Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS): Upaya Melawan Zionisme

Produk yang diboikot oleh BDS karena terafiliasi mendukung israel (Sumber Foto: Jawapos.com).


Oleh: Free Palestine Network Salatiga

Okupasi dan opresi israel terhadap Palestina masih berlangsung hingga hari ini. Konflik yang kompleks ini menunjukan kedigdayaan negara-negara yang mendukung kuat israel, seperti Inggris dan Amerika. Mulai dari metode penghapusan etnis, hingga pengambilan alih tanah asli penduduk Palestina. Semuanya dalam sebuah rancangan yang sangat terstruktur dan masif.

Penduduk Palestina sangat jarang direpresentasikan dalam rekonsiliasi konflik di forum-forum dunia seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lainnya. Hal itu semakin menuntut mereka untuk menggantungkan nasib pada ketidakpastian. Ketidakberdayaan mereka semakin hari semakin terasa, bersamaan dengan deru suara bom yang mengguncang. Kondisi inilah yang memantik publik dunia bersolidaritas untuk penduduk Palestina, salah satunya dengan cara boikot, divestasi, dan sanksi (bds).

Pada Selasa (30/7/2024) lalu, Free Palestine Network (FPN) Salatiga menggelar diskusi bertajuk “Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi sebagai Upaya Melawan Zionisme” dengan narasumber Agastya Harjunadhi–inisiator Gerakan BDS Indonesia. Diskusi ini ditujukan untuk memperdalam pemahaman gerakan BDS terutama di Indonesia.

Gerakan BDS merupakan sebuah respon terhadap kolonialisme israel terhadap Palestina dengan cara non-kekerasan. Wujudnya berupa tekanan terhadap israel melalui ajakan boikot, divestasi, dan sanksi hingga keadilan tercapai. Gerakan ini diinisiasi oleh 170 komunitas, termasuk serikat pekerja Palestina, jaringan pengungsi, komite perlawanan, dan badan sosial Palestina lainnya di tahun 2005.

Terinsipirasi dari gerakan anti-apartheid Afrika Selatan, Gerakan BDS bertujuan untuk mewujudkan tiga hal: pertama, menghentikan segala bentuk okupasi dan kolonialisasi penduduk Palestina, termasuk menghapus operasi militer serta tembok pembatas atau penjara penduduk Palestina. Kedua, menuntut pengakuan hak asasi dan kesetaraan penduduk Palestina terhadap israel. Tuntutan ini merupakan perjuangan bagi warga Palestina yang tinggal di wilayah gencatan senjata setelah Peristiwa Nakba 1948. Mereka mendapat perlakuan diskriminasi rasial dan teror selama hidup oleh israel. Tuntuntan ketiga adalah menuntut hak pengembalian tanah asal pengungsi Palestina, yang telah diokupasi dan diambil alih oleh israel selama bertahun-tahun. Sedari 1948, israel selain melakukan pembersihan etnis juga mengambil alih properti dan lahan penduduk asli Palestina yang terusir.

Tiga tuntutan tersebut diperjuangkan dengan boikot, divestasi, dan sanksi. Boikot ditargetkan pada praktik keseharian, di mana mengajak publik menghentikan konsumsi produk dan kegiatan yang memiliki afiliasi dengan israel. Misalnya saja seperti restoran McDonal’s, kejuaraan Olympic, maupun konser musik artis yang memiliki kaitan dengan israel.

Sedangkan divestasi berbentuk sebuah tekanan terhadap pihak-pihak yang berkapasitas, untuk menghentikan dan menarik segala investasi atau penanaman modal, entah itu di bank ataupun perusahaan yang menyokong okupasi israel. Publik dapat memberikan tekanan terhadap negara, misalnya untuk segera menghentikan hubungan bilateral terhadap israel.

Terakhir, sanksi adalah seruan untuk negara dan lembaga internasional yang memiliki wewenang, agar memberikan sanksi terhadap semua pelanggaran hukum yang dilakukan israel. Israel memiliki impunitas, yang membuat sebuah tameng kebal hukum terhadap seluruh kejahatan kemanusiaan yang dilakukan. Hingga hari ini, belum satu pun sanksi yang dijalankan israel meski berkali-kali dijatuhkan oleh pengadilan internasional.

Gerakan BDS hari ini tentu menuai perdebatan, termasuk di Indonesia—salah satu negara yang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan israel. Namun, banyak perusahaan multinasional yang mendukung israel dan memiliki cabang produksi di Indonesia. Hadirnya perusahaan-perusahaan ini membuat situasi menjadi lebih kompleks.

Beberapa kritik yang dilontarkan terhadap Gerakan BDS adalah nasib para pekerja yang bergantung pada perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan gerakan yang masif dan terstruktur untuk memboikot perusahaan tersebut, maka akan berdampak pada nasib para pekerja yang sebenarnya tidak bertanggung jawab atas keputusan perusahaan dalam mendukung israel.

Perusahaan multinasional ini tentu saja bukan tidak beralasan untuk menancapkan lini produksinya di Indonesia. Salah satu alasan terbesar adalah: Indonesia merupakan negara dunia ketiga yang memiliki pekerja dengan upah murah, dibandingkan negara-negara di bagian barat. Keuntungan bagi perusahaan ini yang membuat banyak pekerja di Indonesia mengalami ketidakberdayaan dan menggantungkan besar hidup mereka pada perusahaan.

Menilik dalam kasus ini, gerakan boikot akan terhalang dengan para pekerja yang “disandera” oleh perusahaan, untuk melepas tanggung jawab mereka atas dukungan kepada israel. Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran akibat pemboikotan adalah sebuah upaya impunitas yang dilakukan perusahaan. Namun, jika ditelisik ulang, ancaman tersebut juga merupakan upaya pengaburan atas penindasan yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja. Alih-alih perusahaan menggunakan “bargaining power”-nya, perusahaan juga masih mengeksploitasi banyak hak pekerja. Terutama di Indonesia yang memiliki pasal super karet mengenai ketenagakerjaan (baca: omnibus law).

Pasal tersebut menunjukkan bahwa keberpihakan negara adalah kepada para pemodal. Banyak hak-hak pekerja yang terkikis namun dilegalkan oleh negara. Hal ini yang membuat situasi semakin runyam. Publik seakan dihadapkan pada dua pilihan antara membuat solidaritas kemanusiaan dengan memboikot, tapi membuat diri kehilangan keterjaminan finansial; atau memutuskan tidak melakukan solidaritas kemanusiaan kepada penduduk Palestina demi hidup yang terjamin. Namun begitu, pilihan kedua pun tidak selalu menjanjikan. Sebab, dengan atau tanpa membuat solidaritas, kehidupan pekerja memanglah tidak terjamin.

Gerakan BDS merupakan cara yang efektif dalam melawan zionisme. Namun–sekali lagi–relasi kuasa yang ada pada publik memang selalu berada posisi yang timpang. Dengan diamnya negara terhadap isu Gerakan BDS dan konflik Palestina, rasanya akan banyak tantangan bagi publik untuk bersolidaritas. Akumulasi kekuatan publik yang besar akan menjadi penjungkir balik kekuasaan terhadap negara-negara digdaya, yang tak henti menindas banyak orang. Gerakan BDS nyatanya hingga sekarang memengaruhi ekonomi israel yang mulai menurun setidaknya 10% dari tahun 2020.

Itu adalah bukti dari praktik keseharian publik yang sering dianggap sangat kecil dampaknya, namun sebenarnya memiliki pengaruh yang signifikan. Free Palestine Network Salatiga mengajak publik–terutama Indonesia–untuk senantiasa melakukan Gerakan BDS dan solidaritas terhadap Palestina, juga terhadap siapa pun yang tertindas.

Soyez realistes, demandez l’impossible. Free Palestine!

Catatan kaki: penulis sengaja menuliskan “israel” tanpa huruf kapital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *