Dikeroyok Polisi dan Preman di Pati (Sumber Foto: Inews Jateng).
Oleh: Fadlan Naufal R
Kristoni tengah mengikuti sidang paripurna pembahasan Hak Angket Pemakzulan Bupati di DPRD Pati sebelum ia diajak untuk menolong massa aksi yang katanya, ditahan di Ruang Sekretaris Daerah (Sekda), kantor Bupati Pati.
Alih-alih menemukan orang disekap, ia justru jadi sasaran pengeroyokan para polisi–yang anehnya, malah beraliansi dengan kurang lebih 15 preman.
Ketika itu, jarum jam baru menyentuh pukul 13.27 WIB. Rapat tengah berjalan saat seseorang menemui Kristoni dan memberikan informasi tersebut.
Kris, sebagai seorang advokat Lembaga Bantuan Hukum dan Sosial (LBHS) Teratai, Pati, merasa punya tanggung jawab moral untuk membantu mengeluarkan massa aksi yang katanya disekap tersebut.
“Karena saya takut mereka kenapa-napa. Saya, Fajar, dan bapak saya, beserta satu orang informan warga tadi, tidak mengenal siapa Bapak-Bapak itu. Tapi kami pergi ke kantor bupati untuk mencoba menyelamatkan warga yang informasinya disekap,” ucapnya melalui pertemuan Zoom kepada reporter LPM DinamikA.
Ia, Fajar, dan 2 orang lain–yang tidak dikenalnya itu–bergegas menuju kantor Bupati. Sesampainya di gerbang kantor, ia mendapati bahwa warga yang ingin masuk tidak diperkenankan. Akan tetapi, dirinya dan tiga orang yang bersamanya tidak dihadang seperti yang lainnya.
“Nah, akhirnya sampailah kami ke ruangan sekretaris bupati, di ruang Setda. Kami mencari, kami tanyakan kepada polisi–banyak polisi di sana: ‘mana warga yang ditangkap?’; Mereka bilang ‘tidak ada!’, dan saya memperhatikan tatapan dari para polisi yang ada di dalam itu sangat sinis, atau bisa dikatakan geram terhadap saya,” paparnya sembari duduk di sofa warna cream.
“Karena tidak ada, akhirnya mereka bilang ‘keluar! Keluar! tidak ada di sini.’ Saya keluar, melewati ruangan Setda tadi. Kemudian di kaki lima Setda itu, sudah kumpul sebanyak kurang lebih 15 orang preman,” katanya.
Saat itu juga Kristoni dituduh sebagai provokator aksi dan bukan orang Pati oleh salah seorang preman. Ketika ia hendak menunjukkan Kartu Tanda Pengenal (KTP) yang sudah berdomisili Pati, “Pak polisi atau preman langsung memiting leher saya,” ucapnya.
Nahasnya, bagaimanapun Kris coba menyangkal dan melepaskan diri, pukulan para preman, tendangan dan injakan sepatu polisi, mendarat di seluruh tubuh, wajah dan kepalanya. Hingga benjol-benjol dan hidungnya mengeluarkan darah, juga dadanya terasa sakit saat menarik nafas. Ia pun mendengar ungkapan dari orang-orang yang memukulinya. “Ketika saya dipukuli oleh polisi, kalimat yang terlontar dari mulut mereka adalah, ‘mati kau! Kami habisi kau, mati kau!” Ucapnya getir.
Ketika ia tengah dikeroyok, ia coba bangkit dan kabur, tapi tidak bisa. Dompet, berkas-berkas dokumen, sejumlah uang dan HP-nya hingga kini hilang entah kemana.
Ia tergeletak di tanah, polisi-polisi yang masih menginjak-injaknya belum usai, “Bahkan sempat kena disini. Injakan atau tendangan kaki di bagian sini,” ucapnya sambil menunjuk bekas dan memar bekas diinjak sepatu di pelipis Matanya.
Ada salah satu anggota TNI yang menyelamatkannya, menariknya dari keroyokan polisi dan preman. “Pun ketika saya ditarik ke dalam, Masih saja para polisi tadi itu menendang, meninju. Sampai hidung saya mengeluarkan darah, setelah itu saya dibawa ke dalam,” ucapnya sembari mengenang yang menimpanya tempo hari.
Dijaga Probam dan Provos, ia ditahan di suatu ruangan bersama 7 orang lainnya—yang menurutnya habis dipukuli juga. Jumlah orangnya terus bertambah, silih berganti. Mereka dibawa pergi setelah difoto.
Kris disekap dari sekitar setengah dua hingga pukul lima. Ia bisa keluar dan dibawa ke rumah sakit, karena dijemput paksa oleh keluarga bersama koordinator hukum aksi gerakan masyarakat Pati.
Sebelumnya di dalam ruangan, ia sempat meminta tolong pada para polisi yang ada di sana, untuk membawanya ke rumah sakit. Karena ia merasa dada hingga tulang rusuknya terasa amat sakit, ketika menarik nafas. “Terasa sakit, nyeri minta ampun,” ungkapnya mengenang kejadian miris itu.
“Saya minta tolong dibawa ke rumah sakit. Tapi polisinya membiarkan, mendiamkan, dan tidak mau mengobati, dan tidak mau membawa ke rumah sakit,” katanya.
Bukan hanya itu, ia dibuat terkejut dengan pernyataan polisi yang mengatakan bahwa penyiksaan kepada mereka bukanlah sebuah permasalahan, karena tidak disertai bukti yang kuat untuk diperkarakan.
“Makanya dalam hati saya, ini bajingan orang-orang ini,” nada kesal terdengar jelas dari nadanya yang mulai berubah.
Syafali, dari LBH Semarang, memandang bahwa fenomena ini sebagai hal yang sangat memilukan dan mengancam hak asasi manusia. Menurutnya, hal ini jadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia dan mempertontonkan secara nyata brutalitas aparat maupun orang-orang yang merupakan orang suruhan Bupati Sudeweo.
Syafali juga mendesak agar kasus ini diusut tuntas, “Periksa secara menyeluruh, dan lakukan evaluasi terhadap Polresta Pati, termasuk Kapolres sebagai penanggung jawab,” tuturnya tegas.
“Maka, aparat yang terlibat harus dihukum seberat-beratnya, tidak hanya sanksi etik, tapi juga pidana,” pungkasnya sebelum wawancara melalui telepon berakhir bersama LPM DinamikA
Sebelumnya, Press Release polisi mengatakan bahwa itu hanya seorang oknum. Akan tetapi, Kris sendiri mengaku bahwa banyak polisi yang terlibat bersama preman dalam pengeroyokan itu.
Sementara itu, Kristoni hingga saat wawancara dilakukan masih dalam tahap pemulihan. Ia berharap tindakan represif, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi seperti ini diusut tanpa ada laporan terlebih dulu dari korban.
“Karena ini kan delik umum secara hukum atau delik biasa. Jadi polisi pun ketika melihat ada penganiayaan atau kekerasan secara bersama-sama yang dilakukan oleh siapapun, termasuk polisi itu sendiri, wajib hukumnya diselidiki.
Kristoni berharap secara serius dilakukan penyidikan atas kejadian itu. Namun hingga tulisan ini terbit, belum ada informasi progres yang nyata dari pihak kepolisian. Apakah Kris akan mendapat keadilan? Setan pun tak tahu.