Pahit dan Manis Kehidupan Masa Remaja dalam Film The Perks of being a Wallflower

Sumber Foto: Farside Creative.com

Oleh: Aprinianda Aldila


Film The Perks of being a Wallflower (2012) merupakan film yang diadaptasi dari novel yang berjudul sama yakni “The perks of being a wallflower” (1999). Buku tersebut ditulis oleh Stephen Chbosky yang sekaligus menjadi sutradara dalam film. Film ini mendapatkan beberapa penghargaan salah satunya penghargaan National Board of Review Awards sebagai 10 film terbaik di tahun 2013. Secara keseluruhan film ini menceritakan kehidupan masa remaja yang penuh ketidakpastian, pencarian jati diri, persahabatan, cinta dan trauma.


Film ini diawali dengan Charlie seorang anak laki-laki pendiam yang baru saja masuk SMA. Ia kesulitan mendapatkan teman karena sifat nerd dan pendiamnya. Lalu di saat ia menonton pertandingan football di sekolahnya ia bertemu dengan Patrick dan Sam yang ternyata senior Charlie di sekolah, dan tak lama mereka bertiga menjadi teman. Meski senior, Patrick dan Sam tidak membedakan Charlie dengan temannya yang lain. Mereka berdua membawa Charlie kepada pergaulan bebas, mulai dari pesta, meminum alkohol dan memakan brownies berisi sabu-sabu. Selain pengaruh kurang baik mereka berdua juga secara tidak langsung membantu Charlie untuk melewati masa-masa sulitnya akibat trauma dan membangunkan kembali semangatnya.


Ketiga tokoh tersebut memiliki latar belakang yang berbeda, Charlie yang pendiam karena mengidap Post Traumatic Stress Disaster (PTSD), Patrick seorang homoseksual, dan Sam yang memiliki ayah tidak baik. Mereka bertiga menjadi sahabat ditambah 2 teman dari Sam dan Patrick yakni Marry Elizabeth dan Susan. Dalam film ini tidak terlalu spesifik mengangkat satu tema, yang mana film menceritakan apa saja yang mungkin terjadi saat kita beranjak remaja menuju dewasa.


Sahabat adalah Penawar Luka


Setelah menjadi sahabat mereka selalu menghabiskan waktu istirahat bersama dan mengadakan beberapa kali pesta di rumah Patrick dan Sam. Mereka mulai mengenal satu sama lain seperti halnya Sam yang akhirnya mengetahui bahwa Charlie mengalami depresi setelah ditinggal bunuh diri oleh sahabat satu-satunya. Sam berusaha memberitahu Patrick dan menghibur Charlie, selain itu mereka juga saling suportif dalam hal apapun, Charlie yang membantu Sam belajar untuk ujian perguruan tinggi, Patrick yang membelikan kado natal berkesan untuk Charlie, dan Charlie yang membela Patrick saat dibully oleh teman kekasih homoseksualnya. Hal–hal tersebut yang membantu Charlie sedikit demi sedikit melupakan kejadian kejadian yang membuatnya trauma. Charlie mulai bersemangat lagi bahkan ia mulai menulis perjalanan kisahnya bersama sahabat-sahabatnya. Namun disaat dua sahabatnya Sam dan Patrick lulus dan segera melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, trauma trauma yang ada pada diri Charlie muncul kembali dan membuatnya harus dibawa ke psikolog. Trauma itu muncul kembali saat Charlie merasa ditinggalkan, ia menyalahkan dirinya atas kejadian kematian bibinya yang bernama Helen. Ia terus merasa bahwa bibinya meninggal karena keinginannya. Selama beberapa hari bersama psikolog akhirnya Charlie kembali ke rumah dan kembali bertemu sahabat- sahabatnya. Luka itu belum benar-benar sembuh tapi selama ada sahabat-sahabatnya Charlie merasa utuh dan menemukan semangat baru untuk melupakan ingatan-ingatan tak bersalahnya di masa lalu.

Film ini sangat menarik dan cocok ditonton untuk anak muda, terutama anak-anak muda yang baru saja menginjak umur 16 hingga 20 tahun, karena film ini menggambarkan banyak fenomena yang related dengan keadaan usia remaja, serta terdapat plot twist di akhir cerita yang menjadi jawaban trauma si Charlie.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *