Sumber Foto: Majalah Pedoman Isteri, 1932
Oleh: Muchamad Fatah Akrom
“Membentuk puteri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta betanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian Allah subhanahu wata’ala”
Ketika beranjak dewasa dan mulai mengulik-ngulik pemikiran agama, saat ini saya merasa berada dalam masa banyak anak muda yang tidak terlalu bangga atas identitas keagamaannya. Semuanya mungkin terjadi bukan tanpa alasan, dikarenakan agama hanya menjadi hegemoni dan kendaraan politik belaka. Tidak heran jika pada akhirnya banyak memilih jalan alternatif dalam memaknai pemikiran agama. Ada satu hal yang menarik tentang Islam Progresif dan bagaimana nilai-nilai ini bisa menyesuaikan zaman. Alam pikiran ini sangat segar dalam konteks kehidupan manusia yang sesuai dengan etika global seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan keadilan sejati kemanusiaan. Karena itu, pengembangan pemikiran dan gerakan Islam sekarang ini dalam pandangan Islam Progresif perlu mangakomodasi nilai-nilai kesetaraan, keadilan, kemanusiaan. Dengan demikian, kedudukan semua warga negara setara dan memperoleh perlakuan yang adil, terutama jaminan kebebasan berkeyakinan, kaum minoritas, baik minoritas dalam segi agama, ekonomi, etnis dan lain-lain dilindungi dan dijamin hak-haknya secara setara dan adil. Jawaban Islam terhadap berbagai persoalan kemanusiaan dewasa ini dalam pandangan Islam Progresif perlu didasarkan dan penggalian khazanah keislaman itu sendiri dengan mempergunakan context-based ijtihad (progressive ijtihadist) yang bertitik tolak dari nilai-nilai dasar Islam yang esensial (maqasid syari’ah).
Dalam alam pikiran ini, ada salah satu tokoh yang bisa jadi role model bagi wanita muslimah yang sedang di ‘nina bobokan’ zaman, namanya Rahmah El-Yunusiah. Mungkin tidak tercatat sebagai salah satu nama pahlawan Nasional, namanya juga masih asing didengar dan belum banyak dikenal di dunia pendidikan. Tidak semasyhur nama besar pahlawan wanita seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, ataupun Raden Ajeng Kartini. Meskipun begitu, perjuangannya dalam dunia pendidikan tidak perlu diragukan lagi.
Rahma El-Yunusiah mampu menjadi anti tesis terhadap paradigma masyarakat tentang perempuan hanyalah makhluk lemah yang tidak mempunyai kiprah luas dalam ranah publik di masyarakat lingkungannya. Masyarakat memandang perempuan hanyalah makhluk kelas dua yang tidak perlu bersekolah. Dalam bahasan Islam and Women’s Education, Haiffa A. Jawad mengemukakan bahwa salah satu hak terpenting bagi kaum wanita di dalam Islam adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Dalam situasi masyarakat yang pada saat itu sedang berkembang inilah Rahmah El-Yunusiah tergugah hatinya untuk berkiprah. Ia menaruh perhatian khusus terhadap pendidikan kaum perempuan. Karena ia menyadari bahwa pendidikan menjadi sarana utama bagi peningkatan posisi kaumnya.
Napak Tilas Reformis Rahmah El-Yunusiyah
Rahmah El-Yunusiah yang lahir pada tanggal 1 Rajab 1318 Hijriyah atau 20 Desember 1900 di jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian, Bukit Surungan, Padang Panjang, tanah Minangkabau. Ia dibesarkan dari latar belakang keluarga yang taat beragama, Rahmah telah menempuh pendidikan dari ayahnya, namun masa belajar itu hanya berlangsung singkat karena ayahnya meninggal pada saat ia masih kanak-kanak. Peran sang ayah digantikan oleh kedua kakaknya, yakni Zainuddin Labay El-Yunusiy dan M. Rasyad yang sudah berumah tangga. Kakaknya Zainuddin adalah salah seorang tokoh pembaharu di Sumatera Barat. Zainuddin Labay sendiri adalah pendiri Diniyah School di Sumatera. Kakaknya itu menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan Belanda, sehingga banyak membantu Rahmah mengakses sejumlah literatur asing. Rahmah sangat menyegani dan mengagumi kakaknya ini.
Dari keluarga terpandang yang berpendidikan dan beragama yang kuat, Rahmah tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan, bisa dibilang perempuan beruntung dengan keadannya. Berbeda halnya dengan perempuan-perempuan lain yang ada di masyarakat sekitarnya yang hanya memperoleh pendidikan dasar yang cukup dibekali dengan keterampilan untuk mempersiapkan diri menjadi istri dan ibu yang mengurus rumah tangga. Perempuan masih dalam batasan-batasan budaya sempit yang menghambat mereka untuk beraktualisasi diri, membuka wawasan dan memperdalam ilmu pengetahuan serta tampil berprestasi dihadapan publik.
Pendidikan Untuk Perempuan dan Buah Pikirnya
Dengan keluarga yang berlatar belakang taat beragama dan aktif dalam gerakan pembaharuan menjadikan terbangunnya kesadaran pembaharuan dalam diri Rahmah. Ia menilai bahwa kaum perempuan sebagai tiang negara mestinya mendapatkan pendidikan yang baik sebagaimana kaum lelaki. Keterbelakangan pendidikan kaum perempuan ini menurutnya berakar dari persoalan pendidikan dan melalui bidang ini persoalan dapat terselesaikan.
Semangat untuk mengangkat harkat kaum muslimah ini rupanya telah terpatri dengan mendapat landasan yang kokoh dalam ajaran Islam yang secara tegas menyebutkan: “Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap orang Islam laki-laki dan perempuan”. Rahmah nampaknya tidak memiliki gagasan bahwa kondisi keterbelakangan kaumnya ini terjadi sebagai akibat kondisi sosial yang cenderung patriarkhis atau bahkan buah penindasan yang terjadi karena kaum lelaki. Pijakan awal pembaharuan yang dibawa oleh Rahmah dalam konsepnya tentang pendidikan kaum perempuan jelas berbeda dengan asumsi dasar kaum feminis yang menganggap bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi.
Apalagi dengan melihat kembali budaya alam Minangkabau yang dari beberapa sisi cenderung memuliakan kaum perempuan, maka perbedaan antara kesadaran awal Rahmah El-Yunusiah dengan asumsi feminisme semakin kentara. Wacana yang diusung Rahmah El-Yunusiah bukanlah upaya “membebaskan” atau bahkan “memerdekakan” sebagaimana yang ada dalam konsep emansipasi Barat, sebab hakikatnya wanita di ranah Minang memang tidak dalam kondisi diperbudak atau terjajah oleh pria. Ia hanya menginginkan agar wanita mendapatkan posisinya sebagaimana ajaran Islam menempatkan kaum perempuan.
Pandangan Rahmah El-Yunusiah terhadap perempuan terlihat jelas berpangkal dari ajaran Islam. Fakta sosial tentang adanya ketimpangan atau penindasan yang kadang terjadi di kalangan masyarakat Islam lebih banyak terjadi disebabkan oleh praktik dan tradisi masyarakat yang bersangkutan, ketimbang oleh ajaran Islam. Pandangan demikian tentu berbeda dengan konsep kesetaraan gender yang dipahami oleh kalangan feminis radikal yang menganggap bahwa ajaran Islam adalah sumber budaya patriarkhis. Oleh karena itu, ajaran Islam sendiri adalah salah karena menampakkan misogyny (bias gender) dan harus dikoreksi.
Rahmah menilai bahwa posisi kaum perempuan dalam Islam cukup sentral, dalam hal ini tidak ada perbedaan dengan kaum laki-laki. Perbedaan peran memang ada, namun hal ini bukan merupakan wilayah yang kemudian dijadikan pembenaran sebagai bukti adanya suatu diskriminasi. Ia hanya berupaya memperbaiki kondisi kaumnya melalui bidang pendidikan, sebab menurutnya wanita pada akhirnya akan berperan sebagai seorang ibu. Ibu merupakan madrasah awal bagi anak-anaknya sebelum terhubung dengan alam pandang (worldview) yang lebih luas di lingkungan sekitarnya. Melalui ibu inilah corak pandang dan kepribadian awal seorang anak akan terbentuk. Oleh karena itu, menjadi penting bagi Rahmah untuk memberikan bekal bagi kaum perempuan ilmu-ilmu agama dan ilmu terkait lainnya sehingga bisa memiliki pengetahuan yang sama dengan mitra sejajarnya, kaum lelaki.
Cita-cita besar Rahmah ini dalam tujuh tahun sebelumnya sudah dimanifestasikan dengan mendirikan Lembaga Pendidikan khusus perempuan yang dinamai dengan Diniyah School Putri pada tanggal 1 November 1923. Inspirasi yang juga timbul dari Diniyah School milik sang kakak, dengan memisahkan proses pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Pada awalnya, muridnya berjumlah 71 orang dan terdiri dari ibu-ibu muda, termasuk putri dari Teungku Panglima Polim dan Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Pelajaran yang ajarkan yaitu ilmu agama dan tata bahasa Arab. Namun, dalam perkembangannya sekolah ini menerapkan pendidikan modern dengan menggabungkan pendidikan agama, pendidikan sekuler dan pendidikan keterampilan.
Ia pun mendirikan Menyesal School, yaitu sekolah pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 dan berlangsung selama tujuh tahun yaitu sampai tahun 1932. Kemudian sekolah ini tidak dilanjutkan. Untuk menyebarluaskan cita-cita pendidikannya, ia mengadakan perjalanan berkeliling ke daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Semenanjung Malaya (tahun 1928 dan tahun 1934).
Rahmah El-Yunusiyah adalah tokoh ulama perempuan Nusantara yang telah jelas melakukan perjuangan dalam pendidikan perempuan. Dengan menelaah pemikiran pembaharuannya dapat memberi gambaran bahwa perempuan juga dapat berkiprah dalam ranah publik dan lingkungan sosialnya tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai istri maupun ibu. Kiprahnya ini juga dapat dijadikan landasan bahwa perempuan juga dapat memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dan bahkan menjadi pemimpin. Sosoknya yang gigih dan kuat menggambarkan representasi seorang ulama dan sebagai pemimpin umat dengan kapasitas keilmuan yang memadai dan mumpuni serta mempunyai jiwa sosial kemasyarakatan yang tinggi serta kepedulian pada kaumnya, Rahmah mampu manampar ditengah kemunduran progresifitas pemikiran umat.
Daftar Pustaka :
Nunuk P. Murniati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM, Jilid 1, Magelang: IndonesiaTera, 2004, hlm. xxviii.
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Febri Yulika, Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau, Yogyakarta: Gre Publishing, 2012 Gillian Howie, Between Feminism and Materialism: A Question of Method, New York: Palgrave Macmillan, 2010.
Hamruni, Pendidikan Perempuan Dalam Pemikiran Rahmah el-Yunusiyyah. [online], http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view &id=95&Itemid=52, Html 5 April 2011.