhasil secara kualitatif. Tetapi, dengan korelasi antara kedua solusi tersebut bisa dijadikan sebagai sumber daripada kemajuan fungsional pendidikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *