Sumber Foto: Suara Surabaya.com
Oleh: M. Ghithrof Danil Barr
Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat. Bahwa kita mesti banyak berbenah
Penggalan lirik lagu ‘Untuk Kita Renungkan’ karya Ebiet G. Ade di atas sangat relate dengan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Di penghujung September lalu,sebuah musibah menimpa saudara kita di Sidoarjo. Bangunan tiga lantai Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo roboh saat para santri putra sedang melaksanakan salat Ashar berjamaah di musola yang berada di lantai bawah. Dilansir dari detik.com, bangunan tiga lantai tersebut belum memiliki surat izin. Hal ini terbukti ketika Bupati Sidoarjo Subandi meninjau lokasi dan menemukan bangunan tersebut berdiri tanpa dokumen resmi.
Media sosial begitu ramai membicarakan musibah tersebut. Tak sedikit kritik terlontarkan terhadap pesantren. Banyak narasi negatif yang muncul berkaitan dengan tradisi Ro’an di pesantren. Pesantren dianggap mengeksploitasi para santrinya untuk membangun pesantren. Di sini penulis tidak akan menyinggung hal tersebut. Namun, ada hal lain yang membuat penulis tertarik untuk merenungkannya. Abdul Salam Mujib, selaku pengasuh pesantren Al Khoziny menyatakan “Saya kira ini memang takdir dari Allah” ketika diwawancarai oleh awak media mengenai robohnya bangunan pesantren.
Pengasuh pesantren menyatakan bahwa robohnya bangunan tersebut sudah menjadi takdir Allah. Pernyataan ini menggugah kita untuk berpikir lebih dalam. Meskipun kita sebagai penganut agama Islam diajarkan untuk menerima takdir sebagai bagian dari iman, bukan berarti kita bisa lepas tangan dari tanggung jawab. Konsep takdir seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengabaikan upaya pencegahan. Apakah kita akan terus menganggap segala musibah sebagai takdir, sementara kita memiliki akal dan kemampuan untuk berikhtiar?
Berlindung di Balik ‘Sudah Takdir‘
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap kali musibah menimpa seringkali kita berlindung di balik kalimat ‘sudah takdir’, seakan-akan Tuhan disalahkan atas kelalaian kita. Kita gemar menyalahkan Tuhan dengan mengatakan bahwa itu semua sudah takdir Tuhan, tanpa introspeksi terlebih dahulu, tanpa bercermin terlebih dahulu. Ego kita selalu ingin merasa benar dan lepas tangan atas musibah yang terjadi. Padahal Allah memberi kita akal sehat untuk memperhitungkan segalanya. Ilmu yang kita miliki bisa kita gunakan agar kita tidak jatuh dalam sebuah kesalahan.
Berbeda halnya ketika kita mengalami kesuksesan atau keberhasilan. Kita seakan-akan tak kenal dengan Tuhan. Betapa jumawanya kita, Tuhan yang kita salahkan ketika terjadi musibah, ditinggalkan begitu saja ketika kita mendapat suatu kesuksesan atau keberhasilan.
Pernyataan pengasuh yang mengaitkan kejadian ini dengan takdir mengingatkan kita pada paham Jabariyah. Paham yang dicetuskan oleh Jaham bin Shafwan di masa dinasti Umayyah ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Allah dan manusia tidak memiliki andil dalam takdir yang dimiliki. Hal ini bertentangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut mayoritas muslim di Indonesia. Ahlussunnah wal Jama’ah bersikap moderat dalam hal menghadapi musibah. Kita harus ingat bahwa Allah juga memberikan kita akal dan kemampuan untuk berusaha atau berikhtiar. Mengabaikan tanggung jawab dengan alasan takdir hanya akan memperburuk keadaan dan mengabaikan upaya pencegahan yang seharusnya dilakukan.
Musibah robohnya bangunan pesantren ini seyogyanya menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua. Sebagai manusia, kita tidak bisa hanya mengandalkan takdir tanpa berusaha. Kita dituntut untuk berikhtiar dan mengantisipasi kemungkinan buruk yang dapat terjadi dalam setiap aspek kehidupan, terutama yang melibatkan keselamatan orang banyak, tindakan pencegahan harus menjadi prioritas. Kita harus belajar dari pengalaman orang lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kita harus mengambil hikmah dari kejadian ini dan berusaha untuk memperbaiki sistem yang ada.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyalahkan pihak tertentu. Kita semua memiliki tanggung jawab dalam menjaga keselamatan dan mencegah terjadinya musibah serupa dikemudian hari. Mari kita ambil ibrah dari musibah ini dan berusaha untuk lebih berhati-hati dalam setiap langkah yang kita ambil. Keselamatan adalah hal yang harus diutamakan, dan kita harus berupaya untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi semua. Musibah robohnya Pesantren Al Khoziny ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dan berikhtiar dalam setiap tindakan kita.