Penyimpangan Seksual Khalifah Dinasti Abbasiyah

Sumber Foto: Pinterest

Oleh: Faiz Alfa

Pembaca yang budiman tentu masih ingat dengan kisah Nabi Luth dan Kaum Sodom. Seorang rasul yang diberi tugas untuk berdakwah kepada sebuah kelompok sosial yang melakukan penyimpangan seksual. Serta sebuah kaum yang diberi azab oleh Allah karena tetap melakukan perbuatan menyimpang walaupun Nabi Luth sudah berulangkali memperingatkan.

Mungkin, pembaca juga sangat paham dengan aturan Islam yang melarang perbuatan seks dengan sesama jenis. Di atas panggung dakwah, para ulama sudah berkali-kali menyampaikan pesan bahwa perbuatan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) itu haram hukumnya. Pesan itu didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi yang secara tegas melarang perbuatan itu.

Namun, satu hal yang mungkin luput dari perhatian pembaca adalah kenyataan bahwa tokoh-tokoh penguasa Islam banyak melakukan penyimpangan seksual. Farag Fouda, dalam bukunya yang berjudul KEBENARAN YANG HILANG: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, menceritakan dengan hati-hati penyimpangan seksual yang dilakukan oleh Al-Amin dan Al-Watsiq. Mereka berdua adalah Khalifah ke-6 dan ke-9 Dinasti Abbasiyah.

Al-Amin: Larut dalam Buaian Pelayan

Khalifah yang memiliki nama lengkap Muhammad Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid ini berkuasa selama kurang-lebih 4 tahun (809-813 M). Dia merupakan khalifah yang membeli para budak pria yang sudah dikebiri. Dia melakukan perbuatan yang tidak wajar dengan para budak itu dan menjadikan mereka sebagai teman seranjang. Terhadap istri-istrinya, dia malah bersikap dingin. Perbuatannya itu lantas membuat Zubaidah, ibunya, menjadi murka.

Zubaidah kemudian membeli seorang budak wanita yang cantik dan ramping. Budak wanita ini didandani dengan pakaian pria kemudian diberikan kepada Al-Amin. Zubaidah sampai melakukan upaya ini karena dia berharap agar perilaku anaknya yang menyimpang bisa berubah. Sayangnya, usaha itu sia-sia.

Dengan mengutip keterangan dari Tarikh al-Khulafa’ karya Jalaluddin As-Suyuthi, Fouda menceritakan bahwa Al-Amin memiliki hubungan spesial dengan para pelayan di istananya. Di antara sekian banyak pelayan pria atau kasim itu, seorang pria bernama Kautsar adalah pelayan favoritnya dan sangat dia sayangi. Al-Amin dibuat terbuai dalam luapan asmara pada Kautsar.

Diceritakan bahwa dua tahun terakhir masa pemerintahan Al-Amin dihabiskan dengan perang saudara menghadapi Al-Makmun, saudara seayahnya. Ketika mereka berdua sedang berkelahi, Kautsar ikut menyaksikan baku hantam itu. Malangnya, dia terkena lemparan batu dan terluka. Al-Amin pun bergegas menghampiri Kautsar dan mengusap luka di wajah kekasihnya. Dalam momen itu, dia melantunkan syair:

Mereka lukai pujaan hatiku

Karena aku, ia tersiksa

Allah mengambil belahan hatiku

Karena orang lain mencelakakannya

Di tengah suasana perang, Al-Amin mampu berpaling dari urusan perebutan kekuasaan hanya karena cidera yang dialami kekasihnya. Baginya, bersama dengan Kautsar, hidup terasa indah. Sebaliknya, berjauhan dengannya, hidup terasa memilukan. Mungkin potongan syair dari Al-Amin berikut ini cukup untuk menggambarkan rasa cintanya kepada Kautsar:

Kautsar telah menjadi agamaku, duniaku, laraku, pelipurku

Setelah Al-Amin meninggal, para ulama baru berani mengungkapkan penyimpangan-penyimpangan yang dia lakukan. Itu pun setelah memastikan dengan cermat bahwa khalifah setelahnya, Al-Makmun, memiliki tabi’at yang berbeda dengan Al-Amin. Di masa ini pula, para ulama baru berani mengatakan bahwa Al-Amin tidak pantas menjadi Khalifah.

Harun Al-Watsiq: Hatinya Tertambat pada Muhaj

Khalifah ke-9 Dinasti Abbasiyah ini memerintah selama kurang-lebih 6 tahun (842-847 M). Dia menjalankan roda pemerintahan sambil berpindah-pindah dari pelukan seorang pria ke pria lainnya. Cucu Harun Ar-Rasyid ini memang memiliki perilaku seks menyimpang yang mencintai sesama jenis. Dia terjerat dalam birahi terhadap para kekasih yang memikatnya dengan cinta. Di antara beberapa kekasihnya, seorang lelaki asal Mesir bernama Muhaj adalah yang paling terkenal.

Masih mengutip dari Tarikh al-Khulafa’ karya Jalaluddin As-Suyuthi, Fouda menceritakan bahwa Al-Watsiq selalu melantunkan syair-syair cinta setiap bertemu pandang dengan Muhaj. Berikut adalah contoh syairnya:

Muhaj menguasai jiwa ini

Lewat kerlingan mata yang sungguh menawan

Tubuhnya indah mempesona

Duhai manjanya dan penuh gairah

Jika mata tertuju padanya

Ia tak lagi mampu berpindah

Muhaj sangat pandai dalam memainkan perasaan Al-Watsiq. Sehingga, dia dapat memainkan perasaan Sang Khalifah sesuka hatinya. Sampai-sampai, di masa Al-Watsiq, terdapat pameo yang mengatakan bahwa stabilitas negara tergantung pada Muhaj. Jika Al-Watsiq sedang merasa nyaman dengan Muhaj, maka stabilitas dan keamanan negara akan terjamin. Namun, jika dia sedang cemburu atau marah kepada Muhaj, kerusakan akan terjadi dan malapetaka akan menimpa.

Diceritakan, pada suatu pagi, Al-Watsiq sedang mengadakan rapat dengan para penasehatnya. Di tengah rapat, Muhaj datang menghampiri Al-Watsiq dengan membawa sekuntum mawar dan setangkai bakung. Dia berjalan sambil berlenggak-lenggok, mengerlingkan mata dan menebar pesona. Melihat pesona Muhaj, Al-Watsiq langsung meninggalkan rapat dan pergi bermesraan dengan kekasihnya itu. Syair cinta pun dia lantunkan:

Ia menghembuskan gairah lewat bakung dan mawarnya

Dengan tubuh semampai begitu indah

Kedua mata telah menyalakan api birahi

Menambahkan hasrat dan rasa cinta

Sedangkan rapat tetap berjalan meski tanpa kehadiran Khalifah. Stabilitas negara tetap terjaga karena Al-Wasiq masih bersedia menerima pejabat yang datang menghadap.

Lain halnya ketika Al-Watsiq sedang marah atau cemburu kepada Muhaj. Pada suatu hari, dia pernah lepas kendali lalu memarahi Muhaj. Keesokan harinya, Al-Watsiq hilang kendali dan emosinya meluap-luap. Dia pun berceracau:

Wahai sosok yang bersombong atas siksaku

Engkau tak lebih dari budak yang melawan takdir

Kalau bukan oleh gairah, kita takkan pernah bersua

Jika warasku tiba, kau akan menanggung akibatnya

Para pejabat tidak ada yang berani menemuinya karena dia sedang dalam keadaan murka. Akibatnya, roda pemerintahan berhenti dan tata kelola administrasi negara mengalami kemacetan. Walhasil, pameo tadi bukan omong kosong semata, melainkan berdasarkan atas fakta.

Akhirul Kalam

Dalam analisis Nadirsyah Hosen, syair yang digubah oleh kedua khalifah tersebut bukanlah syair yang wajar diucapkan kepada seorang pria. Syair-Syair itu penuh dengan luapan cinta dari penciptanya. Kata-kata yang dipilih memperlihatkan bahwa si penggubah syair sedang ‘mabuk kepayang’ akan cinta. Maka, dapat dilihat bahwa ada yang janggal dalam mentalitas mereka berdua.

Namun, menurut Fouda, baik Al-Amin maupun Al-Watsiq bukanlah pelopor dalam perbuatan semacam itu. Hal ini perlu digarisbawahi. Boleh jadi, mereka hanya mengikuti arus besar zaman yang memang sudah melenceng. Abu al-Hayyan at-Tauhidi mencatat bahwa, pada masa itu, sudah terdapat 95 lelaki berwajah tampan yang berprofesi sebagai pemuda panggilan. Mereka menerima panggilan sesuai dengan permintaan. Entah itu sekedar menghibur atau bahkan untuk memuaskan hasrat pelanggannya.

Terlepas dari penyimpangan tersebut, periode ketika Harun Ar-Rasyid, Al-Amin, Al-Makmun, Al-Mu’tashim, hingga Al-Watsiq memerintah (786-847 M) adalah masa-masa keemasan Islam (golden age). Masa-masa di mana ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat, banyak ilmuwan muslim termasyhur yang hidup, dan ribuan karya ilmiah yang dihasilkan saat itu. Imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan seabreg ilmuwan muslim lain hidup pada masa itu. Kontradiksi yang cukup membingungkan.

Pembaca yang budiman, tegarkan hati Anda saat membaca tulisan ini. Cerita sejarah yang telah diuraikan di atas memang menohok. Namun, data-datanya berasal dari sumber yang diakui otoritasnya. Baik Fouda maupun Hosen, mereka berdua menggunakan referensi pokok yang sama, yaitu dari As-Suyuthi dan Ath-Thabari. Dua ulama yang tidak diragukan lagi kapasitas intelektualnya.

Sebuah kebenaran memang terkadang sulit diterima.

Referensi

Farag Fouda, KEBENARAN YANG HILANG: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, (Jakarta: Democracy Project, 2012), edisi digital.

Nadirsyah Hosen, “Khalifah al-Amin bin Harun ar-Rasyid: Penyuka Sesama Jenis dan Pemicu Perang Saudara”, Geo Times: Kolom, 17 November 2017, diakses pada 30 April 2023.

Nadirsyah Hosen, “Surat untuk Khalifah Al-Watsiq: Pembunuh Ulama dan Pecinta Budak Pria”, Geo Times: Kolom, 16 Desember 2017 diakses pada 29 April 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *