Ilustrator: Najla/DinamikA
Oleh: Tim Keredaksian DinamikA
SATUAN Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sedang menangani kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang tengah terjadi di Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora (Fuadah). Namun, penanganannya dipandang kurang maksimal.
Menindaklanjuti tulisan pertama, reporter Klikdinamika.com sudah mewawancarai beberapa lembaga terkait untuk dimintai keterangan mengenai kasus yang sudah dijelaskan pada tulisan Modus Pelecehan Seksual KBGO Oleh Mahasiswa: Korban Buka Suara #Bagian Satu, (26/01/2025).
Fakultas Berikan Tanggapan Atas Aduan Mahasiswa
Sejumlah aduan korban berkaitan dengan KBGO ke Satgas PPKS Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga telah diterima dan direkomendasikan kepada pihak Fuadah untuk menangani kasus tersebut. Terhitung sejak bulan November laporan telah masuk ke fakultas dan telah dilakukan beberapa langkah untuk menangani aduan tersebut. Salah satunya dengan melibatkan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas dalam penyelesaian kasus tersebut.
Ketua Satgas PPKS UIN Salatiga, Rina Asih Handayani, dalam keterangan yang disampaikannya, wewenang untuk penyelesaian dari laporan korban sudah diambil alih oleh Fuadah. Tanpa bermaksud cuci tangan atas aduan tersebut, pihak Satgas PPKS mengungkapkan kalau apa yang dilakukannya sudah masuk ke dalam pembagian tugas yang telah diatur dan disepakati sebelumnya oleh pihak Wadek 3 Fuadah.
Kini kasus tersebut masih dipegang oleh fakultas dan belum ada pemberitahuan lebih lanjut kepada para pelapor. Fakultas menghimbau kepada korban yang telah melapor untuk bersabar menunggu proses penyelesaian kasus itu untuk selanjutnya dapat bertanya lebih lanjut kepada pihak fakultas.
Mudzakir, selaku perwakilan dosen Satgas PPKS Fuadah menerangkan bahwa fakultas tidak lari dari kasus ini, ia menyampaikan bahwa penyelesaian kasus tersebut tidak bisa diselesaikan secara gegabah ataupun tergesa-gesa.
“Terutama bagi para korban, jangan sampai berpikiran bahwa kami mengabaikan atau kemudian tidak ingin memberikan sanksi atau kami menyepelekan, ini hanya persoalan yang berkaitan dengan prosedur dan berkaitan dengan proses,” terangnya saat ditemui reporter Klikdinamika.com di Gedung Rektorat Kampus 3 (31/01/2025).
Ia juga menambahkan bahwa sejak saat direkomendasikan oleh satgas PPKS, pihak fakultas langsung melakukan rapat koordinasi untuk membahas kasus tersebut. “Waktu itu Satgas pusat langsung memberitahu fakultas, dan fakultas langsung mengadakan rapat di Dekanat, loh,” ujarnya.
Kemudian ia menerangkan bahwa upaya penanganan kasus saat ini dalam proses tahapan pendekatan dengan pelaku. Di bulan Januari awal, ia menginstruksikan Dema Fuadah untuk mendatangi rumah pelaku. Ia menambahkan bahwa terduga pelaku tidak melarikan diri saat ditemui.
Mudzakir juga menyampaikan, jika terduga pelaku memiliki gangguan mental, sehingga mendorong dirinya untuk melakukan perbuatan pelecehan tersebut. Meski demikian, anggapan mengenai tahapan yang ditempuh belum sampai pada ranahnya, membuat pihak Fuadah belum melakukan kerjasama dengan Biro Tazkia—lembaga layanan UIN Salatiga yang menyelesaikan problem psikologis.
Luthfiyadin Rizqy, Ketua Dema Fuadah tahun 2024 membenarkan jika saat dia menjabat, Dema Fuadah telah ditugaskan fakultas untuk melakukan investigasi terhadap terduga pelaku, yang mana hasil dari temuan itu telah diserahkan ke pihak fakultas dan berlanjut ke Satgas PPKS.
“Jadi, pada saat itu, yang pertama Dema lakukan yaitu adalah investigasi identitas. Investigasi identitas tidak didapat, akhirnya langsung konfirmasi ke fakultas. Konfirmasi ke fakultas akhirnya langsung diterjunkan untuk investigasi di lapangan. Saya sudah bertemu dengan terduga pelaku, dan saya (red: juga) sudah mencatat beberapa laporan. Beberapa keadaan ketika saya investigasi di lapangan, sudah diserahkan ke fakultas, dan dari fakultas juga sudah diserahkan ke Satgas PPKS,” ujarnya (08/02/2025).
Kampus Belum Memiliki SOP Penanganan Kekerasan Seksual
Sebelum menjadi UIN, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual diusulkan sebagai Unit Layanan Terpadu (ULT) oleh Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA). Hal ini berdasarkan pada berita yang diangkat Klikdinamika.com dengan judul PSGA Bentuk Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, berisi tentang usulan peraturan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Nomor:B-3351/ln.21/H0.07/08/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN Salatiga sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan civitas akademik (18/12/2021).
Dalam berita yang dimuat oleh Klikdinamika.com empat tahun lalu, Muna Erawati yang saat itu menjabat sebagai Kepala PSGA IAIN Salatiga mengungkapkan tahapan yang saat itu berjalan masih sampai pada pendalaman Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk diajukan ke pihak Rektor. Namun hingga kini, saat namanya menjadi Satgas PPKS sesuai dengan Surat Keputusan Rektor UIN Salatiga No. 457, Tentang Pengelola Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual keluar (03/08/2024), SOP mengenai penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di UIN Salatiga belum disahkan dan masih berputar pada perombakan untuk menunggu Surat Keputusan (SK) yang diturunkan oleh Rektor.
Rina Asih Handayani mengatakan bahwa Satgas PPKS sendiri belum memiliki SOP, dikarenakan ada perombakan-perombakan dan masih menunggu SK yang belum kunjung turun.
“Tata kelola Satgas PPKS sendiri masih baru, SOP-nya juga belum tersusun. Di sisi lain ada banyak kebutuhan yang mendesak kita untuk membuat SOP itu. Workshop Bimtek baru diadakan Desember lalu. Tetapi, kita masih menunggu keputusan pengelola PPKS ini, ya dikarenakan ada perombakan-perombakan tadi. Kita itu masih nunggu SK clear dulu, baru kita bikin SOP. Secara internal, jika ada beberapa kasus seperti itu, eksekutor tetap ada pada Wadek 3,” ungkap Rina, selaku Ketua Satgas PPKS (30/01/2025).
Menanggapi atas kasus aduan yang telah masuk dari November lalu, ia menjelaskan bahwa pihak Satgas PPKS sudah berkomunikasi dengan dosen perwakilan Satgas PPKS dari Fuadah dan terus melakukan pemantauan atas penanganan kasus tersebut.
“Ini sudah ada laporan, jadi saya memantau terus, karena sampai sekarang pelakunya belum ke kampus juga. Ini kami pantau misalnya dalam tiga bulan, (red: jika) tidak ada perkembangan sama sekali kami akan lapor ke pimpinan (red: rektorat). Kami hanya melaporkan ke pimpinan bahwa proses perkembangannya seperti ini dan ditangani fakultas belum clear,” tambahnya.
LBH: Buat Apa Didirikan Satgas? Bubarin Aja!
Ketua Satgas PPKS UIN Salatiga mengungkapkan fungsi didirikannya Satgas PPKS yaitu: menerima aduan, mengidentifikasi lalu merekomendasikan kasus yang akan disampaikan ke pihak ketiga, dan memantau perkembangan dalam penanganan kasus.
“Adanya satgas PPKS sejatinya menerima aduan itu, memfasilitasi adanya aduan-aduan untuk kemudian diidentifikasi dan dicarikan penyelesaiannya, dengan memberikan rekomendasi. Tetapi kita juga tidak hanya memantau, dan selesai—nggak gitu. Bukan dalam artian kita cuci tangan, ya tetep nggak bisa secepat itu untuk menyelesaikan,” jelas Rina saat dijumpai di ruanganya.
DinamikA telah menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang untuk menanggapi persoalan yang tengah terjadi di UIN Salatiga. Merespon hal itu, LBH Semarang merekomendasikan Tuti Wijaya Staf bidang Sipil dan Politik untuk memberikan tanggapan.
Dari pertanyaan yang diberikan, ia menanggapi tentang alih penugasan yang diserahkan ke pihak fakultas. Ia menyayangkan hal itu karena menganggap tugas dari kasus yang telah dijabarkan harusnya ditangani langsung oleh Satgas PPKS, mengingat urgensial didirikannya Satgas PPKS itu sendiri.
“Didirikanya Satgas selain untuk memudahkan penanganan kasus agar bisa terfokus, salah satunya demi keamanan korban. Jika memang dilempar ke fakultas dalam konteks penanganan, lalu buat apa didirikan Satgas? bubarin aja!” tegasnya (22/02/25).
Meski demikian Tuti memberikan tanggapan yang serupa dengan apa yang disampaikan oleh pihak Satgas PPKS untuk melihat dari semua sisi yang terlibat di mana di dalamnya terdapat korban, terduga pelaku dan saksi kejadian tersebut untuk selanjutnya dapat dimintai rekomendasi ke pihak rektorat. Serta menggaris bawahi tentang pelapor yang semestinya mendapatkan informasi lebih lanjut atas kasus yang tengah dihadapi.
“Nah misalnya udah dapat terduga pelaku dan memang sudah ditelusuri mengarah pada satu terduga pelaku, ya itu harus ada pemanggilan gitu. Jadi ada dua arah: dari pelapor diasesmen lebih mendalam, lalu pemanggilan terhadap terduga pelaku, kemudian pemanggilan saksi-saksi,” jelasnya (22/02/25).
“Kemudian di situ sangat bergantung banget dengan tim dari Satgas ini akan memberlakukan hak jawab atau enggak. Seharusnya ada hak jawab atau hak klarifikasi gitu setelah adanya pemanggilan semua dari pelapor, terlapor, dan para saksi,” sambungnya.
Di akhir wawancaranya Tuti juga memberikan masukkan untuk perihal apa yang semestinya dilakukan oleh universitas untuk menyikapi pelaku, “Dan harusnya kalau sudah teridentifikasi sebagai pelaku, maka ada pembekuan sementara untuk studinya, apalagi mahasiswa semester akhir,” pungkasnya via Whatsapp.