Forum aktivis Cik Di Tiro menuntut PP Muhammadiyah menolak tawaran pengelolaan tambang dari pemerintah dalam aksi simbolik di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. (Sumber Foto: CNN Indonesia)
Oleh: Faiz Alfa
Ketika penulis masih kecil, cerita seputar dua organisasi massa (Ormas) Islam terbesar di Indonesia—Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)—penuh dengan heroisme. Saya ingat betul ketika menonton televisi bersama bapak, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah diberitakan menerbitkan Surat Keputusan (SK) untuk membersihkan organisasi berlogo matahari itu dari unsur-unsur politik, terutama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Itu terjadi pada 2006.[1]
Penulis juga ingat betul ketika NU diberitakan mengharamkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria di Kabupaten Jepara. Fatwa itu lahir setelah Pengurus Cabang (PC) NU Jepara menggelar bahtsul masail. Hasil bahtsul masail menetapkan bahwa pembangunan PLTN di Jepara hukumnya haram. Itu terjadi pada 2007.[2] Masa-masa itu, bapak penulis hampir tiap malam tak pernah lupa menyebut NU dan Gus Dur dalam obrolan-obrolannya, baik bersama tamu maupun keluarga.
Tentu, dua cerita itu belum termasuk cerita-cerita heroisme Muhammadiyah dan NU yang lain, terutama pada masa kolonial. Hal itulah yang membuat saya yakin bergabung dengan salah satu sayap organisasinya—setelah menginjak usia dewasa. Kini, kabar yang saya terima tentang dua Ormas itu lebih banyak dipenuhi kritikan, cibiran, dan keprihatinan daripada heroisme. Ironi itu semakin menguat saat keduanya sepakat menerima tawaran konsesi tambang batu bara dari pemerintah.
Muhammadiyah memang dinilai menjadi anak emas Orde Baru, karena dalam beberapa hal, mereka lebih banyak mendapat keuntungan daripada NU saat itu. Namun, itu hanya privilese yang dirasakan selama—katakanlah—32 tahun dari usianya yang sudah 120 tahun lebih. Memasuki era reformasi, Muhammadiyah konsisten menjadi agen kontrol melalui sikap-sikapnya yang kritis kepada pemerintah—baik dari lembaga maupun individu-individunya.
Dengan menerima tawaran konsesi tambang batu bara, kritisisme yang menjadi ciri khas Muhammadiyah seolah-olah rontok. Mereka mengklaim telah mengkaji tawaran itu secara saksama selama dua bulan. Namun, jika laporan Majalah Tempo edisi 5-11 Agustus 2024 itu benar, penerimaan itu sarat akan pertimbangan politis daripada pertimbangan akademis dan religius. Ada satu orang yang bukan anggota maupun pengurus Muhammadiyah, tapi dia mengikuti tiap tahap pengkajian itu. Ada Bahlil Lahadalia–Menteri Investasi Indonesia–yang rajin menemui para petinggi Muhammadiyah untuk melobi dan meyakinkan mereka agar menerima tawaran tambang.
Satu lagi, keputusan menerima tawaran itu diambil setelah menggelar forum pengkajian yang menghadirkan Jusuf Kalla—seorang politisi dan pebisnis ulung. Forum itu memberinya kesempatan yang luas untuk berbicara. Sejak awal, dia menyarankan agar Muhammadiyah menerima tawaran konsesi tambang.
NU dikenal heroik dan patriotik, terlebih setelah pemerintah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Postulat penetapan ini adalah, pada 22 Oktober 1945, ulama NU mencetuskan fatwa resolusi jihad. Fatwa ini dianggap menjadi faktor penting dalam peristiwa 10 November 1945—yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Heroisme dan patriotisme itu semakin dikenal, setelah NU memutuskan mengedepankan integrasi nasional dalam menghadapi otoritarianisme Soekarno dan penerapan asas tunggal Pancasila.
Dengan menerima tawaran konsesi tambang batu bara, wajah NU seakan-akan berubah menjadi tidak tamah. Mereka mengklaim harus memenuhi kebutuhan sekian ribu santri dan menambal kekurangan organisasi. Namun, sama seperti Muhammadiyah, penawaran dan penerimaan itu sarat akan pertimbangan politis. Hal ini terlihat jelas dari proses lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024—dasar hukum jatah tambang untuk ormas keagamaan, yang merevisi PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Asbabun nuzul PP itu berawal dari janji Jokowi yang dilontarkan dalam acara Muktamar NU ke-34 di Lampung pada 22-24 Desember 2021. Hingga Maret 2024, pemerintah berupaya memberikan legalitas bagi Ormas keagamaan untuk mengelola tambang, disertai drama percekcokan antara Bahlil Lahadalia dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Akhir Mei, PP itu terbit. Seminggu berselang, NU secara resmi menerima tawaran itu dan pemerintah langsung menyiapkan area konsesinya.
Selama ini, masyarakat tertindas yang menjadi korban pembangunan—termasuk tambang—mencari suaka ke NU. Bila memiliki unit usaha dan lahan pertambangan, maka bukan tidak mungkin NU akan menjadi pelaku pembangunan itu sendiri. Mereka yang menjadi korban tidak bisa lagi mencari suaka ke NU, apalagi mengharapkan fatwa yang membela nasib mereka—seperti fatwa haram bagi pemerintah merebut tanah rakyat yang disambut gembira oleh warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.
Dulu, Muhammadiyah dan NU terlihat begitu memihak masyarakat yang termarginalkan, teralienasi, dan terproletariatisasi. Sekarang, mereka seperti ingin—meminjam istilah Loekman Soetrisno—membangun surga di dunia.[3] Surga artifisial yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil pihak. Berangkat dari renungan historis ini, terus terang, saya dan kawan-kawan rindu dengan Muhammadiyah dan NU yang dulu—yang konsisten bersikap kritis terhadap pemerintah, dengan berpegang pada doktrin teologi Al-Ma’un dan menyediakan ruang berlindung bagi korban pembangunan.
[1] Lihat SKPP Muhammadiyah Nomor 149/Kep/1.0/B/2006. Persoalan ini telah dibahas secara rinci dalam Abdurrahman Wahid, ed., ILUSI NEGARA ISLAM: Ekspansi Gerakan Islam Tradisional di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hal 26.
[2] try/nrl, “NU Jepara: PLTN Muria Haram!,” detiknews, last modified 2007, diakses September 7, 2007, https://news.detik.com/berita/d-824600/nu-jepara-pltn-muria-haram; Sohirin, “NU Haramkan PLTN Muria,” Koran Tempo, last modified 2007, diakses September 7, 2024, https://koran.tempo.co/read/nusa/110051/nu-haramkan-pltn-muria.
[3] M. Mansyur Amin, ed., TEOLOGI PEMBANGUNAN Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1989)., hal. 26.