Palung Jepang (Sumber Gambar: Virenial.com)
Oleh: Diana Syaputri
Jepang merupakan negara kepulauan di Asia Timur yang sering mengalami gempa bumi, seperti Indonesia. Namun, dalam menghadapinya, dua negara ini memiliki perbedaan yang timpang.
Secara geografis, Jepang terletak di pertemuan tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Filipina, dan Lempeng Eurasia. Negara ini merupakan rumah bagi sekitar 10 persen gunung berapi aktif di dunia. Akibatnya, gempa bumi sering terjadi, mulai dari gempa kecil hingga besar. Gempa bumi di Jepang seringkali menimbulkan bencana tsunami.
Menurut situs Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), situasi tersebut terjadi karena Jepang terletak di wilayah yang sangat aktif secara seismik dan memiliki jaringan seismik terpadat di seluruh dunia. Jepang juga terletak di Cincin Api Pasifik, wilayah cincin paling aktif secara seismik di dunia. Cincin Api ini memiliki panjang 40.000 km dan berisi sekitar 450 gunung berapi.
Menurut situs Voyapon, selain tumbukan lempeng, Palung Jepang juga bertanggung jawab atas seringnya terjadi gempa bumi di negara tersebut. Palung Jepang terletak di di barat laut Samudera Pasifik, dengan total kedalaman 8.410 meter.
Palung Jepang adalah palung laut di dasar laut Samudera Pasifik Utara, tepat di timur laut Jepang. Palung ini merupakan bagian dari Cincin Api Pasifik yang membentang dari Kepulauan Kuril hingga Kepulauan Ogasawara. Palung Jepang juga masuk dalam daftar tujuh palung laut terdalam di dunia yang semuanya terletak di Samudera Pasifik.
Sejarah gempa bumi di Jepang mencakup berbagai peristiwa sepanjang sejarah, antara lain:
- Gempa bumi Hakuho Nankai pada tanggal 29 November 684 dan 26 November 684. Berbagai referensi memperkirakan kekuatan gempa antara 8,0–8,4 SR dengan kerusakan yang “parah”, dengan angka kematian mencapai 101-1.000 jiwa.
- Gempa bumi besar Kanto pada tanggal 1 September 1923. Gempa ini terjadi selama 4–10 menit dengan angka kematian mencapai 142.000 jiwa. Gempa menimbulkan kerusakan besar di wilayah Kantō yang meliputi Tokyo, Yokohama, Chiba, Kanagawa, dan Shizuoka.
- Gempa bumi Sanriku pada tanggal 2 Maret 1933. Tsunami menghancurkan Pesisir Utara Jepang berkekuatan 8.4 Mw dengan angka kematian mencapai 1.522 jiwa.
- Gempa bumi besar Hanshin di dekat kota Kobe pada tanggal 17 Januari 1995 dengan korban 6.434 jiwa. Gempa ini terjadi pada pukul 05.46 Japan Standard Time (JST) di bagian selatan Prefektur Hyōgo dengan kekuatan 6,8 Mw pada skala kekuatan momen USGS. Gempa yang terjadi selama kira-kira 20 detik ini menghancurkan Kota Kobe, Osaka, dan Kyoto.
- Gempa Tohoku pada tanggal 11 Maret 2011. Gempa terbesar yang terjadi di Jepang ini terjadi di wilayah Tohoku pada 11 Maret 2011. Setelah gempa bumi, tsunami melanda pantai timur laut negara itu, menelan korban 15.894 jiwa. Tsunami dengan ketinggian mencapai 30 meter ini memcu bencana nuklir Fukushima Daiichi. Gempa ini adalah gempa bumi terkuat yang pernah mengguncang Jepang.
- Gempa bumi Fukushima pada tanggal 22 November 2016. Gempa dengan kekuatan 6.9 Mw yang terjadi pukul 05.59 JST ini berasal dari 37 km arah timur-tenggara Namie, Fukushima. Tidak ada korban dalam gempa ini.
Kemudian, pada tanggal 1 Januari 2024, Jepang dilanda gempa berkekuatan 7,5 hingga 7,6 skala richter dengan korban mencapai 161 jiwa. Gempa ini terjadi di Prefektur Ishikawa, Jepang, dan berpotensi menimbulkan tsunami. Peringatan tsunami dikeluarkan di beberapa wilayah, termasuk Ishikawa, Toyama dan Niigata. Ketinggian gelombang mencapai hingga 1 meter di beberapa bagian pantai Jepang.
Sepanjang sejarahnya, Jepang telah banyak mengalami gempa bumi dan tsunami yang menimbulkan kerusakan dan dampak buruk terhadap masyarakat dan infrastruktur. Masyarakat Jepang telah belajar dari pengalaman masa lalu, seperti Gempa dan Tsunami Tohoku pada tahun 2011. Namun, mereka tetap harus menghadapi ancaman gempa dan tsunami yang mungkin terjadi di masa depan.
Ring of Fire (Sumber Gambar: Wikipedia)
Berbagai Teknologi Mitigasi Gempa Dikembangkan
Untuk mengurangi dampak bencana gempa, Jepang mengembangkan berbagai inovasi dan teknologi. Selain itu, Jepang memiliki peraturan bangunan yang ketat untuk memastikan bangunan tahan gempa. Teknologi mitigasi gempa bumi telah memainkan peran penting dalam upaya memperkirakan terjadinya gempa di Jepang. Beberapa teknologi yang digunakan untuk antisipasi gempa bumi meliputi:
- Pemantauan Kondisi Tanah. Teknologi antisipasi gempa bumi digunakan dalam memantau kondisi tanah di sejumlah daerah terdampak gempa bumi. Alat-alat seperti seismometer, geodimeter, dan piezometer digunakan dalam proses ini.
- Sistem Early Warning. Jepang telah berhasil mengembangkan sistem peringatan dini gempa bumi yang sangat canggih, yang memungkinkan masyarakat untuk mengambil langkah-langkah antisipasi dan evakuasi yang diperlukan. Sistem ini mendeteksi gempa hanya dalam hitungan detik setelahnya, sehingga memungkinkan masyarakat untuk segera mengambil tindakan.
- Teknologi Pemetaan Daerah. Dengan memanfaatkan teknologi pemetaan daerah terdampak gempa bumi, tim penyelamat bisa mengidentifikasi daerah yang terdampak gempa dan mengatur evakuasi korban secara efisien.
- Struktur Bangunan Tahan Gempa: Jepang telah membangun struktur rumah tahan gempa untuk mengurangi kerusakan dan korban jiwa selama gempa bumi.
Dengan menerapkan teknologi antisipasi gempa bumi, Jepang telah berhasil mengurangi risiko akibat ketidakpastian gempa bumi dan mengurangi kerusakan serta korban jiwa yang ditimbulkan. Prinsip arsitektur Jepang untuk tahan gempa antara lain: struktur dengan sistem isolasi seismik untuk mengisolasi bangunan dari getaran tanah, penggunaan teknik peredaman untuk meredam getaran, dan struktur bangunan yang ringan namun stabil.
Selain itu, para peneliti di Earthquake Research Institute (ERI) Universitas Tokyo menemukan teknik baru untuk mendeteksi sinyal gravitasi halus yang berjalan tepat sebelum gempa bumi terjadi. Sistem ini menggunakan jaringan instrumen yang tersebar di seluruh wilayah dan dapat mengeluarkan peringatan 10 detik sebelum gelombang seismik mencapai suatu lokasi. Hal ini merupakan kemajuan besar dalam upaya menyelamatkan nyawa dan mengurangi dampak bencana gempa bumi.
Jepang merupakan negara rawan gempa dan terus mengembangkan teknologi untuk mengatasi ancaman gempa bumi. Sistem peringatan dini gempa bumi di Jepang adalah salah satu yang tercanggih di dunia. Hasil pencarian yang diberikan tidak mencantumkan nama alat pendeteksi gempa Jepang. Sistem ini menggunakan jaringan sensor seismik yang terhubung ke komputer berkecepatan sangat tinggi untuk mendeteksi dan memprediksi tsunami. Dalam menghadapi tsunami, Jepang memiliki keunggulan dalam menangani bencana secara lebih cepat dan efektif karena faktor-faktor seperti jumlah penduduk yang moderat, sistem pendidikan dan teknologi yang lebih maju, serta kerja sama yang baik antara pemerintah, militer, dan masyarakat.
Kurang Efektifnya Sistem Deteksi Bencana di Negara Indonesia
Secara geografis, Indonesia terletak di wilayah Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, yang merupakan zona dengan aktivitas vulkanik dan seismik tinggi. Keberadaan Ring of Fire inilah yang menyebabkan Indonesia rawan dilanda gempa bumi dan letusan gunung berapi. Wilayah ini meliputi serangkaian gunung berapi bawah laut dan lokasi gempa bumi.
Ring of Fire Indonesia terbentang sepanjang 700 km2, mulai dari Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku. Itulah mengapa Indonesia memiliki sekitar 127 gunung berapi yang masih aktif dan dapat meletus sewaktu-waktu. Selain itu, secara geografis, Indonesia berada di wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Pengalaman gempa bumi dan tsunami di Indonesia seringkali tidak menentu, sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Indonesia masih mempunyai permasalahan dalam bidang pendidikan dan pengembangan keterampilan, sehingga banyak pengungsi yang tidak mendapatkan tempat berlindung yang aman. Meskipun demikian, masih terdapat kekhawatiran mengenai penanggulangan bencana di Indonesia, serta penyebaran informasi dan pendidikan mengenai bencana tidak selalu efektif.
Sistem peringatan gempa di Indonesia masih terbatas dan baru bisa mendeteksi gempa setelah terjadinya gempa. Namun, penting untuk dicatat bahwa perbedaan sistem peringatan antara Jepang dan Indonesia bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan dan respons terhadap gempa bumi di masing-masing negara. Faktor lain seperti geografi, infrastruktur, dan budaya juga ikut berperan. Indonesia juga telah mencapai kemajuan dalam penanganan bencana dan membangun sistem pemantauan sumber daya manusia yang lebih baik. Selain itu, Indonesia terus mengembangkan kemampuan pendeteksi gempa, antara lain melalui pemasangan sensor pendeteksi gempa oleh BMKG Palu.
Secara keseluruhan, perbedaan utama antara pengalaman gempa Indonesia dan Jepang adalah: Indonesia masih menghadapi tantangan dalam bidang pendidikan, pengembangan teknologi, dan manajemen bencana; sedangkan Jepang memiliki pendidikan dan teknologi yang lebih maju dalam menghadapi bencana, yang berarti bahwa sistem tersebut telah berhasil dikembangkan.