Diskusi Benang Merah kepada Tanah, Geliat Perfilman Salatiga dan Bias Pesan Film “Kamadhatu”

Sumber Gambar: Black Monk Film

Klikdinamika.com, Salatiga di dekap udara dingin seperti biasanya, malam minggu ini (7/8/2022) saya dan sekelompok anak muda sibuk bercengkrama dalam ruang diskusi yang bertemakan ‘Benang Merah kepada Tanah’, sebuah gerakan kecil tentang keluh kesah mengenai isu lingkungan. Acara ini di laksanakan di kafe yang terletak di pinggiran kota. Kafe tersebut bernama Tepi Kota Cafe berada di Jl. Jafar Shodiq, Kalibening, Salatiga.

Kabut tipis menutupi bulan yang malu-malu dan angin malam salatiga tak menggangu kehangatan obrolan muda-mudi. Maklum, jarang-jarang event di Salatiga dapat menyatukan beberapa elemen kegiatan seperti bazar UMKM, seni, pameran tanaman, pameran foto jurnalistik, pertujukan teater, pemutaran film, dan juga konser dari temen-temen pemusik.

“Parkir penuh mas..,” ungkap ketus penjaga parkir memperingatkan. Saya menyapu pandangan sekeliling yang padat motor roda dua, sesegera mungkin memarkirkan motor sebisanya. Melihat rundown acara, saya kalang kabut, ternyata sudah telat 10 menit.

Berjalan memasuki lorong kafe dengan panjang 100 meter, mulai nampak pameran yang dipertontonkan, ada bazar UMKM dan seni, lalu beberapa lukisan dan foto jurnalistik, setelah sampai diujung barulah kelihatan pangung utama.

Hal yang sangat saya nanti-nantikan adalah pemutaran film dari Club Sinema Sisifus, komunitas pemutaran film lokal di Salatiga. Mereka baru saja puasa pemutaran hampir setengah tahun. Kembalinya Sinema Sisifus mengembalikan gairah perfilman lokal yang sempat lesu.

Dalam kolaborasi kali ini tentang “Benang Merah Kepada Tanah” yang menggangkat isu lingkungan menampilkan empat film lokal yaitu Manusia VS Sampah karya Kharina Athsna, Kamadhatu karya Danang Tri Saputra & Temon, Tanda Pulang karya Okta P. Candra Surya Andhika, dan Senjakala Tanaman Dalam Hikayat yang Membosankan karya Gerry J, serta film dokumenter dari Watchdoc yaitu Wadon Ora Didol.
 
Kembalinya Sinema Sisifus di Benang Merah Kepada Tanah
Sebelum acara pemutaran film ada sesi penyuluhan kebencanaan dari PMI yang diwakili Pak Sukrisdyato, saya mengira penyuluhan ini akan berjalan membosankan, ternyata tidak diskusi berjalan seru.

“Kemoloran acara ini tanda keberhasilan acara, bahkan saking serunya kita bisa berdiskusi sampai 1,5 jam dan ramai,” ketus pembawa acara sembari menutup sesi itu.

Sejurus kemudian beberapa orang memasuki tempat acara, menyiapkan proyektor dan mulai mempersiapkan keperluan pemutaran film. Luar biasa, semakin malam penonton semakin membludak, bahkan ada yang rela berdiri. Bising obrolan mulai mereda selaras dimulainya film pertama.

Para penonton sedang mendengarkan bedah film. (Akrom/DinamikA)

Senjakala Tanaman Dalam Hikayat yang Membosankan karya Gerry J, tak seperti namanya scene demi scene membuat saya berfikir tentang bagaimana jika saya menjadi sebuah tanaman. Film ini terinspirasi dari buku karya Franz Kafka tentang Metamorfosis, bagaimana akhirnya seorang manusia hidup menjadi hewan. Namun pada film ini justru kehidupan manusia yang menjadi tanaman, menjadikan hidupnya gelisah, kemudian mengakhiri hidupnya.

Setelah itu di lanjutkan film dokumenter berjudul Manusia VS Sampah yang menjadi tugas akhir dari Kharina Athsna di KBQT Salatiga. Dari judulnya film ini akan menggambarkan tentang problematika manusia dengan sampah. Tampilan sederhana dengan keresahan, terkhusus pengelolaan akhir sampah di Indonesia.

“BRUAKKKK….,” layar proyektor ambruk tersapu angin membuyarkan lamunan penonton yang sedang asik menyaksikan film.

Selanjutnya, di lanjutkan film Kamadhatu karya Danang Tri Saputra & Temon, film ini benar-benar absurd. Saya kebingunggan dengan bias makna film ini dan diakhir saya akan menanyakan kepada pembuatnya agar saya bisa tidur dengan tenang. Film dengan color grading hitam putih dengan aktor seorang ibu yang kebingungan, entahlah.

Terakhir, kolaborasi film ini ditutup dengan Tanda Pulang karya Okta P. Candra Andika, menjelaskan tentang perjalanan pendakian yang berujung maut. Film ini keren, bahkan seperti anti tesis film 5 CM. Memberikan pesan bahwa gunung tidak selalu tentang keindahan seperti yang digambarkan Fiersa Besari. Akan tetapi, gunung juga terikat pada alam, budaya, mitos, dan tata krama.

Memang hari yang penting selalu cepat rasanya, riuh penonton menandakan kepuasan mereka, sesi selanjutnya pembedahan. Dalam pembedahan kali ini membahas tentang proses pra produksi film, alur cerita, dan penokohan, serta beberapa kritik dibalut guyonan. Saya cukup puas dengan pemutaran kali ini, mengobati rasa rindu terhadap geliat perfilman di Salatiga yang merangkak naik.

Regenerasi perfilman Salatiga hilir mudik dengan rumah-rumah produksi baru yang berkembang di ranah kampus maupun sekolahan yang sangat berkembang. Jadi jangan takut, aku yakin Salatiga tidak akan pernah kehabisan film-film pendek yang berkualitas.
 
Bias Pesan Dalam Film “Kamadhatu”
Dari beberapa film, porsi takjub saya jatuh pada film “Kamadhatu” karya Danang Tri Saputra & Temon, inilah yang menggerakkan saya untuk mengobrol lebih dekat dengan Mas Danang dan Temon. Sebelum di pastikan kafe benar-benar tutup saya menyapa di sela-sela kesibukan Mas Danang.

“Rumah produksi bernama Black Monks Films sendiri memang sering mengangkat film bergenre eksperimental, film murni ekpresi pakai simbol-simbol dan semiotika dengan sedemikian rupa agar memberikan kebebasan penonton untuk mengartikan maknannya, ” ungkap Danang.

Babak film Kamdhatu sendiri memang menarik dengan penokohan seorang wanita dengan gaun putih, berikat kepala bunga, ada tanah yang di gali oleh eskafator mainan, wanita tersebut bingung, takut lalu menangis.

“Keresahan saya sebenarnya bermula terhadap isu pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Yogyakarta, saya banyak mendengarkan keluh kesah warga dan aktivis-aktivis yang menolak pembangunan, mulai dari pemaksaan, pemadaman listrik, dan hilangnya mata pencahariaan masyarakat sekitar yang terdampak,” imbuh Danang

“Walaupun secara distribusi belum sampai masyarakat sekitar, tetapi saya sudah kirim link kebeberapa aktivis dan mereka mengapresi film ini,” ujar Danang. Raut wajah Danang yang awal mula santai mulai serius.

Aku lalu mencoba bertanya tentang bagaimana proses pembuatan film Kamadhatu. “Krunya Cuma ada 3, saya, temon, dan satu linthing, serta ada juga yang merangkap jadi kru dan pemeran termasuk saya, oh iya, latar pada transisi film juga nggambarin latar diluar, berupa pertanahan yang gersang, mirip seperti daerah Kulon Progo,” paparnya

Black Monks Films yang memproduksi film Kamdhatu, sebenarnya dipersiapkan untuk pembedahan di salah satu kampus di Jawa Barat, dan harapannya bisa di bedah di skala lokal seperti ini. Nampaknya sudah sampai beranjak malam bahkan sudah close order padahal saya masih pengen ngobrol panjang.

Sampai dengan pertanyaan terakhir pada mas Danang, yaitu gols apa yang diinginkan dalam film ini. “Saya berharap pesan ini sampai, aku adalah orang yang percaya bahwa kiamat adalah satu hal yang disebabkan oleh manusia sendiri, manusia akan menghancurkan peradabannya sendiri ketika mereka merusak apa yang jadi sumber kehidupan itu tujuan film ini,” pungkas Danang. (Akrom/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *